Sabtu, 17 November 2012

Satu Minggu Untuk Selamanya




G
ista menatap dirinya di cermin dengan pipi yang merona merah. Sekali lagi dia tersenyum sambil memoleskan bedak bubuk berwarna merah muda ke pipinya. Lagi-lagi sebuah senyuman tersungging di bibirnya, bahkan kali ini lebih mengembang. Gista lalu mengelus-elus pipi chubby-nya dan tiba-tiba bersorak kegirangan.

Entah apa yang membuatnya pagi ini begitu bahagia. Bahkan sebuah jerawat yang membuatnya meringis tadi pagi dan terpaksa harus bangun lebih awal karena nyeri di dahinya, kini malah membuatnya tak berhenti tersenyum. Jerawat berwarna merah muda itu terus dipencet-pencet hingga membuat tangan Gista lama-lama pegal juga.
Diska baru keluar dari kamar mandi saat menemukan Gista masih berkutat di depan cermin dengan senyum masih mengembang di pipi saudara kembarnya itu. Diska mengerutkan dahinya, sementara tangannya masih asik mengacak-acak rambut cokelatnya dengan handuk kecil yang dilingkarkan di tangan.
“Loe kenapa, Gis? Aneh banget, pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri!” tanya Diska sambil berjalan menuju lemari baju. Yang ditanya malah semakin gila dengan senyumannya. “Yeee... ditanyain malah makin menjadi-jadi senyuman loe!”
“Sewot banget sih! Emang salah , ya, kalo gue senyum gini. Lagian mestinya loe ikut seneng dong liat gue bahagia pagi ini,” Gista mengerecutkan bibirnya, namun sedetik kemudian kembali memasang wajah cerianya. Benar-benar aneh!
“Kalo gue gak tau duduk permasalahan loe bisa bahagia kayak gini, mana mungkin gue bisa ikutan seneng! Yang ada gue makin bingung liat tingkah loe!” kata Diska setelah setelan seragam kotak-kotak birunya terkancing dengan rapi. Berbeda dengan Gista yang menggunakan setelan seragam berwarna hijau marun.
Gista dan Diska memang bersekolah di sekolah yang berbeda. Ini keputusan dari ayah mereka yang masih memercayai mitos bahwa jika sepasang anak kembar dibiarkan hidup bersama, maka salah satu dari mereka hidupnya akan lekat dengan marabahaya. Itulah yang ditakutkan ayah mereka, oleh karena itu sekolah mereka harus terpisah untuk menjaga keselamatan keduanya. Semula Gista dan Diska merasa sangat keberatan saat harus pisah sekolah, mengingat sejak kecil mereka selalu bersama. Namun sekarang mereka sudah agak terbiasa, apalagi sekolah mereka hanya terpisahkan oleh tembok pagar. Ya, SMA Bintang dan SMA Angkasa memang berdekatan.
Gista bersekolah di SMA Bintang, sedangkan saudara kembarnya bersekolah di sekolah sebelah sekolahnya.
Oke, balik lagi ke si kembar, Gista dan Diska. Sekarang Diska lagi asik memoles bedak ke wajahnya. Sementara Gista berjalan ke arah Diska dan mengambil sebuah sisir dari meja rias yang terletak di sebelah lemari pakaiannya, lalu mulai memintil rambut kembarannya itu. Wajahnya masih terlihat berseri-seri, penuh dengan rona merah yang memancar.
“Dis, jatuh cinta itu indah, ya?” bisik Gista di telinga kembarannya itu yang kini sedang memoles lipgloss merah muda di bibir  tipisnya.
“Mana gue tau! Gue kan gak pernah jatuh cinta,” Diska mengedikkan bahu.
“Hah? Terus cinta pertama loe si David itu mau loe kemanain?” Gista menoyor kepala Diska.
“Ish! Dia mah cuma cinta monyet. Gak berarti!” Diska malah balik menoyor kepala Gista.
“Aduh! Sakit!” Gista meringis sambil mengusap-usap kepalanya.
“Loe pikir gue gak sakit apa?!”
“Hehe, iya deh, sorry!” Gista mengangkat kedua jarinya, menyatakan tanda perdamaian untuk saudara kembarnya itu.
“Hum, by the way, ngapain loe nanya begituan? Atau jangan-jangan loe lagi jatuh cinta, ya?” tebak Diska sambil mendongakkan kepalanya. Gista malah terlonjak mendengar pertanyaan Diska. Dia berusaha menahan rasa deg-degannya agar wajahnya tidak memancarkan senyum lagi, namun akhirnya senyum itu terpancar juga dari wajahnya.
Gista hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Diska semakin penasaran lalu menarik Gista untuk duduk di sisi ranjang.
“Loe beneran jatuh cinta? Sama siapa? Ceritain!” paksa Diska sambil menarik-narik lengan Gista. Yang ditarik hanya meringis merasakan nyeri di lengannya.
Kali ini Diska memang benar-benar bersemangat. Baru kali ini dia mendengar Gista jatuh cinta! Selama ini Gista memang sedikit tertutup untuk soal cowok... dan selalu menghindar dari makhluk adam itu. Bahkan selama hampir 17 tahun dia hidup di muka bumi ini, dia belum pernah sekalipun terlihat dekat dengan cowok manapun. Padahal dari segi tampang, Gista termasuk cewek manis, dengan kulit putih langsat dan lesung pipi di kedua sudut bibirnya. Namun begitulah Gista, sekali dia berkomitmen untuk tidak berhubungan dengan cowok, maka komitmen itu akan terus dipegangnya. Namun, untuk kali ini sepertinya komitmen itu sudah tidak berlaku lagi. Terbukti dengan adanya sosok seseorang yang kini menghiasi hatinya.
“Dia kakak kelas gue,” aku Gista akhirnya. Diska semakin terlonjak. Kakak kelas?
“Hah? Kakak kelas? Kok bisa loe kecantol kakak kelas?” Diska melongo. Matanya membulat, hingga rongga-rongga yang menjaganya seakan tidak kuat lagi menopang mata itu.
“Gue juga gak tau. Semenjak kejadian di kantin itu, gue jadi sering senyum-senyum sendiri, dan gue sering deg-degan kalo inget kejadian itu,” ujar Gista. “Apalagi, dengan munculnya jerawat pertama gue ini, gue makin seneng banget!!!” lanjutnya dengan mata berbinar.
“Hah? Kejadian di kantin? Kejadian apaan? Terus, loe seneng punya jerawat? Ya ampun! Di mana-mana, orang punya jerawat tuh risih, bete! Lah loe, kok malah kegirangan?! Aneh ih!”
“Ini kan jerawat pertama gue Dis, selama hampir tujuh belas tahun gue hidup. Gimana gue gak seneng! Jerawat kebanggaan plus pembawa kebahagiaan gitu loh!”
“Ya deh, ya! Udah, mendingan loe ceritain deh gue sekarang, gimana kejadian di kantin yang bikin loe mabuk cinta gini dan bikin loe bangga banget sama jerawat ini!!!”
“Aduh, ntar pulang sekolah aja ya ceritanya, udah hampir jam setengah tujuh nih!” Gista menunjuk jam berbentuk Barbie berwarna pink yang tergantung di depan ranjangnya.
“Yah, Gis! Sekarang aja!” paksa Diska lagi.
“Ntar, oke!!!” setelah berkata demikian, Gista bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju meja belajar untuk mengambil ransel putihnya.
Gista hendak keluar dari kamarnya saat tiba-tiba tangannya ditarik paksa oleh saudara kembarnya. “Eh, loe belum kasih tau gue nama cowok itu!” cegat Diska di ambang pintu.
            “Aduh, ntar aja sekalian ceritanya!”
            “Gis, ayo dong!!!” rengek Diska manja.
            “Kalo gue bilang ntar ya, ntar!!! Bawel banget sih!” bentak Gista kasar, lalu melepaskan lengannya dari genggaman tangan Diska dan berlari menuruni anak tangga.
Diska langsung mengunci mulutnya yang dikerucutkan. Pagi yang aneh. Pertama kali mendengar Gista jatuh cinta... dan pertama kali Gista membentaknya seperti itu! Huh! Apa jatuh cinta bisa bikin orang berubah, ya? Seperti yang dialami Gista, yang berubah jadi sensitif banget.

✜✜✜

Gista baru akan keluar dari kantin sambil membawa sekaleng minuman soda, saat tiba-tiba seorang cowok berbadan tegap menabraknya hingga membuat minumannya tumpah dan mengenai baju si cowok yang ternyata adalah... kakak kelasnya.
“Aduh! Maaf ya, maaf! Aku gak sengaja! Maaf!” kata cowok itu panik saat menyadari minuman orang yang ditabraknya tumpah. Namun Gista hanya diam sambil menatap cowok itu dalam. Dia tertegun, sangat tertegun malah. Gista begitu terhipnotis saat menatap mata sipit cowok itu dan wajahnya yang sangat manis. Hingga saat cowok itu tiba-tiba memegang lengannya berusaha meminta maaf, Gista baru tersadar dan langsung menarik lengannya.
            “Eh, gak apa-apa kok, Kak!”
            “Tapi, minuman kamu jadi tumpah! Aduh, aku bener-bener gak sengaja!”
            “Gak apa-apa kok. Lagian baju kakak juga basah gara-gara aku, jadi gak perlu minta maaf!”
            “Ini mah gak masalah, tapi kamu gak jadi minum itu yang masalah banget! Aduh! Ceroboh banget sih aku! Ya udah, aku beliin yang baru, ya?” pinta cowok itu dengan mata berbinar-binar. Gista benar-benar speechless sekarang. Tenggorokannya tercekat. Namun dia berusaha menolak dengan suara yang sedikit tertekan.
            “Aduh, gak usah! Ntar aku bisa beli lagi kok! Lagian sekarang aku mau langsung ke perpus!” kata Gista dan hendak beranjak dari tempatnya berdiri.
            “Eh, tunggu! Aku beliin yang baru! Gak usah pergi dulu!” cegat cowok itu, namun sayang, Gista telah kabur dan kini sedang berada di ambang pintu perpustakaan sambil memperhatikan cowok itu dari jauh. Ya, perpustakaan dan kantin memang terletak berdekatan, hanya dibatasi dua buah pohon besar dan lapangan basket.
Tiba-tiba Gista tersenyum sangat lebar. Dia tidak tahu kenapa, tapi jantungnya kini berdetak begitu cepat dan badannya terasa dingin. Gista berusaha menghilangkan segala sesuatu yang aneh dalam tubuhnya itu, lalu melenggang masuk ke perpustakaan menuju sebuah rak tempat novel-novel teenlit bertengger.
Gista sedang membolak-balik tumpukan novel-novel di sebuah rak, saat tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang dingin di antara novel-novel itu. Gista mendongakkan kepalanya. Jantungnya seketika itu juga berhenti berdetak selama beberapa detik saat dia menemukan seorang cowok sedang tersenyum kepadanya sambil membawa sebuah minuman kaleng untuknya. Kakak itu...
            “Buat kamu!” katanya dengan senyum masih mengembang. Gista menerima minuman itu dengan tangan gemetar. Cowok itu lalu berjalan ke arahnya dan berhenti tepat beberapa senti di hadapannya. “Maaf udah bikin kamu kaget. Oh ya, maaf juga soal yang tadi. Aku bener-bener gak sengaja. Tadi aku memang buru-buru banget, soalnya perut aku udah minta jatah. Jadi gak sengaja deh nabrak kamu,” jelasnya dengan wajah tertunduk malu. Tangan kanannya mengacak-acak rambut cepaknya, sementara tangannya yang kiri dimasukkan ke saku celana abunya.
Gista hanya tersenyum tipis. Dia masih benar-benar kaget. Matanya membulat memperhatikan cowok itu.
“Hei?” kata cowok itu sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Gista hingga membuat gadis itu  terperanjat.
“Oh, ya. Gak apa-apa,” jawab Gista setengah sadar. “Terus, baju Kakak gimana?”
“Aku masih punya baju basket kok di kelas. Kamu gak usah khawatir,”  Gista mengembangkan senyumnya saat mendengar jawaban kakak kelasnya itu. Untunglah, cowok manis ini gak harus telanjang dada gara-gara bajunya yang basah.

Gista menyudahi cerita panjang lebarnya. Sepulang sekolah tadi, Diska memang langsung memaksanya untuk menceritakan kejadi di kantin itu, padahal waktu itu mereka baru memasuki gerbang rumah.
Gista benar-benar kesal melihat tingkah saudara kembar yang lebih muda enam menit darinya itu. Namun akhirnya dia tak sanggup lagi mendengar rengekan Diska lalu menceritakan kejadian yang membuat hatinya berbunga-bunga hingga saat ini.
Diska hanya melongo tak percaya mendengar cerita Gista.
            “Dia cakep banget, Dis! Mata sipitnya benar-benar mirip mata orang korea. Terus, warna kulitnya seksi banget. Hitam manis. Pasti gara-gara dia sering main basket. Oh ya, rambutnya beda dari yang lain. Loe tau gak rambutnya Baro B1A4 yang cepak itu, yang pake’ poni depan? Uh!!! Dia makin terlihat keren, banget... banget... banget...!!!” jelas Gista sambil mengusap-usap pipinya yang memerah. Diska hanya manggut-manggut.
            “Berarti oke banget dong!” kata Diska sambil menggigit bibirnya.
            “Bangetlaah!!! Dan kemaren gue baru tau dari temen kelas gue kalo nama kakak itu... Alaska!”
            “Alaska? Namanya keren. Pasti orangnya gak kalah keren!” Diska menimbang-nimbang.
            “Yeee... Dari tadi kan gue bilang juga keren kali! Apaan sih loe!” Gista mengerutkan dahinya yang langsung mengundang tawa kembarannya.

✜✜✜

Gista mengentakkan kakinya ke lantai Post Satpam tempatnya berdiri saat ini. Dia kembali melihat ke jam tangan berwarna merah muda yang melingkar di tangannya. Ini sudah kelima kalinya dia memeriksa jam berapa sekarang dan sudah berapa lama dia menunggu. Ya, Gista memang sedang menunggu jemputannya. Sekolah sudah bubar dan saat itu hujan turun dengan deras. Semua siswa SMA Bintang sudah kembali ke rumah masing-masing dan hanya Gista sendiri yang masih menunggu adik kembarnya datang untuk menjemputnya.
Selama ini yang bertugas menyetir sepeda motor memang Diska, jadi dialah yang diberikan hak untuk membawa sepeda motornya, walaupun nyatanya sekolah mereka berdekatan.
Sudah hampir satu jam Gista berdiri di Post Satpam itu. Dan selama itu pula Diska belum menjemputnya. Sepertinya Diska juga memang terjebak di sekolahnya karena hujan belum juga berhenti, sehingga membuatnya tidak bisa menjemput Gista lebih awal.
Suasana saat itu begitu gelap karena langit mendung, padahal jam baru menunjukkan pukul 4 sore. Suasana seperti itu membuat Gista bergidik ketakutan. Dia memang paling benci suasana sepi, apalagi di tengah kegelapan sore dan hujan deras seperti ini.
            “Dis, loe di mana, sih? Cepetan dong, gue takut!!!” bisik Gista pada dirinya sendiri, sambil memeluk tasnya yang mulai basah kecipratan air hujan.
Gista berjalan mondar-mandir dengan bibir mengerucut sepanjang dua senti. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai, berusaha menenangkan kegusarannya. Dia hampir menangis saat tiba-tiba sebuah bayangan melintas di hadapannya, dan semakin diperhatikan ternyata bayangan itu mengarah ke tempat parkir.
            “Ternyata, masih ada orang di sekolah ini. Gue kira cuma sendirian di sini,” desah Gista lega. Dia sangat-sangat bersyukur akhirnya dia tidak sendiri di tengah suasana mencekam ini.
Gista kembali memperhatikan sosok bayangan yang ternyata adalah seorang cowok. Cowok itu terlihat santai berjalan di tengah hujan sambil menenteng ransel hitamnya menuju parkiran, lalu mengenakan ransel itu saat dia sudah berada di atas sepeda motornya.
            “Tuh cowok gak kedinginan, ya? Masa hujan-hujanan kayak gitu! Ih!” Gista bergidik ngeri membayangkan betapa dinginnya air hujan yang dengan lancarnya mengalir di tubuh cowok yang hanya terlapis baju basket berwarna merah-kuning itu.
Semenit kemudian sang cowok melintas di depan Gista, dan betapa terkejutnya gadis itu saat menyadari cowok itu adalah... Alaska! Dia hampir berteriak kegirangan mendapati sang pujaan  baru saja melintas di depannya. Tapi niat itu urung dilakukan. Alasannya, Gista tidak sanggup menahan malu dan sakit hatinya kalau-kalau Alaska bakal  ilfeel melihat tingkahnya.
Gista terus memperhatikan Alaska yang sedang bersiap-siap untuk menyebrang. Rasa dingin dan takutnya tiba-tiba hilang seketika dengan kehadiran Alaska sore itu.

✜✜✜

Alaska baru akan menyeberang saat tiba-tiba dari arah Timur melaju mobil pick-up dengan kecepatan tinggi. Alaska tidak terlalu memperhatikannya karena saat itu suasana hujan yang deras membuat penglihatannya sedikit kabur. Dan saat motornya sudah berada di tengah jalan, tiba-tiba... ciiittt... braaakkk!!! Mobil itu menghantam Alaska dan sepeda motornya, hingga membuatnya terhempas ke sebuah pohon besar lalu jatuh ke tanah. Kepalanya membentur sebuah batu di bawah pohon itu. Seketika itu juga darah mengalir deras di pelipisnya.
Alaska sempat mendengar seseorang meneriaki namanya, namun itu hanya sesaat. Karena setelah itu semuanya terasa gelap bagi Alaska dan dia tidak ingat apa-apa lagi.

Alaska membuka matanya yang sedikit agak perih dan menemukan dirinya sedang tertidur di tempat yang menurutnya agak asing. Dia memutar sedikit kepalanya yang masih pening ke kiri, lalu melihat ke ujung bawah sana, di mana di tangan kirinya tertancap sebuah infus yang bergelantung di sisi ranjang. Alaska mencoba meraba bagian kepalanya yang terlilit perban putih sambil meringis menahan perih di kepalanya.
Dia memejamkan matanya perlahan, lalu kembali membukanya. Memejamkannya lagi, lalu membukanya, begitu seterusnya hingga dia benar-benar tidak merasakan lagi pening yang menggerogoti kepalanya. Namun sayang, rasa pening itu tak kunjung reda.
Alaska mendesah pasrah, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, berharap dia akan menemukan seseorang yang bisa menemaninya ke kamar mandi, karena sekarang dia tiba-tiba merasa ingin pipis. Namun tiba-tiba matanya membelalak kaget, saat dia menemukan seorang gadis berambut cokelat sedang tertidur pulas di sebuah sofa di ruangan itu. Gadis itu terlihat begitu menikmati tidurnya, hingga dia tidak menyadari bahwa Alaska telah sadar dan kini sedang memperhatikannya.
            “Siapa dia?” tanya Alaska dengan suara tertahan. Tangannya bergetar hebat, apalagi saat tiba-tiba gadis itu menguap lebar dan mulai bangun dari tidurnya.
Alaska lekas berpura-pura tertidur, layaknya orang yang belum sadar dari pingsannya. Namun sayang, usahanya gagal karena gadis itu berhasil memergokinya sedang menatapnya.
            “Kak Alaska udah sadar?” tanyanya, lalu berjalan menuju ranjang cowok manis itu.
            “Si-siapa kamu?”
Gadis itu berhenti sebelum dia benar-benar berada lebih dekat dengan Alaska. Dia berusaha menekan-nekan dadanya agar rasa itu tidak terlalu membuncah.
 “Maaf sebelumnya, Kak. Mungkin aku terlalu lancang untuk berada di sini. Kemarin aku pengin hubungi keluarga Kakak, tapi setelah aku cari-cari, aku gak nemuin ponsel Kakak. Aku pikir mungkin Kakak gak bawa ponsel. Ditambah, sejak kejadian itu, Kakak belum sadar juga hingga sekarang, aku jadi bingung, gak tau gimana cara menghubungi keluarga Kakak. Jadi aku putusin untuk jaga Kakak sampe Kakak benar-benar sadar,” jelas gadis itu sambil tertunduk.
Alaska manggut-manggut. Sepertinya dia mengerti maksud gadis itu. Dia jadi teringat kecelakaan yang menimpanya kemarin sore. Oh, jadi itu sebabnya mengapa sekarang dia berada di sini.
            “Jadi kamu yang udah nolongin aku?” Gadis itu hanya tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya, “Oh, ya. Namaku Gista! Kakak ini, Kak Alaska kan?”
            “Gista? Iya, aku Alaska.” Alaska mengerutkan dahinya. Dia masih diliputi perasaan bingung mengapa gadis ini bisa mengenalnya. Namun akhirnya, dia membalas uluran tangan itu sembari mengucapkan terima kasih.

✜✜✜

Diska mengobrak-abrik seluruh isi lemarinya dan dilemparkannya kasar ke atas kasur. Tangannya dikacakkan di pinggang, dan sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Badannya yang masih terlapis handuk tak berhenti mondar-mandir di depan lemari.
Diska memang sedang bingung malam ini. Pasalnya sebentar lagi jam setengah delapan, dan itu berarti sebentar lagi Alaska akan datang menjemputnya untuk makan malam di rumah cowok itu. Sedangkan dia belum tahu akan mengenakan baju apa. Hanya riasan wajahnya yang sudah siap menghadiri acara resmi dengan orang tua Alaska itu.            “Duh, Gis! Gue harus pake yang mana, nih? Gue bingung!” tanyanya dengan wajah tertekuk pada saudara kembarnya yang sedang berbaring di ranjang pink mereka.
            “Pake aja sesuai tema acaranya!”
            “Ish! Tapi masalahnya acara ini tuh gak punya tema, cuma makan malam biasa sama ortunya pangeran loe!”
            “Hahaha... tuh kan loe tau, temanya makan malam. Pake dress yang cocok buat makan malamlah... tapi yang sopan dress-nya, soalnya loe bakal ketemu sama calon mertua! Hahaha...” Gista mengingatkan sambil tertawa cekikikan.
            “Calon mertua loe, kali!”
            “Lagian, loe aneh banget! Tumben mau ketemu sama Kak Alaska pake acara hancurin lemari gini. Perasaan dulu pas Kak Alaska nembak loe, loe gak sampe segininya,”
            “Yah, itu mah cuma bakal ketemu sama Alaska-nya doang. Jadi yah gue pake baju seadanya aja. Ini kan masalahnya beda. Lagian, baju yang dulu gue pake kan baju yang rencananya bakal loe pake, jadi gue gak musti bingung kayak gini,”
Gista merenung setelah mendengar kata-kata Diska. Dia jadi teringat kejadian tiga bulan lalu, saat Alaska mengajaknya kencan.

Saat itu hujan yang turun dengan deras berlomba-lomba menghiasi sore terindah Gista dengan calon pangerannya. Yah, satu minggu setelah kejadian Gista yang menolong Alaska karena kecelakaan itu, mereka jadi sering bertemu di luar sekolah, lebih tepatnya berkencan. Dan tepat sore ini Alaska berencana mengajaknya berkencan lagi untuk kesekian kalinya. Jelas Gista sangat senang. Sehari sebelum kencannya itu, Gista sudah menyiapkan segala sesuatu yang akan dia pakai. Jelas saja dia begitu hebohnya, Alaska memang cowok idamannya.
Gista masih berada di kamarnya sambil memoleskan beberapa alat kosmetik ke wajahnya. Walaupun badannya masih berbalut handuk pink, namun baju yang akan digunakannya sudah tertata rapi di atas ranjang, pastinya beserta sepatu dan tas sebagai pelengkapnya.
Gista bangkit dari meja riasnya saat dia merasa riasan wajahnya yang begitu tipis sudah cukup untuk menghiasi wajah putihnya. Gista lalu berjalan ke arah ranjang dengan wajah masih bersemu merah. Dia benar-benar tidak sabar bertemu dengan Alaska. Namun tiba-tiba saat Gista akan meraih blouse putih dan hot pans pink-nya, Gista merasakan nyeri di dadanya yang langsung membuatnya ambruk ke lantai.
            “Aduuhh...” ringisnya sambil menekan-nekan dadanya.
Dia mencoba berdiri, namun itu membuat dadanya semakin nyeri. Gista kembali ambruk dan kini terkulai lemas di lantai dengan tangan masih berada di dada. Gista hampir menangis, saat Diska datang sambil membawakan segelas susu cokelat untuknya.
            “Gis! Loe kenapa?!” tanya Diska panik dan langsung berlari ke arah Gista. Sebelumnya dia meletakkan susu cokelat itu di meja rias, lalu berjongkok di hadapan Gista. “Loe kenapa? Dada loe sakit lagi?” Gista hanya meringis. Diska berusaha membantunya berdiri dan membaringkan saudara kembarnya itu di ranjang. “Kambuh lagi?” tanya Diska lagi. Gista hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.
            “Minum dulu, nih!” Diska beranjak dari duduknya dan mengambil susu cokelat yang tadi diletakkannya di  meja rias, lalu membantu Gista meminumnya.
            “Sekalian obatnya!”
            “Gak!” Gista menolak sambil menutup rapat-rapat mulutnya dengan tangan.
            “Kalo loe gak minum obat ini, loe bakal tambah sakit!”
            “Tapi gue gak suka obat! Itu pahit!”
            “Gista! Loe keras kepala banget sih?! Terserah loe deh!” akhirnya Diska menyerah juga untuk memaksa Gista agar mau meminum obatnya. “Terus acara kencan loe gimana?”
            “Gak tau.” Jawab Gista pasrah. Wajahnya yang pucat tiba-tiba saja dialiri air mata yang semakin lama semakin deras.
            “Loe nangis? Kenapa?”
            “Gue takut bikin Kak Alaska kecewa seandainya gue gak dateng,”
            “Jadi loe mau paksain dateng, gitu?”
            “Kalo gue bisa, kenapa gak?!”
            “Hhh...” Diska mendesah, heran juga melihat kembarannya ini rela sakit demi rasa cintanya. “Tapi loe masih sakit, Gis! Loe gak bisa pergi! Mending dibatalin aja deh!”
            “Tapi pasti Kak Alaska bakal kecewa banget Dis!”
            “Terus loe mau gimana lagi?” Diska terlihat kesal melihat sikap Gista yang keras kepala.
Di balik kekesalan Diska, Gista terlihat sedang berpikir keras, lalu tiba-tiba senyumnya mengembang, “Gimana kalo loe yang gantiin gue, Dis?” tawar Gista. Diska yang ditawari seperti itu malah melongo dan langsung tertawa. “Kok loe malah ketawa?”
            “Ya jelas gue ketawalah... habis loe lucu! Masa loe nyuruh gue gantiin loe buat nge-date, ada-ada aja! Gak ah!” tolak Diska dan hendak pergi dari kamar itu, namun langkahnya terhenti saat dia mendengar rintihan Gista semakin keras.
            “Gis, loe baik-baik aja?”
            “Sakit, Dis! Dada gue!” jerit Gista sambil menekan-nekan dadanya. Air mata langsung bercucuran di pipinya. Diska merasa iba juga melihat orang yang berwajah sama persis dengannya itu begitu kesakitan, hingga dia bisa merasakan sakit itu.
            “Makanya, Gis. Minum obatnya biar sakit loe berkurang,”
            “Diska... sakit!!!”
            “Gis!!! Gue bisa lakuin apa? Loe gak mau minum obat!” Diska malah ikut-ikutan menangis. Dia mencoba menenangkan Gista yang dari detik ke detik jeritannya semakin memilukan.
            “Bunda mana?” tanya gadis manis itu sambil menahan sakitnya.
            “Gue gak tau. Sejak tadi pagi, gue gak liat Bunda, mungkin dia masih kerja,”
            “Bunda!!!”
            “Gis, Bunda masih kerja! Loe gak boleh cengeng gitu dong!”
            “Tapi sakit, Dis!”
            “Gue tau! Makanya gue suruh loe minum obat supaya sakitnya berkurang. Loe keras kepala banget sih?!” Gista semakin terisak setelah Diska membentaknya seperti itu. Diska memang paling benci melihat Gista yang setiap sakitnya kambuh tidak pernah mau minum obat.
            “Oke, gue mau minum obat. Asalkan loe mau gantiin gue kencan bareng Kak Alaska,”
            “Tuh kan Alaska lagi, Alaska lagi! Loe ini lagi sakit masih mikirin dia mulu sih!”
            “Loe mau gak?” tawar Gista lagi dan lagi.
            “Iya, iya! Gue mau! Tapi loe minum obat dulu!” akhirnya setelah melalui negosiasi yang cukup berat, Gista mau meminum obatnya, dan sebagai gantinya Diska akan menggantikannya dalam acara kencannya bersama Alaska.
Diska memasang tampang kusutnya saat Gista memaksanya memakai baju yang sudah disiapkan Gista di atas ranjang. Namun akhirnya baju itu dipakai juga, dan sebagai sentuhan terakhir Diska memoleskan berbagai macam kosmetik ke wajahnya agar terlihat lebih fresh. Setelah semua siap, Diska meraih ponsel Gista agar dia bisa menghubungi Alaska setibanya di tempat nanti.
            “Gis, loe yakin?”
            “Banget!” jawab Gista dengan senyum cerah.
            “Tapi gue gak yakin,” kata Diska tertunduk sambil memandangi high-heels hitamnya.
            “Yakin-yakinin aja.”
            “Tapi sebelumnya gue gak pernah ketemu sama Alaska. Ntar kalo’ gue salah orang gimana?”
            “Percaya deh. Loe gak bakal salah orang,” Gista meyakinkan.
            “Terus loe gimana? Masa gue harus ninggalin loe sendirian di sini? Keadaan loe kan masih belum terlalu baik, Gis!”
            “Tadi kan loe udah telepon bunda, sayang. Dia yang akan jaga gue ntar,”
            “Jadi, gue pergi nih?” Diska masih terlihat tidak yakin dengan keputusan saudara kembarnya itu.
Namun Gista terus memberinya semangat dan meyakininya –atau lebih tepatnya memaksa Diska– hingga akhirnya gadis itu mau juga pergi bertemu dengan Alaska, dan di tempat itu ternyata Alaska menembak Diska –atau Gista. Sebelum mengambil keputusan, otomatis saat itu Diska meminta persetujuan saudara kembarnya, dan Gista memberinya lampu hijau untuk menerima Alaska.

Akhirnya setelah hampir lima belas menit berkutat di depan lemarinya, Diska memutuskan untuk menggunakan blouse hijau polos dengan mini skirt hitam yang dilengkapi dengan sebuah kalung jangkar yang terjuntai di lehernya, lengkap dengan sebuah high-heels bermotif zebra favoritnya dan Gista.
            “Gis, kayaknya Alaska udah di depan, gue jalan dulu ya,” pamit Diska pada saudaranya yang masih terbaring lemah di ranjang. Gista hanya tersenyum lebar.
Ya, sudah tiga bulan sejak penyakitnya kambuh Gista terperangkap di kamarnya. Alasannya ya satu, terlalu sakit untuk melakukan hal lain selain tidur. Infeksi jantung yang dideritanya sejak kecil memaksanya untuk rela melepaskan kabahagiaannya di sekolah dan kebahagiaannya menjadi pacar seorang Kandiaz Alaska.
            “Loe gak mau titip apa-apa buat Alaska, Gis?” tanya Diska sebelum beranjak dari kamar itu.
            “Gue cuma mau titip, buat kak Alaska selalu senyum dan gak usah malu-maluin di depan ortunya,” jawab cewek itu lemah. Suaranya terdengar sedikit agak serak karena radang tenggorokan yang kini sedang melandanya.
            “Gue gak senorak itu kali sampe’ bikin malu di depan ortunya Alaska. Ya udah, gue jalan!”
            “Hati-hati. Inget pesen gue!”
            “Sip! Jaga diri loe, ya! Kalo’ loe butuh sesuatu, jangan sok takut ngerepotin bunda, oke!” Gista hanya tertawa kecil mendengar celotehan Diska yang kini sudah hilang di balik ambang pintu. Setelah kepergian Diska, tiba-tiba saja Gista terisak. Rasa sedih yang selalu dipendamnya terasa kini semakin menjalar ke seluruh rongga sendinya. Sakit. Ditambah lagi dengan penyakit jantung yang dideritanya itu, membuatnya semakin tak bersemangat untuk hidup.
Walaupun di depan saudaranya Gista selalu tersenyum dan terlihat ceria, namun sebenarnya dalam hatinya begitu perih. Ya, perih menerima kenyataan mengapa dia harus berada di ranjang ini dan melewatkan kesempatan indah yang selalu diimpikannya bersama Alaska, dan harus rela memberikan kebahagiaan itu dirasakan Diska. Perih memang, tapi itu sudah takdirnya. Kini dia hanya bisa pasrah, karena dia terlalu lemah untuk mampu melawan takdir.

✜✜✜

Diska dan Alaska memasuki sebuah rumah bercat putih pucat yang tidak terlalu mewah sambil membawa sebuah bingkisan kecil yang tadi dibeli Diska di boutique langganan bundanya.
Alaska berjalan sambil menggandeng tangan Diska dan menuntun gadis itu menuju ke ruang tengah tempat meja makan berada. Orang tua Alaska sudah menunggu di meja makan setibanya mereka di sana. Diska membungkuk lalu mengucapkan salam, “Malam oom-tante,” sapanya dengan senyuman yang terkesan sedikit agak malu.
            “Selamat malam, aduh cantiknya. Ayo duduk, tante udah siapin makan malam yang enak untuk menyambut kamu,” kata mama Alaska sambil mengapit lengan Diska dan menyuruh gadis itu duduk di sebuah kursi di sebelah Alaska. “Ih si akang koq malah duduk duluan, neng-nya dibiarin berdiri gitu aja!” kata mama Alaska sambil menepuk pundak anaknya. Alaska hanya terkekeh, sementara Diska yang kini sudah duduk di sebelah cowoknya hanya tersneyum tipis.
            “Oh ya tante, ini Dis–eh, Gista bawain sedikit oleh-oleh,” kata Diska sambil menyerahkan bingkisan yang tadi dibawanya pada mama Alaska yang duduk di hadapannya.
            “Loh, koq repot-repot gitu. Aduh, makasih banyak, ya!”
            “Nah, ma-pa, ini Gista, cewek yang sering Alaska ceritain itu. Pacar pertama, inget dong!” Alaska mengedipkan sebelah matanya ke papanya, yang langsung disambut gelak tawa seluruh penghuni meja makan.
Pacar pertama? Wah, Diska baru sadar, ternyata Alaska cowok  yang dipuja kembarannya itu baru pertama kali ini pacaran, sama persis dengan Gista. Mereka memang jodoh.
            “Manis ya, ma.” puji papa Alaska.
            “Banget pa. Cocok ya jadi calon menantu,”
            “Apaan sih mama, ih! Dia ini kan baru kelas satu ma. Beda sama Alaska yang bentar lagi mau lulus. Masa udah dibilang calon menantu, kayak kita mau nikah aja!” Diska langsung membelalakkan matanya. Alaska bentar lagi mau lulus? Berarti, kelas tiga? Loh, koq Gista gak pernah cerita? Wah parah! Pacar apaan nih gue? Gak tau apapun tentang cowok gue sendiri!
            “Kenapa Gis?” tanya Alaska heran melihat Diska yang menatapnya tanpa berkedip.
            “Eh, gak apa-apa,”
            “Ya, suatu saat kan Gista pasti bakal lulus juga, kang. Sama kayak kamu. Jadi gak masalah dong mama bilang dia calon menantu. Kan siapa tau besok abis lulus Gista nikah gitu sama kamu,” goda mamanya lagi.
            “Tante bisa aja!” kata Diska malu.
            “Mama apaan sih. Udah Gis, gak usah didenger. Ayo, makan aja langsung kalo’ kamu udah laper,”
            “Oh ya, ayo makan sayang. Aduh sampe’ lupa kalo’ kita bakal makan malam. Keasikan ngobrol,” kata papa Alaska, dan mulai menyedokkan nasi ke piringnya.
            “Iya, ayo dimakan makanannya sayang,” sambut mama Alaska. Diska hanya tersenyum, lalu mengambil sepotong ayam goreng dan diletakkannya di atas nasi yang ada di piringnya.
Lima belas menit berlalu dengan acara makan malam yang begitu hangat. Tidak ada yang berbicara selama acara berlangsung, karena dalam aturan keluarga Alaska memang begitu. Dilarang berbicara saat sedang makan! Namun, perbincangan hangat, menarik nan lucu kembali terjadi setelah makanan masing-masing telah tertanam di dalam perut.
            “Ma, aku mau ke atas dulu ya bareng Gista. Katanya dia penasaran pengin liat kamar aku,”
            “Tuh kan, belum jadi menantu aja udah ngebet pengin main ke kamar. Tanda-tanda tuh bakal ada kemungkinan jadi menantunya mama,” lagi-lagi mama Alaska menggoda, dan langsung membuat pipi Diska bersemu merah.
            “Mama mulai lagi deh! Liat tuh, Gista jadi malu.”
            “Calon mertuaku lucu ya,” tiba-tiba Diska ikut nimbrung, dan kini malah membuat Alaska yang malu setengah mati.
            “Tuh, Gista aja udah bilang mama calon mertua,”
            “Gis! Ih, kamu mau banget sih ladenin dua orang tua ini. Udah yuk kita ke atas! Ntar makin aneh-aneh lagi obrolannya,” Diska terkekeh melihat pipi Alaska yang memerah.
            “Udah Gis, ke atas gih sana! Akangnya udah ngebet banget!”
            “PAPAAA!!!” bentak Alaska dan langsung melotot ke arah papanya. Semuanya tertawa melihat tingkah Alaska yang seperti anak kecil –kecuali Alaska tentunya. Dia langsung menarik tangan Diska dan membawanya ke sebuah ruangan berukuran cukup besar dengan tembok bercatkan biru-hitam yang dilengkapi sebuah walpaper bergambar bendera Amerika.
Diska memasuki kamar itu dengan sedikit agak ragu-ragu. Maklum, seumur hidupnya dia memang baru pertama kali ini masuk ke kamar cowok.
            “Yuk, duduk di sini!” Alaska menyuruh Diska duduk di sebuah sofa berwarna biru tua di dekat jendela besar yang tertutupi gorden hitam.
            “Kamar kakak lucu!” puji gadis itu sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
            “Di mana lucunya? Serem kali! Banyak warna hitamnya gini!”
            “Lucu koq! Liat tuh, ada gambar bendera Amerika-nya, tapi di meja belajarnya kakak bendera yang dipajang malah bendera Jepang. Lucu kan?”
            “Yah itu mah gak lucu sayang! Tapi aneh!”
            “Ih, koq malah ngatain kamarnya sendiri aneh sih?”
            “Habis kamu, masa kamar kayak gini dibilang lucu? Biasanya kalo’ temen-temen cewek aku main ke sini pasti dibilangnya kamar aku serem atau aneh gitu!”
            “Wah... parah nih! Sering ngajak cewek main ke kamar! Ayooo...”
            “Ah! Jangan neti dulu! Mereka main ke sini palingan cuma buat kerja kelompok kok! Kamu cemburu ya?”
            “Ih, cemburu? Gak deh! Males gila aku cemburu sama temen-temen kakak yang pastinya udah pada tua itu!”
            “Hahaha... kamu ini ada-ada aja!”
            “Tapi beneran deh, kak. Kamarnya lucu banget, unik! Kalo’ kamar aku mah full with pink,”
            “Yang lucu itu kamu lagi, ih! Liat nih, pipinya... unyu-unyu banget!” kata Alaska sambil memainkan pipi Diska gemas. Diska langsung mengerucutkan bibirnya karena tersinggung pipinya dimainkan seperti itu, bikin sakit aja! “Tuh kan makin lucu! Bibirnya manyun-manyun!”
            “Jangan dicubit dong, sakit!”
            “Hehe, maaf deh sayang!”
            “Itu apa?” tanya Diska sambil menunjuk sebuah handycame di laci dekat meja belajar Alaska. Dia lalu berjalan ke arah benda itu dan memainkannya, berpura-pura seperti reporter yang sedang merekam seorang artis. “Wah, handycame-nya keren! Aku boleh pinjam, gak?”
            “Buat?” Alaska mengerutkan keningnya. Tumben banget liat cewek kece kayak Diska ini mau main-main dengan handycame.
            “Buat ngerekamlah!” kata gadis yang sudah duduk kembali di sofa sebelah cowoknya itu.
            “Ngerekam apaan?” Alaska makin bingung. Alisnya kini bertaut.
            “Aku!”
            “Ih, pede banget. Masa dirinya sendiri mau direkam. Mending gitu bikin film pendek, lah kamu?”
            “Koq gitu banget! Emang gak boleh, ya?” Diska menekuk wajahnya.
            “Ya bolehlah, sayang. Tapi kan aneh banget gitu, kamu pinjem handycame cuma untuk ngerekam diri kamu,”
            “Hhh...” Diska menghela nafasnya panjang, lalu mulai menjelaskan maksudnya yang sudah dipikirkannya sejak tadi. “Gini kak, sebenernya aku pengin bilang sesuatu ke kakak. Um, gimana kalo’ seminggu ke depan kita gak usah ketemu dulu, gak usah telepon-teleponan, sms-an, pokoknya gak usah berhubungan deh selama seminggu! Nah, selama kita gak ketemu itu, aku bakal ngerekam apa aja yang aku lakuin pake handycame ini,”
            What? Kamu udah gila ya!” Alaska membelalakkan matanya mendengar keinginan pacarnya itu.
            “Aku masih normal tau. Saraf-saraf aku masih berfungsi dengan baik!”
            “Yah, habis kamu, masa permintaannya aneh gitu!”
            “Yah, aku kan minta kayak gitu ada maksudnya juga, kak. Aku pengin tau sejauh mana rasa sayang kakak ke aku,”
            “Tapi kan gak gitu juga caranya!!!” Alaska menghempaskan tubuh sixpack-nya ke sandaran sofa.
            “Ayo dong kak... tau gak! Keinginan aku ini udah aku pikirin dari dulu banget, sebelum aku tau yang namanya pacaran. Aku dulu pernah bilang sama diri aku sendiri, kalo’ aku punya pacar nanti, aku akan minta pacarku itu untuk ngelakuin hal yang aku bilang tadi,”
            “Tapi Gis! Aku gak akan bisa sehari gak liat kamu, gak denger suara kamu, gak liat senyum kamu! Aku gak akan sanggup! Aku bisa mati kalo’ kamu mintanya aneh kayak gitu!”
            “Yakin deh, kakak gak bakal mati. Nyawa kakak kan gak kemana-mana,”
            “Tapi nyawa aku itu kamu, Gis! Aku gak bisa hidup tanpa kamu!” kata Alaska sok dramatis.
            “Kakak hidup tanpa aku cuma seminggu kok! Seminggu kemudian pas ulang tahun aku, kita bisa ketemu lagi. Kalo’ kakak beneran sayang sama aku, kakak pasti bisa ngejalaninnya!”
            “Emang kamu yakin, Gis?”
            “Banget.”
            “Tapi aku berat untuk ngelakuinnya,”
            “Kak, ayo dong! Ya!”
            “Gis?”
            “Ya?”
            “Iya, deh. Kalo’ itu mau kamu, aku terima aja! Asal kamu seneng!” ujar Alaska pasrah.
            “Gitu dong!”
            “Kita bakal mulainya kapan?”
            “Besok pagi!” kata Diska mantap.
            “Besok? Hum, kalo’ gitu ini harus ada syaratnya!”
            “Loh, kok pake’ syarat segala?” Diska melotot.
            “Ya harus dong. Syaratnya, kamu harus temenin aku habisin malem ini. Entah kita jalan-jalan di mall, main-main di luar, pokoknya keliling Jakarta sampai aku bener-bener sanggup untuk hidup tanpa kamu selama seminggu!”
            “Malam ini?”
            “Laiyalah! Kan kita mulainya besok! Gimana sih kamu!”
            “Tapi, aku izin ke bunda dulu ya! Ntar bunda ngamuk-ngamuk lagi tau aku pulang telat!”
            “Sip deh! Ntar sebelum kita pergi habisin malam kita keliling Jjakarta, aku bakal anterin kamu ke rumah dulu buat minta izin. Kalo’ perlu sekalian aku yang minta izin!”
            “Ya, deh. Tapi, handycame-nya jadi aku pinjem ya! Aku pengin kasih kejutan sama kakak lewat benda ini!”
            “Apaan?” Alaska terlihat bingung. Lagi-lagi cewek ini membuatnya penasaran setengah mati. Selalu gitu. Namun sayang, pertanyaannya hanya ditanggapi Diska dengan tersenyum. “Ih, ditanyain malah senyum-senyum gitu,”
            “Hihihi, biarin!”
            “Eh, Gis, kenapa sih kamu panggil aku ‘kakak’, kita kan pacaran. Bukannya kakak adik,” kata Alaska sambil menggenggam tangan pacarnya.
Diska terlihat berpikir. Awalnya dia memang tidak berniat memanggil Alaska dengan sebutan “kakak”, tapi itu permintaan Gista. Katanya walaupun Alaska adalah pacarnya, tapi dia harus tetap ingat bahwa Alaska lebih tua dan perbedaan itu harus dihormati. Lagipula dari dulu Gista selalu ingin memiliki seorang kakak, mengingat di antara si kembar Gista-lah yang paling tua.
Diska menghela nafas panjang. “Um, soalnya umur kakak jauh lebih di atas dibanding aku. Aku ngerasa lebih sopan aja panggil kak Alaska dengan sebutan ‘kakak’,” jawabnya kaku.
            “Jadi maksud kamu aku tua gitu?”
            “Eits! Bukan aku loh yang ngomong!”
            “Dasar kamu ini! Ya udah deh terserah kamu mau panggil apa aja. Kalo’ kamu ngerasa aku sebagai kakak kamu juga gak apa-apa, lagian seru juga punya adik manis dan lucu kayak kamu!”
            “Ya dong! Semua orang juga pasti bangga punya adik imut-imut kayak aku gini!” Gista membanggakan dirinya.
            “Ih, mulai deh sifat pedenya!” Alaska mengernyitkan keningnya dengan gigi menyeringai karena merasa aneh melihat tingkah pede yang berlebihan dari pacarnya.
            “Hahahahaha... pede itu penting loh akang! Eh, ayo, jadi gak kita pergi? Udah hampir jam delapan nih,”
            “Kemana?”
            “Yah... tadi katanya mau habisin malam ini keliling Jakarta. Gimana sih!” jawab Diska kesal.
Alaska menepuk keningnya, “Aduh! Aku lupa!”
            “Tuh kan, faktor usia memang berpengaruh, ya!” kata Diska cepat dan berjalan ke arah pintu.
            “Maksud kamu?” Alaska ikut bangkit dari duduknya dan langsung mencegat Diska di ambang pintu. Diska berbalik lalu menunjuk kepala Alaska dengan telunjuknya, “PIKUN!!!”
            “GISTA!!! Kamu ini...” kata Alaska sambil memencet hidung Diska yang memerah dan langsung membuat gadis itu meringis. Huft! Sakit! Alaska ini main asal aja kalo’ cubit orang, gak tau apa cubitannya sakit banget! Um, tapi romantis juga, hihi! Mirip kayak di film-film Korea.
Diska jadi melayang setelah Alaska memencet hidungnya. Rasa sakitnya tiba-tiba sirna. Tapi, ada satu perasaan sakit yang masih melekat, saat Alaska memanggilnya dengan sebutan “Gista” tadi. Itu membuat hati Diska miris. Kenapa sih bukan dia pacar Alaska yang sebenarnya?
Ternyata lagu Dewa 19 yang bilang “cinta itu tumbuh karena terbiasa” itu benar banget. Terbukti dari Diska yang kini merasa sulit untuk melepas Alaska yang notabene adalah pacar saudaranya sendiri. Dia merasa mulai ada rasa sayang itu. Tapi saat menyadari perasaan itu mulai tumbuh, Diska berusaha mengusirnya jauh-jauh. Dia tidak mau suatu saat akan semakin sakit jika dia terus menyimpan perasaan itu. Karena Diska sadar, Alaska bukan miliknya. Dia di sini hanya menjadi peran pengganti untuk Gista. Dia bukan Gista. Dia bukan pacar Alaska. Dan Alaska tidak akan pernah menjadi miliknya.

✜✜✜

Akhirnya seminggu terlewati tanpa kehadiran sosok Gista yang menemani hari-hari Alaska. Rasa rindunya sudah membuncah sejak berhari-hari lalu, lebih tepatnya sejak hari pertama. Lebih-lebih lagi, sejak awal mereka pacaran, Gista selalu melarangnya untuk bertemu atau mencarinya di sekolah, apalagi mencari Gista hingga ke kelasnya langsung, Gista benar-benar langsung bakal minta putus sama cowok itu. Yah, larangan-larangan itu dibanding dengan rasa sayang Alaska memang tak seberapa. Gak lebih dari secuil. Jadi, demi rasa sayangnya dan membahagiakan sang kekasih, Alaska iya-iyain aja.
Malam ini adalah malam Minggu, dan besok pagi kekasihnya itu akan berulang tahun, itu berarti dia akan bertemu lagi besok dengan Gista.
            “Wuuhhuu!!!” Alaska bersorak kegirangan.
Sudah lama dia merindukan hari Minggu itu. Hari Minggu yang akan didapatnya setelah mampu melewati satu minggu tanpa Gista. Satu minggu yang buruk banget. Alaska malah merasa, satu minggu tanpa Gista itu bagaikan satu tahun di neraka. Panas. Dan besok pagi dia akan merasakan kesejukan surga sebagai gantinya.
Alaska menatap sebuah bingkisan yang telah dibungkusnya rapi dengan kertas kado berwarna merah muda –warna kesukaan Gista. Bingkisan itu berisi sepasang boneka barbie yang dibelinya saat mengunjungi sebuah Mall di kawasan Kelapa Gading beberapa hari lalu.
Dulu Gista memang pernah bercerita pada Alaska bahwa dia sangat-sangat suka boneka barbie. Bahkan Gista memiliki sebuah lemari di kamarnya yang penuh dengan boneka barbie.
Pandangan Alaska beralih ke meja belajarnya, yang di atasnya terdapat sebuah kotak kecil berisi sepasang cincin kayu yang sudah dipesannya jauh-jauh hari. Pada kedua cincin itu, terdapat sebuah ukiran namanya dan Gista –atau lebih tepatnya bentuknya seperti ini “Alaska ♥ Gista”. Lucu ya! Rencananya Alaska akan memberikan kedua kado ini besok pagi saat dia bertemu dengan Gista –sebagai hadiah ulang tahunnya.
Alaska meraih kotak kecil itu, lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang dengan tangan masih menggenggam kotak kecil itu. Alaska memejamkan matanya, lalu membukanya perlahan sembari menatap sepasang cincin berwarna coklat kehitam-hitaman itu.
            “Aku harap, cinta kita gak pernah lapuk, tapi bisa diukir dengan indah seperti cincin kayu ini,” gumamnya kemudian, lalu memejamkan matanya dan terlelap sambil mendekap kotak kecil itu.

✜✜✜


Alaska berdiri tepat di halaman sebuah rumah bercat hijau yang dikelilingi pohon palem di halamannya. Tenggorokannya terasa tercekat, karena tiba-tiba saja dia menyadari sesuatu bahwa ada yang aneh dengan rumah di hadapannya ini. Tentu saja, setahu Alaska, penghuni rumah ini sedang berulang tahun, tapi mengapa terlihat sepi sekali? Mengapa tidak ada tanda-tanda pesta di sini? Apakah Gista memang tidak merayakan ulang tahunnya dan hanya mengundang Alaska sebagai tamunya? Benarkah itu?
Alaska melangkahkan kakinya menapaki teras yang dihiasi keramik putih itu. Tok... tok.. tok... suara pintu diketuk Alaska. “Permisi...” serunya pelan. Di tangannya tertenteng sebuah bingkisan plastik berwarna merah muda yang berisi hadiah untuk sang empunya rumah.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara orang berlari dengan tergesa-gesa dari dalam rumah, lalu pintu pun terbuka. “Eh, den Alaska. Tumben datang ke sini. Mau cari non Diska, den?” tanya seorang wanita tua ramah.
            “Diska? Saya gak cari Diska, bik. Saya cari Gista,” bantah Alaska.
            “Non Gista? Loh, non Gista kan lagi di Rumah Sakit toh, den.”
            “Apa? Rumah Sakit? Gista sakit apaan, bik?” Alaska terbelalak mendengar jawaban pembantu keluarga Basuki itu.
            “Kurang tahu, den. Emangnya non Diska gak pernah cerita, ya? Sudah lima hari ini non Gista dirawat di sana,” terang pembantu yang bernama Bi Inah itu.
Diska? Siapa sih tuh Diska? Kok bibik ini sering banget sebut namanya? Emangnya gue kenal apa?
            “Duh, Gista dirawat di Rumah Sakit apa, bik?”
            “Lah, saya gak tau tuh den. Saya gak pernah diajak ke sana,”
Alaska garuk-garuk kepala. Bener-bener deh nih bibik, semuanya gak tau! Terus apa yang dia tau?! “Yah, si bibik, masa gak tau sih! Aduh, terus gimana dong? Gista kenapa sih? Kok gak pernah kabarin gue kalo’ dia sakit?” tanya Alaska cemas. Mukanya merah padam. Sepertinya dia memang lagi khawatir banget. “Ya udah deh, bik. Ntar saya telepon Gista aja langsung!” kata Alaska akhirnya, lalu membalikkan badannya hendak pergi dari rumah itu. Namun tiba-tiba, Bi Inah menarik bahunya.
            “Den Alaska tunggu dulu... Ada titipan dari non Diska,” cegat Bi Inah dan langsung berlari ke dalam rumah dan kembali dengan membawa sebuah handycame milik Alaska dan sebuah amplop cokelat. “Ini, non Diska pesen ini ke bibik, katanya suruh kasih den Alaska kalo’ misalnya dateng,” kata Bi Inah sambil menyerahkan benda-benda itu.
            “Diska itu siapa, bik?” Alaska mengerutkan keningnya.
            “Pacarnya den Alaska toh, siapa lagi.”
            “Loh, pacar saya itu kan Gista bik?”
            “Non Gista itu mah kembarannya non Diska. Setahu bibik, selama ini aden ke mana-mana perginya bareng non Diska. Jadi bibik kira pacarnya aden non Diska,” jawab Bi Inah polos.
Alaska semakin bingung. Alisnya kini bertaut. “Kembar? Gista kembar?”
            “Aden gak tau kalo’ pacarnya aden kembar?” Alaska hanya geleng-geleng.
            “Aduh, saya bingung deh bik! Tadi bibik bilang pacar saya itu Diska, tapi jelas-jelas saya itu pacaran sama Gista. Terus bibik bilang mereka kembar, bingung saya bik!!!”
            “Ya, saya juga den!” Bi Inah ikut-ikutan bingung.
            “Ya udah deh, saya pulang aja. Tapi, semua barang-barang ini beneran dari Diska? Bukan Gista?” Alaska menunjuk benda-benda yang ada di dalam genggamannya.
            “Iya, atuh. Masa bibik gak tau yang mana non Diska dan Gista sih!” Bi Inah mulai kesal.
Tanpa pamit, Alaska berbalik lalu masuk ke dalam sedan hitamnya dan melaju menuju rumahnya.

✜✜✜

Alaska menelungkupkan kedua tangannya dan membenamkan wajahnya di dalam. Dia masih bingung dengan perkataan Bi Inah tadi. Sudah berkali-kali dia berusaha memikirkan kata-kata itu, tapi dia belum juga mendapatkan jawabannya. Bahkan Alaska dibuat semakin bingung dengan sikap Gista yang tidak mau mengangkat teleponnya. Alaska tau, Gista memang sedang sakit, tapi apa Gista setega itu membiarkannya terduduk dalam kebingungan seperti ini?
Alaska menatap dua buah benda yang ada di atas meja belajarnya. Sebuah handycame yang dulu dipinjam Gista dan sebuah amplop berwarna coklat. Dia masih juga diliputi perasaan bingung. Menagapa handycame ini malah dia dapatkan dari Diska yang diakui Bi Inah sebagai saudara kembar Gista? Bukankah yang dulu meminjam benda itu adalah Gista? Lalu mengapa Bi Inah mengatakan Diska adalah pacar Alaska? Bukan Gista?
Alaska memutuskan untuk menonton video yang sudah dijanjikan Gista seminggu yang lalu di dalam handycame itu. Walaupun, isi amplop itu lebih membuatnya penasaran, tapi dia bertekad untuk memecahkan kebingungannya ini mulai dari video itu dulu.

Alaska mendapatkan sebuah keanehan dalam video itu. Bukan kegiatan Gista selama seminggu yang ada di sana, tetapi video seorang gadis yang sedang tertidur lemah di atas ranjang merah mudanya. Gadis itu sesekali terbatuk lalu tersenyum manis ke arah kamera dengan wajah pucat pasi. Alaska mengerjapkan matanya. Dia yakin betul, gadis yang ada dalam video itu adalah... Gista.
            “Diska, ngapain sih loe rekam gue?” tanya Gista pada gadis yang dipanggilnya Diska itu.
            “Hahaha... gue mau kasih kejutan ke pangeran loe.” Jawab sebuah suara yang tak nampak wajahnya.
Gista hanya tekekeh lalu terbatuk lagi. “Ada-ada aja loe!”
            “Alaska pasti bingung liat video ini, atau kalo’ dia liat loe sakit, malah mewek lagi... hahaha...” terdengar tawa nyaring dari seorang gadis yang bertugas untuk merekam.
Alaska terperanjat mendengar namanya disebut-sebut. Siapa gadis yang berbicara tadi? Apa itu yang bernama... Diska?
            “Kak Alaska ke mana? Kok gak pernah main ke sini lagi?”
            “Gue larang dia untuk ketemu selama seminggu ini.” Alaska mengernyitkan dahinya. Siapa itu yang berbicara? Apa benar-benar Diska? Mengapa malah dia yang tahu kenapa gue gak pernah ke rumahnya selama seminggu ini? Sedangkan Gista bingung gitu? Apa selama ini gue emang pacaran sama... Diska?
Lalu tiba-tiba Gista terbatuk lagi, dan kali ini makin keras. Bahkan dia terlihat memuntahkan darah.
            “Gis! Gis!” seru sebuah suara.
Lalu video itu mulai oleng tak terkendali. Gambarnya menjadi kabur dan gerakannya sangat cepat. Alaska yang menontonnya dibuat pusing. Lalu video itu berhenti dan gambarnya mulai normal lagi, tapi kini pengambilan gambarnya dilakukan pada posisi sebelah kiri. Terlihat seorang gadis yang mengenakan tanktop hijau tua dan celana pendek berwarna hitam sedang terduduk di atas ranjang membelakangi kamera. Suaranya terdengar ricuh, berteriak-teriak memanggil nama “bunda”.
Lalu sedetik kemudian seorang wanita berpakaian cukup rapi dengan setelan baju kantor berwarna merah marun datang tergesa-gesa dan langsung berlari memeluk Gista –yang Alaska sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada gadis itu. Tubuhnya tertutupi oleh tubuh gadis yang membelakangi kamera tadi, yang diyakini Alaska sebagai Diska.
Wanita yang dipanggil “bunda” itu terlihat sedang berusaha menelepon seseorang, lalu setelah itu dia menangis sambil memanggil-manggil nama Gista.
Diska yang tadinya membelakangi kamera kini berpindah posisi dan duduk di sebuah bangku di depan ranjang Gista sambil menangis. Alaska dapat dengan jelas melihat wajah gadis itu, ya... wajah Diska. Dia... dia memang benar-benar mirip dengan Gista. Sangat mirip. Dan kini, Alaska juga dapat melihat keadaan Gista yang tidak berkutik sedikitpun. Gista terlihat sedang tertidur sangat lelap. Bahkan saat bundanya berteriak-teriak histeris memanggil namanya Gista tidak kunjung bangun. Dan itu menguatkan dugaan Alaska bahwa Gista tidak tertidur, tetapi pingsan. Atau mungkin bukan pingsan... tapi... Ah! Alaska berusaha melenyapkan pikiran konyolnya dan kembali berkonsentrasi pada video yang ditontonnya. Alaska terlalu takut untuk menduga yang tidak-tidak. Dia bahkan lebih takut lagi jika dugaannya itu ternyata benar adanya.
Tiba-tiba, dua orang pria berpakaian putih-putih datang dan membopong Gista keluar dari ruangan itu. Alaska tidak tahu ke mana. Karena setelah Diska dan bundanya ikut menyusul dua orang pria itu, video itu pun berhenti.

Alaska menelan ludahnya yang terasa pahit. Bagaimana mungkin dia bisa melihat dua makhluk kembar yang benar-benar mirip dan tidak tahu yang manakah pacarnya selama ini. Dia merasa pernah bertemu dan berbicara dengan Diska dalam video itu, namun kedekatannya dengan Gista juga tidak bisa dipungkiri. “Arrrgghhh!!!” erangnya tertahan.
Alaska kemudian menutup handycame itu dan tatapannya beralih pada sebuah amplop cokelat yang cukup besar di hadapannya. Dengan ragu Alaska mengambil amplop itu dan perlahan membukanya. Krrrsskk... krrsskk... suara amplop terbuka dengan pelan. Huh! Alaska berharap, amplop ini tidak akan menambah kebingungannya, namun menjawab kebingungannya –bukan seperti video tadi yang malah membuatnya semakin bingung.
Dua lembar kertas putih terselip di sana beserta sebuah foto dua orang gadis kembar dengan baju dan segala pernak-pernik yang sama, hanya ada satu perbedaannya yang terletak di kalung yang mereka kenakan. Yang satu mengenakan kalung berliontinkan huruf “G”, dan yang satu memiliki liontin huruf “D”. Alaska dapat dengan mudah mengenali yang mana Gista dan Diska dari kalung yang mereka pakai. Ternyata mereka tidak ada bedanya, sangat mirip. Hanya saja di sudut bibir Gista terdapat sebuah tahi lalat kecil, yang jika tidak diperhatikan dengan seksama tidak akan terlihat, dan mata Diska lebih bulat ternyata.
Alaska kembali tertuju pada surat yang kini ada di tangannya. Dia membuka lembaran pertama dari surat itu...



Tiga hari sebelum loe terima surat ini...

Alaska...
Maaf, bukannya gue maruk, bukannya gue iri sama Gista, dan bukannya gue pengin ngerebut loe dari dia...
Itu semua permintaan Gista...
Dia yang minta supaya gue gantiin dia sebagai pacar loe...
Mungkin loe gak akan ngerti kalo gak dijelasin dari awal...
Tapi intinya, Gista sayang banget sama loe...
Dia gak pernah pengin buat loe kecewa, sampai dia rela ngorbanin kebahagiaannya bersama loe cuman untuk liat loe seneng...
Dia rela gue gantiin dia saat loe nembak dia dulu...
Loe pasti gak tau, hari itu yang loe tembak bukan Gista, tapi gue... Diska.
Diska yang bodoh yang enteng banget buat nerima segala yang diminta sodara kembarnya.
Dan loe tahu, sejak saat itu Gista jadi sakit-sakitan...
Dia jadi sulit untuk bangun, yang dia kerjain cuman bolak-balik rumah sakit...
Bahkan Gista terpaksa harus ngulang sekolahnya lagi karena penyakitnya itu...
Gue kasihan sama dia... jadi terpaksa gue yang harus gantiin dia sebagai pacar loe...
Maafin gue Ka, maafin Gista juga...
Ini bukan salah dia, tapi salah gue yang begok sampe segininya...
Please, gak usah loe musuhin Gista, dia terlalu baik buat loe benci...
Dia juga sih  bodoh banget,  ngapain coba rela liat gue pacaran sama loe?
Tapi ya itulah Gista, hatinya mulia banget, sampe dia gak pernah rela liat loe kecewa dan sakit hati...
Mungkin saat loe baca surat ini, gue udah tiduran di kamar mayat rumah sakit, hahaha... ngaco, ya, gue! Dan Gista udah bisa senyum kayak dulu lagi...
Gue sengaja buat surat yang gue tulis setelah Gista dibawa ke rumah sakit ini supaya loe paham akan kondisinya Gista dan bisa nerima dia apa adanya...
Gue cuman mau kasih tau loe, plisss... kunjungi Gista, dia butuh loe... plisss Ka... dia butuh loe banget... setiap malem gue selalu denger dia manggil-manggil nama loe... dia sayang banget sama loe...
Kayaknya Bunda bakal bawa Gista ke RSUD di daerah sekitar rumah gue deh, soalnya kondisi Gista udah parah banget, loe tadi liat kan... dia sampe muntah darah.
Kalo’ loe mau tahu penyakitnya apa, loe bisa tanya langsung ke Gista, gue gak tega nulis itu di sini...
Semoga loe bisa ngerti Ka...
Satu lagi, plisss... jaga Gista buat gue,
Loe pernah bilang kan kalo’ Gista itu nyawa loe, sama halnya dengan loe, Gista juga nyawa gue Ka... dia satu-satunya orang yang paling berharga di dunia ini buat gue... Kita udah hidup sama-sama sejak dalam rahim...
Ka... janji ya sama gue, jaga Gista seperti loe jaga nyawa loe sendiri...


Diska


Alaska menatap kertas putih yang ada di genggamannya lekat-lekat. Gista... Diska... jadi, selama ini gue udah dibohongin? Batinnya berteriak nyaring. Tega loe Gis, tega... tapi gue harus bilang apa, semua ini loe lakuin juga demi gue. Demi rasa sayang loe ke gue. Tapi, tapi kenapa harus dengan cara ini? Kenapa loe gak kabarin aja gue waktu itu kalo’ loe gak bisa dateng? Kenapa loe harus rela ngorbanin perasaan loe sendiri? Dan gue? Gue berhak marah sama loe Gis! Berhak! Dan gue berhak untuk benci sama loe... tapi, tapi sama kayak loe, gue juga sayang sama loe, dan terlalu sulit untuk gue benci sama loe... Gista... Gista... Alaska berteriak-teriak dalam batinnya. Terlalu kaku mulutnya untuk terbuka dan mengucapkan kata-kata yang tertanam di dalam hatinya.
Lagi-lagi Alaska menatap kertas itu. Diska, nama itu terbayang di pikirannya. Terima kasih, batinnya lagi. Setelah puas menatap benda putih di genggamannya, Alaska langsung menghambur keluar dari kamarnya dan melajukan mesin mobilnya ke sebuah rumah sakit yang dimaksudkan dalam surat yang baru saja dibacanya.
Alaska menghentikkan mobilnya di area parkir rumah sakit dan segera berlari ke dalam mencari sosok cewek yang sangat dirindukannya seminggu ini. Alaska bertanya pada beberapa resepsionis di sana, dan setelah berhasil mengetahui letak kamar Gista, dia kembali berlari dengan cepat ke sebuah ruang VIP khusus penyakit bedah. Alaska berhenti di sebuah kamar yang di dalamnya sedang terbaring lemah seorang cewek yang di tangan kirinya masih tergantung infus. Tok, tok, tok... Alaska mengetuk pintu kamar rawat itu dengan sangat pelan.
            “Sebentar...” jawab sebuah suara dari dalam. Setelah menunggu beberapa detik di depan pintu, akhirnya seorang suster yang baru saja memeriksa si pasien membukakan pintu untuknya. “Mau mengunjungi mbak Gista?” tanya suster itu ramah.
            “Iya, Gista-nya gimana sus?”
            “Oh, keadaan mbak Gista sudah agak baikan. Tapi tadi batinnya sedikit terguncang setelah membaca sebuah surat, dan saya tidak tahu itu apa. Mas ingin melihatnya? Silahkan... mbak Gistanya baru saja saya bantu untuk duduk di dekat jendela,” kata sang suster, lalu setelah itu dia berlalu meninggalkan Alaska yang mematung di depan pintu.
Perlahan cowok itu berjalan masuk ke dalam kamar bercat putih yang hanya dihuni oleh seorang cewek yang kini sedang memunggunginya.
            “Gis...” bisiknya sambil memegang bahu Gista, namun cewek itu hanya diam. “Gista? Ini kamu kan?” tanya Alaska, dan kini nada suaranya terdengar sedikit nyaring. Cewek itu menoleh dan kini menatap Alaska dengan mata sembabnya. Di tangannya tergenggam sebuah kertas berwarna putih yang terlihat basah.
            “Gista?” panggil Alaska lagi. “Kamu kenapa?” Gista tak kunjung menjawab. Dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela di hadapannya, namun sedetik kemudian tiba-tiba saja dia terisak. “Gista? Kamu kenapa?” Alaska semakin cemas. Segera direngkuhnya cewek itu dalam dekapannya dan berusaha menenangkan Gista sambil membelai rambutnya lembut.
            “Gista? Cerita dong... kamu kenapa? Gimana keadaan kamu? Hah?”
            “Kaaa... Kak Alaska...” panggil Gista dalam isaknya.
            “Iya, kamu kenapa?”
            “Diska... Diska... Diska jangan pergi... Diska...” Gista meraung-raung tak keruan.
            “Diska? Diska kenapa, Gis? Hah?” Alaska langsung melepas pelukannya saat mendengar Gista menyebut-nyebut nama Diska. Ditatapnya Gista lekat-lekat dan berusaha mencari jawaban dari sorot mata cewek di hadapannya itu.
            Gista semakin terisak. Kini dia sudah tidak bisa lagi mengendalikan nafasnya yang dari detik ke detik semakin sesak, hingga selang beberapa detik kemudian Gista ambruk dalam dekapan Alaska.

✜✜✜

            “Aku udah baca semuanya,” kata Alaska sambil menatap Gista yang kini terbaring di hadapannya. Beberapa menit yang lalu Gista tersadar dari pingsannya dan kini pelupuk matanya sudah tergenangi air mata.
            “Maafin Diska ya, Kak.”
            “Maaf untuk apa?”
            “Maafin dia karena udah gantiin aku jadi pacarnya Kakak. Tapi, tapi itu bukan salahnya Diska kok, kak. Itu salah aku... aku yang minta dia waktu itu buat gantiin aku...”
            “Udah, gak usah dibahas lagi. Itu semua udah lewat, yang penting kan sekarang kalian udah jujur sama aku... aku gak akan tega nyimpen dendam sama orang yang udah berkorban buat orang yang aku sayang... aku bakal benci banget sama diri aku sendiri kalau aku sampe gak maafin Diska... dia udah berkorban banyak buat kamu, sampe dia rela sumbangin jantung itu, kamu gak usah merasa bersalah gitu, Gis,” jelas cowok itu panjang lebar.
            “Aku kangen sama Diska, Kak... aku kangen sama dia. Aku belum sempat ucapin terima kasihku sama dia, aku pengin ketemu Diska, Kak...” Gista kembali tertanam dalam kesedihannya.
            “Iya... aku juga sama Gis, tapi mau gimana lagi, Diska udah gak ada. Dia udah tenang di alam sana...” kata Alaska sambil membelai rambut cewek itu. Sesekali dia mengusap air mata Gista yang sejak dia siuman tadi tidak berhenti menangis.
            “Diska, kenapa loe pergi secepat itu? Kenapa loe baik banget sama gue? Kenapa loe gak biarin gue mati duluan aja?”
            “Gista! Kamu gak usah ngomong gitu! Diska bakal sedih di sana  kalau liat kamu nangis-nangisan terus kayak gitu.”
            “Tapi Kak, aku... aku... Diska, aku pengin ketemu Diska,” Gista meronta-ronta seperti anak kecil. Alaska langsung membenamkan cewek itu dalam dekapannya hingga Gista benar-benar melupakan kesedihannya.
            “Kamu gak boleh sedih-sedih terus kayak gitu, itu bakal bikin hati kamu tambah sakit. Lebih baik kamu berdoa dan sampein rasa terima kasih kamu lewat doa... dan jangan lupa, kamu harus patuhi amanat Diska di dalam surat itu untuk jaga jantung yang dia tanam dalam tubuh kamu. Kamu harus jaga itu seperti kamu jaga Diska dan nyawa kamu sendiri, karena yang ada di dalam tubuh kamu sekarang adalah nyawa Diska, kamu inget?”
            “Aku tahu. Kak, besok ajak aku ke makam Diska, ya? Aku pengin berterima kasih langsung ke dia,”
            “Pasti! Aku juga pengin ucapin terima kasih yang sebesar-besarnya buat dia, karena kalau gak ada dia, aku gak akan pernah ngerasain untuk memiliki kamu seutuhnya. Kamu yang tabah, ya! Aku selalu ada di sini buat kamu!” kata Alaska setelah melepaskan pelukannya.
            “Kak?”
            “Hmm?”
            “Jangan pergi, ya... aku gak punya siapa-siapa lagi selain Kakak dan Bunda sekarang ini, setengah dari nyawa aku udah dibawa pergi sama Diska ke surga, dan yang setengahnya lagi aku udah kasih ke Kakak dan Bunda... jadi, tetap di samping aku, ya, agar aku bisa tetap hidup,”
            “Idih... kamu sok dramatis banget, haha... iya! Aku selalu di sini, lagian nyawa aku seutuhnya ada di kamu, mana mungkin aku bakalan pergi tanpa nyawa aku,” Gista tersenyum lega mendengar kata-kata Alaska tadi. Kini beban atas kepergian Diska terasa sedikit pudar berkat hadirnya sosok cowok seperti Alaska yang membangkitkan senyumnya, walaupun tak seutuhnya.
            Alaska bangkit dari duduknya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Gista. “Kamu tunggu di sini, ya! Aku mau nyari setengah dari nyawa kamu dulu buat gantiin aku jagain kamu. Soalnya aku harus pulang, ya!”
            “Tapi ntar malem balik lagi, kan?” Gista terlihat sedikit kecewa.
            “Pastinya... aku bisa mati kalau kelamaan gak di deket nyawa aku. Tunggu, ya! Aku cari Bunda dulu...” pamit Alaska setelah mencium kening pujaan hatinya. “Yang baik ya di sini... inget, gak boleh nangis lagi, ntar orang-orang yang nyimpen nyawa kamu ikutan sedih,”
            “Ya, janji kok! Kakak hati-hati, ya!” ucap Gista sambil memamerkan senyumannya yang terlihat sedikit agak muram.
            “Iya barbie-ku...”

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar