G
|
ista
menatap dirinya di cermin dengan pipi yang merona merah. Sekali lagi dia
tersenyum sambil memoleskan bedak bubuk berwarna merah muda ke pipinya.
Lagi-lagi sebuah senyuman tersungging di bibirnya, bahkan kali ini lebih
mengembang. Gista lalu mengelus-elus pipi chubby-nya
dan tiba-tiba bersorak kegirangan.
Entah apa yang membuatnya pagi ini begitu
bahagia. Bahkan sebuah jerawat yang membuatnya meringis tadi pagi dan terpaksa
harus bangun lebih awal karena nyeri di dahinya, kini malah membuatnya tak
berhenti tersenyum. Jerawat berwarna merah muda itu terus dipencet-pencet
hingga membuat tangan Gista lama-lama pegal juga.
Diska baru keluar dari kamar mandi saat menemukan Gista masih berkutat
di depan cermin dengan senyum masih mengembang di pipi saudara kembarnya itu.
Diska mengerutkan dahinya, sementara tangannya masih asik mengacak-acak rambut
cokelatnya dengan handuk kecil yang dilingkarkan di tangan.
“Loe kenapa, Gis? Aneh banget, pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri!”
tanya Diska sambil berjalan menuju lemari baju. Yang ditanya malah semakin gila
dengan senyumannya. “Yeee... ditanyain malah makin menjadi-jadi senyuman loe!”
“Sewot banget sih! Emang salah , ya, kalo gue senyum gini. Lagian mestinya loe ikut seneng dong liat gue
bahagia pagi ini,” Gista mengerecutkan bibirnya, namun sedetik kemudian kembali
memasang wajah cerianya. Benar-benar aneh!
“Kalo gue gak tau duduk permasalahan loe bisa bahagia kayak gini, mana
mungkin gue bisa ikutan seneng! Yang ada gue makin bingung liat tingkah loe!”
kata Diska setelah setelan seragam kotak-kotak birunya terkancing dengan rapi.
Berbeda dengan Gista yang menggunakan setelan seragam berwarna hijau marun.
Gista dan Diska memang bersekolah di sekolah yang berbeda. Ini
keputusan dari ayah mereka yang masih memercayai mitos bahwa jika sepasang anak
kembar dibiarkan hidup bersama, maka salah satu dari mereka hidupnya akan lekat
dengan marabahaya. Itulah yang ditakutkan ayah mereka, oleh karena itu sekolah
mereka harus terpisah untuk menjaga keselamatan keduanya. Semula Gista dan
Diska merasa sangat keberatan saat harus pisah sekolah, mengingat sejak kecil
mereka selalu bersama. Namun sekarang mereka sudah agak terbiasa, apalagi
sekolah mereka hanya terpisahkan oleh tembok pagar. Ya, SMA Bintang dan SMA
Angkasa memang berdekatan.
Gista bersekolah di SMA Bintang, sedangkan saudara kembarnya
bersekolah di sekolah sebelah sekolahnya.
Oke,
balik lagi ke si kembar, Gista dan Diska. Sekarang Diska lagi asik memoles
bedak ke wajahnya. Sementara Gista berjalan ke arah Diska dan mengambil sebuah
sisir dari meja rias yang terletak di sebelah lemari pakaiannya, lalu mulai
memintil rambut kembarannya itu. Wajahnya masih terlihat berseri-seri, penuh
dengan rona merah yang memancar.
“Dis, jatuh cinta itu indah, ya?” bisik Gista di telinga kembarannya
itu yang kini sedang memoles lipgloss
merah muda di bibir tipisnya.
“Mana gue tau! Gue kan gak pernah jatuh cinta,” Diska mengedikkan
bahu.
“Hah? Terus cinta pertama loe si David itu mau loe kemanain?” Gista
menoyor kepala Diska.
“Ish! Dia mah cuma cinta monyet. Gak berarti!” Diska malah balik
menoyor kepala Gista.
“Aduh! Sakit!” Gista meringis sambil mengusap-usap kepalanya.
“Loe pikir gue gak sakit apa?!”
“Hehe, iya deh, sorry!”
Gista mengangkat kedua jarinya, menyatakan tanda perdamaian untuk saudara
kembarnya itu.
“Hum, by the way, ngapain
loe nanya begituan? Atau jangan-jangan loe lagi jatuh cinta, ya?” tebak Diska
sambil mendongakkan kepalanya. Gista malah terlonjak mendengar pertanyaan
Diska. Dia berusaha menahan rasa deg-degannya agar wajahnya tidak memancarkan
senyum lagi, namun akhirnya senyum itu terpancar juga dari wajahnya.
Gista hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Diska semakin penasaran
lalu menarik Gista untuk duduk di sisi ranjang.
“Loe beneran jatuh cinta? Sama siapa? Ceritain!” paksa Diska sambil
menarik-narik lengan Gista. Yang ditarik hanya meringis merasakan nyeri di
lengannya.
Kali ini Diska memang benar-benar bersemangat. Baru kali ini dia
mendengar Gista jatuh cinta! Selama ini Gista memang sedikit tertutup untuk soal
cowok... dan selalu menghindar dari makhluk adam itu. Bahkan selama hampir 17
tahun dia hidup di muka bumi ini, dia belum pernah sekalipun terlihat dekat
dengan cowok manapun. Padahal dari segi tampang, Gista termasuk cewek manis,
dengan kulit putih langsat dan lesung pipi di kedua sudut bibirnya. Namun
begitulah Gista, sekali dia berkomitmen untuk tidak berhubungan dengan cowok,
maka komitmen itu akan terus dipegangnya. Namun, untuk kali ini sepertinya
komitmen itu sudah tidak berlaku lagi. Terbukti dengan adanya sosok seseorang
yang kini menghiasi hatinya.
“Dia kakak kelas gue,” aku Gista akhirnya. Diska semakin terlonjak.
Kakak kelas?
“Hah? Kakak kelas? Kok bisa loe kecantol kakak kelas?” Diska melongo.
Matanya membulat, hingga rongga-rongga yang menjaganya seakan tidak kuat lagi
menopang mata itu.
“Gue juga gak tau. Semenjak kejadian di kantin itu, gue jadi sering
senyum-senyum sendiri, dan gue sering deg-degan kalo inget kejadian itu,” ujar
Gista. “Apalagi, dengan munculnya jerawat pertama gue ini, gue makin seneng
banget!!!” lanjutnya dengan mata berbinar.
“Hah? Kejadian di kantin? Kejadian apaan? Terus, loe seneng punya
jerawat? Ya ampun! Di mana-mana, orang punya jerawat tuh risih, bete! Lah loe,
kok malah kegirangan?! Aneh ih!”
“Ini kan jerawat pertama gue Dis, selama hampir tujuh belas tahun gue
hidup. Gimana gue gak seneng! Jerawat kebanggaan plus pembawa kebahagiaan gitu
loh!”
“Ya deh, ya! Udah, mendingan loe ceritain deh gue sekarang, gimana
kejadian di kantin yang bikin loe mabuk cinta gini dan bikin loe bangga banget
sama jerawat ini!!!”
“Aduh, ntar pulang sekolah aja ya ceritanya, udah hampir jam setengah
tujuh nih!” Gista menunjuk jam berbentuk Barbie
berwarna pink yang tergantung di depan ranjangnya.
“Yah, Gis! Sekarang aja!” paksa Diska lagi.
“Ntar, oke!!!” setelah berkata demikian, Gista bangkit dari ranjangnya
dan berjalan menuju meja belajar untuk mengambil ransel putihnya.
Gista hendak keluar dari kamarnya saat tiba-tiba tangannya ditarik
paksa oleh saudara kembarnya. “Eh, loe belum kasih tau gue nama cowok itu!”
cegat Diska di ambang pintu.
“Aduh, ntar aja sekalian ceritanya!”
“Gis, ayo dong!!!” rengek Diska
manja.
“Kalo gue bilang ntar ya, ntar!!!
Bawel banget sih!” bentak Gista kasar, lalu melepaskan lengannya dari genggaman
tangan Diska dan berlari menuruni anak tangga.
Diska langsung mengunci mulutnya yang dikerucutkan. Pagi yang aneh.
Pertama kali mendengar Gista jatuh cinta... dan pertama kali Gista membentaknya
seperti itu! Huh! Apa jatuh cinta bisa bikin orang berubah, ya? Seperti yang
dialami Gista, yang berubah jadi sensitif banget.
✜✜✜
Gista baru akan keluar dari kantin sambil membawa
sekaleng minuman soda, saat tiba-tiba seorang cowok berbadan tegap menabraknya
hingga membuat minumannya tumpah dan mengenai baju si cowok yang ternyata
adalah... kakak kelasnya.
“Aduh!
Maaf ya, maaf! Aku gak sengaja! Maaf!” kata cowok itu panik saat menyadari
minuman orang yang ditabraknya tumpah. Namun Gista hanya diam sambil menatap
cowok itu dalam. Dia tertegun, sangat tertegun malah. Gista begitu terhipnotis
saat menatap mata sipit cowok itu dan wajahnya yang sangat manis. Hingga saat
cowok itu tiba-tiba memegang lengannya berusaha meminta maaf, Gista baru
tersadar dan langsung menarik lengannya.
“Eh,
gak apa-apa kok, Kak!”
“Tapi,
minuman kamu jadi tumpah! Aduh, aku bener-bener gak sengaja!”
“Gak
apa-apa kok. Lagian baju kakak juga basah gara-gara aku,
jadi gak perlu minta maaf!”
“Ini
mah gak masalah, tapi kamu gak jadi minum itu yang masalah banget! Aduh!
Ceroboh banget sih aku! Ya udah, aku beliin yang baru, ya?” pinta cowok itu
dengan mata berbinar-binar. Gista benar-benar speechless sekarang.
Tenggorokannya tercekat. Namun dia berusaha menolak dengan suara yang sedikit
tertekan.
“Aduh,
gak usah! Ntar aku bisa beli lagi kok! Lagian
sekarang aku mau langsung ke perpus!” kata Gista dan hendak beranjak dari
tempatnya berdiri.
“Eh,
tunggu! Aku beliin yang baru! Gak usah pergi dulu!” cegat cowok itu, namun
sayang, Gista telah kabur dan kini sedang berada di ambang pintu perpustakaan sambil memperhatikan cowok itu dari jauh. Ya, perpustakaan dan kantin memang terletak berdekatan, hanya dibatasi
dua buah pohon besar dan lapangan basket.
Tiba-tiba
Gista tersenyum sangat lebar. Dia tidak tahu kenapa, tapi jantungnya kini
berdetak begitu cepat dan badannya terasa dingin. Gista berusaha menghilangkan
segala sesuatu yang aneh dalam tubuhnya itu, lalu melenggang masuk ke perpustakaan menuju sebuah rak tempat novel-novel teenlit
bertengger.
Gista
sedang membolak-balik tumpukan novel-novel di sebuah rak, saat tiba-tiba
tangannya menyentuh sesuatu yang dingin di antara novel-novel itu. Gista
mendongakkan kepalanya. Jantungnya seketika itu juga berhenti berdetak selama
beberapa detik saat dia menemukan seorang cowok sedang tersenyum kepadanya sambil
membawa sebuah minuman kaleng untuknya. Kakak itu...
“Buat
kamu!” katanya dengan senyum masih mengembang. Gista menerima minuman itu
dengan tangan gemetar. Cowok itu lalu berjalan ke arahnya dan berhenti tepat
beberapa senti di hadapannya. “Maaf udah bikin kamu kaget. Oh ya, maaf juga
soal yang tadi. Aku bener-bener gak sengaja. Tadi aku memang buru-buru banget,
soalnya perut aku udah minta jatah. Jadi gak sengaja deh nabrak kamu,” jelasnya
dengan wajah tertunduk malu. Tangan kanannya mengacak-acak rambut cepaknya,
sementara tangannya yang kiri dimasukkan ke saku celana abunya.
Gista
hanya tersenyum tipis. Dia masih benar-benar kaget. Matanya membulat
memperhatikan cowok itu.
“Hei?”
kata cowok itu sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Gista hingga
membuat gadis itu terperanjat.
“Oh,
ya. Gak apa-apa,” jawab Gista setengah sadar. “Terus, baju Kakak gimana?”
“Aku
masih punya baju basket kok di kelas. Kamu gak usah khawatir,” Gista mengembangkan senyumnya saat mendengar
jawaban kakak kelasnya itu. Untunglah, cowok manis ini gak harus telanjang dada
gara-gara bajunya yang basah.
Gista
menyudahi cerita panjang lebarnya. Sepulang sekolah tadi, Diska memang langsung
memaksanya untuk menceritakan kejadi di kantin
itu, padahal waktu itu mereka baru memasuki gerbang rumah.
Gista benar-benar kesal melihat tingkah saudara kembar yang lebih muda
enam menit darinya itu. Namun akhirnya dia tak sanggup lagi mendengar rengekan
Diska lalu menceritakan kejadian yang membuat hatinya berbunga-bunga hingga
saat ini.
Diska hanya melongo tak percaya mendengar cerita Gista.
“Dia cakep banget, Dis! Mata
sipitnya benar-benar mirip mata orang korea. Terus, warna kulitnya seksi
banget. Hitam manis. Pasti gara-gara dia sering main basket. Oh ya, rambutnya
beda dari yang lain. Loe tau gak rambutnya Baro B1A4 yang cepak itu, yang pake’
poni depan? Uh!!! Dia makin terlihat keren, banget... banget... banget...!!!”
jelas Gista sambil mengusap-usap pipinya yang memerah. Diska hanya
manggut-manggut.
“Berarti oke banget dong!” kata
Diska sambil menggigit bibirnya.
“Bangetlaah!!! Dan kemaren gue baru
tau dari temen kelas gue kalo nama kakak itu... Alaska!”
“Alaska? Namanya keren. Pasti
orangnya gak kalah keren!” Diska menimbang-nimbang.
“Yeee... Dari tadi kan gue bilang
juga keren kali! Apaan sih loe!” Gista mengerutkan dahinya yang langsung
mengundang tawa kembarannya.
✜✜✜
Gista
mengentakkan kakinya ke lantai Post Satpam tempatnya berdiri saat ini. Dia
kembali melihat ke jam tangan berwarna merah muda yang melingkar di tangannya.
Ini sudah kelima kalinya dia memeriksa jam berapa sekarang dan sudah berapa
lama dia menunggu. Ya, Gista memang sedang menunggu jemputannya. Sekolah sudah
bubar dan saat itu hujan turun dengan deras. Semua siswa SMA Bintang sudah
kembali ke rumah masing-masing dan hanya Gista sendiri yang masih menunggu adik
kembarnya datang untuk menjemputnya.
Selama ini yang bertugas menyetir sepeda motor memang Diska, jadi
dialah yang diberikan hak untuk membawa sepeda motornya, walaupun nyatanya
sekolah mereka berdekatan.
Sudah hampir satu jam Gista berdiri di Post Satpam itu. Dan selama itu
pula Diska belum menjemputnya. Sepertinya Diska juga memang terjebak di
sekolahnya karena hujan belum juga berhenti, sehingga membuatnya tidak bisa
menjemput Gista lebih awal.
Suasana
saat itu begitu gelap karena langit mendung, padahal jam baru menunjukkan pukul
4 sore. Suasana seperti itu membuat Gista bergidik ketakutan. Dia memang paling
benci suasana sepi, apalagi di tengah kegelapan sore dan hujan deras seperti
ini.
“Dis, loe di mana, sih? Cepetan
dong, gue takut!!!” bisik Gista pada dirinya sendiri, sambil memeluk tasnya
yang mulai basah kecipratan air hujan.
Gista berjalan mondar-mandir dengan bibir mengerucut sepanjang dua
senti. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai, berusaha menenangkan
kegusarannya. Dia hampir menangis saat tiba-tiba sebuah bayangan melintas di
hadapannya, dan semakin diperhatikan ternyata bayangan itu mengarah ke tempat
parkir.
“Ternyata, masih ada orang di
sekolah ini. Gue kira cuma sendirian di sini,” desah Gista lega. Dia
sangat-sangat bersyukur akhirnya dia tidak sendiri di tengah suasana mencekam
ini.
Gista kembali memperhatikan sosok bayangan yang ternyata adalah
seorang cowok. Cowok itu terlihat santai berjalan di tengah hujan sambil
menenteng ransel hitamnya menuju parkiran, lalu mengenakan ransel itu saat dia
sudah berada di atas sepeda motornya.
“Tuh cowok gak kedinginan, ya? Masa
hujan-hujanan kayak gitu! Ih!” Gista bergidik ngeri membayangkan betapa
dinginnya air hujan yang dengan lancarnya mengalir di tubuh cowok yang hanya
terlapis baju basket berwarna merah-kuning itu.
Semenit kemudian sang cowok melintas di depan Gista, dan betapa
terkejutnya gadis itu saat menyadari cowok itu adalah... Alaska! Dia hampir
berteriak kegirangan mendapati sang pujaan
baru saja melintas di depannya. Tapi niat itu urung dilakukan.
Alasannya, Gista tidak sanggup menahan malu dan sakit hatinya kalau-kalau
Alaska bakal ilfeel melihat tingkahnya.
Gista terus memperhatikan Alaska yang sedang bersiap-siap untuk
menyebrang. Rasa dingin dan takutnya tiba-tiba hilang seketika dengan kehadiran
Alaska sore itu.
✜✜✜
Alaska baru akan menyeberang saat tiba-tiba dari arah Timur melaju
mobil pick-up dengan kecepatan
tinggi. Alaska tidak terlalu memperhatikannya karena saat itu suasana hujan
yang deras membuat penglihatannya sedikit kabur. Dan saat motornya sudah berada
di tengah jalan, tiba-tiba... ciiittt... braaakkk!!! Mobil itu menghantam
Alaska dan sepeda motornya, hingga membuatnya terhempas ke sebuah pohon besar
lalu jatuh ke tanah. Kepalanya membentur sebuah batu di bawah pohon itu.
Seketika itu juga darah mengalir deras di pelipisnya.
Alaska sempat mendengar seseorang meneriaki namanya, namun itu hanya
sesaat. Karena setelah itu semuanya terasa gelap bagi Alaska dan dia tidak
ingat apa-apa lagi.
Alaska
membuka matanya yang sedikit agak perih dan menemukan dirinya sedang tertidur
di tempat yang menurutnya agak asing. Dia memutar sedikit kepalanya yang masih
pening ke kiri, lalu melihat ke ujung bawah sana, di mana di tangan kirinya
tertancap sebuah infus yang bergelantung di sisi ranjang. Alaska mencoba meraba
bagian kepalanya yang terlilit perban putih sambil meringis menahan perih di
kepalanya.
Dia memejamkan matanya perlahan, lalu kembali membukanya. Memejamkannya
lagi, lalu membukanya, begitu seterusnya hingga dia benar-benar tidak merasakan
lagi pening yang menggerogoti kepalanya. Namun sayang, rasa pening itu tak
kunjung reda.
Alaska
mendesah pasrah, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan,
berharap dia akan menemukan seseorang yang bisa menemaninya ke kamar mandi,
karena sekarang dia tiba-tiba merasa ingin pipis. Namun tiba-tiba matanya
membelalak kaget, saat dia menemukan seorang gadis berambut cokelat
sedang tertidur pulas di sebuah sofa di ruangan itu. Gadis itu terlihat begitu
menikmati tidurnya, hingga dia tidak menyadari bahwa Alaska telah sadar dan
kini sedang memperhatikannya.
“Siapa dia?” tanya Alaska dengan
suara tertahan. Tangannya bergetar hebat, apalagi saat tiba-tiba gadis itu
menguap lebar dan mulai bangun dari tidurnya.
Alaska lekas berpura-pura tertidur, layaknya orang yang belum sadar
dari pingsannya. Namun sayang, usahanya gagal karena gadis itu berhasil
memergokinya sedang menatapnya.
“Kak Alaska udah sadar?” tanyanya,
lalu berjalan menuju ranjang cowok manis itu.
“Si-siapa kamu?”
Gadis itu berhenti sebelum dia benar-benar berada lebih dekat dengan
Alaska. Dia berusaha menekan-nekan dadanya agar rasa itu tidak terlalu
membuncah.
“Maaf sebelumnya, Kak.
Mungkin aku terlalu lancang untuk berada di sini. Kemarin aku pengin hubungi
keluarga Kakak, tapi setelah aku cari-cari, aku gak nemuin ponsel Kakak.
Aku pikir mungkin Kakak gak bawa ponsel. Ditambah, sejak kejadian itu, Kakak
belum sadar juga hingga sekarang, aku jadi bingung, gak tau gimana cara
menghubungi keluarga Kakak. Jadi aku putusin untuk jaga Kakak
sampe Kakak benar-benar sadar,” jelas gadis itu sambil tertunduk.
Alaska manggut-manggut. Sepertinya dia mengerti maksud gadis itu. Dia
jadi teringat kecelakaan yang menimpanya kemarin sore. Oh, jadi itu sebabnya
mengapa sekarang dia berada di sini.
“Jadi kamu yang udah nolongin aku?”
Gadis itu hanya tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya, “Oh, ya. Namaku
Gista! Kakak ini, Kak Alaska kan?”
“Gista? Iya, aku Alaska.” Alaska
mengerutkan dahinya. Dia masih diliputi perasaan bingung mengapa gadis ini bisa
mengenalnya. Namun akhirnya, dia membalas uluran tangan itu sembari mengucapkan
terima kasih.
✜✜✜
Diska
mengobrak-abrik seluruh isi lemarinya dan dilemparkannya kasar ke atas kasur.
Tangannya dikacakkan di pinggang, dan sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Badannya yang masih terlapis handuk tak berhenti
mondar-mandir di depan lemari.
Diska memang sedang bingung malam ini. Pasalnya sebentar lagi jam
setengah delapan, dan itu berarti sebentar lagi Alaska akan datang menjemputnya
untuk makan malam di rumah cowok itu. Sedangkan dia belum tahu akan mengenakan
baju apa. Hanya riasan wajahnya yang sudah siap menghadiri acara resmi dengan
orang tua Alaska itu. “Duh,
Gis! Gue harus pake yang mana, nih? Gue bingung!” tanyanya dengan wajah
tertekuk pada saudara kembarnya yang sedang berbaring di ranjang pink mereka.
“Pake aja sesuai tema acaranya!”
“Ish! Tapi masalahnya acara ini tuh
gak punya tema, cuma makan malam biasa sama ortunya pangeran loe!”
“Hahaha... tuh kan loe tau, temanya
makan malam. Pake dress yang cocok
buat makan malamlah... tapi yang sopan dress-nya,
soalnya loe bakal ketemu sama calon mertua! Hahaha...” Gista mengingatkan
sambil tertawa cekikikan.
“Calon mertua loe, kali!”
“Lagian, loe aneh banget! Tumben mau
ketemu sama Kak Alaska pake acara hancurin lemari gini. Perasaan dulu pas Kak
Alaska nembak loe, loe gak sampe segininya,”
“Yah, itu mah cuma bakal ketemu sama
Alaska-nya doang. Jadi yah gue pake baju seadanya aja. Ini kan masalahnya beda.
Lagian, baju yang dulu gue pake kan baju yang rencananya bakal loe pake, jadi
gue gak musti bingung kayak gini,”
Gista merenung setelah mendengar kata-kata Diska. Dia jadi teringat
kejadian tiga bulan lalu, saat Alaska mengajaknya kencan.
Saat itu hujan yang turun dengan deras
berlomba-lomba menghiasi sore terindah Gista dengan calon pangerannya. Yah,
satu minggu setelah kejadian Gista yang menolong Alaska karena kecelakaan itu,
mereka jadi sering bertemu di luar sekolah, lebih tepatnya berkencan. Dan tepat sore ini Alaska berencana mengajaknya berkencan lagi untuk kesekian kalinya. Jelas Gista sangat senang. Sehari sebelum kencannya itu, Gista sudah menyiapkan segala
sesuatu yang akan dia pakai. Jelas saja dia begitu hebohnya, Alaska memang
cowok idamannya.
Gista
masih berada di kamarnya sambil memoleskan beberapa alat kosmetik ke wajahnya.
Walaupun badannya masih berbalut handuk pink, namun baju yang akan
digunakannya sudah tertata rapi di atas ranjang, pastinya beserta sepatu dan
tas sebagai pelengkapnya.
Gista
bangkit dari meja riasnya saat dia merasa riasan wajahnya yang begitu tipis
sudah cukup untuk menghiasi wajah putihnya. Gista lalu berjalan ke arah ranjang
dengan wajah masih bersemu merah. Dia benar-benar tidak sabar bertemu dengan Alaska. Namun tiba-tiba saat Gista akan meraih
blouse
putih dan hot pans pink-nya, Gista merasakan nyeri di dadanya yang
langsung membuatnya ambruk ke lantai.
“Aduuhh...”
ringisnya sambil menekan-nekan dadanya.
Dia
mencoba berdiri, namun itu membuat dadanya semakin nyeri. Gista kembali ambruk
dan kini terkulai lemas di lantai dengan tangan masih berada di dada. Gista
hampir menangis, saat Diska datang sambil membawakan segelas susu cokelat untuknya.
“Gis!
Loe kenapa?!” tanya Diska panik dan langsung berlari ke arah Gista. Sebelumnya
dia meletakkan susu cokelat itu di meja rias, lalu berjongkok di hadapan
Gista. “Loe kenapa? Dada loe sakit lagi?” Gista hanya meringis. Diska berusaha
membantunya berdiri dan membaringkan saudara kembarnya itu di ranjang. “Kambuh
lagi?” tanya Diska lagi. Gista hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.
“Minum
dulu, nih!” Diska beranjak dari duduknya dan mengambil susu cokelat yang tadi diletakkannya di
meja rias, lalu membantu Gista meminumnya.
“Sekalian
obatnya!”
“Gak!”
Gista menolak sambil menutup rapat-rapat mulutnya dengan tangan.
“Kalo loe gak minum obat ini, loe bakal tambah sakit!”
“Tapi
gue gak suka obat! Itu pahit!”
“Gista!
Loe keras kepala banget sih?! Terserah loe deh!” akhirnya Diska menyerah juga
untuk memaksa Gista agar mau meminum obatnya. “Terus acara kencan loe gimana?”
“Gak
tau.” Jawab Gista pasrah. Wajahnya yang pucat tiba-tiba saja dialiri air mata
yang semakin lama semakin deras.
“Loe
nangis? Kenapa?”
“Gue
takut bikin Kak Alaska kecewa seandainya gue gak dateng,”
“Jadi
loe mau paksain dateng, gitu?”
“Kalo gue bisa, kenapa gak?!”
“Hhh...”
Diska mendesah, heran juga melihat kembarannya ini rela sakit demi rasa
cintanya. “Tapi loe masih sakit, Gis! Loe gak bisa pergi! Mending dibatalin aja
deh!”
“Tapi
pasti Kak Alaska bakal kecewa banget Dis!”
“Terus
loe mau gimana lagi?” Diska terlihat kesal melihat sikap Gista yang keras
kepala.
Di
balik kekesalan Diska, Gista terlihat sedang berpikir keras, lalu tiba-tiba senyumnya
mengembang, “Gimana kalo loe yang gantiin gue, Dis?” tawar Gista. Diska yang
ditawari seperti itu malah melongo dan langsung tertawa. “Kok loe malah ketawa?”
“Ya
jelas gue ketawalah... habis loe lucu! Masa loe nyuruh gue gantiin loe buat
nge-date,
ada-ada aja! Gak ah!” tolak Diska dan hendak pergi dari kamar itu, namun
langkahnya terhenti saat dia mendengar rintihan Gista semakin keras.
“Gis,
loe baik-baik aja?”
“Sakit,
Dis! Dada gue!” jerit Gista sambil menekan-nekan dadanya. Air mata langsung
bercucuran di pipinya. Diska merasa iba juga melihat orang yang berwajah sama
persis dengannya itu begitu kesakitan, hingga dia bisa merasakan sakit itu.
“Makanya,
Gis. Minum obatnya biar sakit loe berkurang,”
“Diska...
sakit!!!”
“Gis!!!
Gue bisa lakuin apa? Loe gak mau minum obat!” Diska malah ikut-ikutan menangis.
Dia mencoba menenangkan Gista yang dari detik ke detik jeritannya semakin
memilukan.
“Bunda
mana?” tanya gadis manis itu sambil menahan sakitnya.
“Gue
gak tau. Sejak tadi pagi, gue gak liat Bunda,
mungkin dia masih kerja,”
“Bunda!!!”
“Gis,
Bunda masih kerja! Loe gak boleh cengeng gitu
dong!”
“Tapi
sakit, Dis!”
“Gue
tau! Makanya gue suruh loe minum obat supaya sakitnya berkurang. Loe keras
kepala banget sih?!” Gista semakin terisak setelah Diska membentaknya seperti
itu. Diska memang paling benci melihat Gista yang setiap sakitnya kambuh tidak
pernah mau minum obat.
“Oke,
gue mau minum obat. Asalkan loe mau gantiin gue kencan bareng Kak Alaska,”
“Tuh
kan Alaska lagi, Alaska lagi! Loe ini lagi sakit masih mikirin dia mulu sih!”
“Loe
mau gak?” tawar Gista lagi dan lagi.
“Iya,
iya! Gue mau! Tapi loe minum obat dulu!” akhirnya setelah melalui negosiasi
yang cukup berat, Gista mau meminum obatnya, dan sebagai gantinya Diska akan
menggantikannya dalam acara kencannya bersama Alaska.
Diska
memasang tampang kusutnya saat Gista memaksanya memakai baju yang sudah
disiapkan Gista di atas ranjang. Namun akhirnya baju itu dipakai juga, dan
sebagai sentuhan terakhir Diska memoleskan berbagai macam kosmetik ke wajahnya
agar terlihat lebih fresh. Setelah semua siap, Diska meraih ponsel
Gista agar dia bisa menghubungi Alaska setibanya di tempat nanti.
“Gis,
loe yakin?”
“Banget!”
jawab Gista dengan senyum cerah.
“Tapi
gue gak yakin,” kata Diska tertunduk sambil memandangi high-heels
hitamnya.
“Yakin-yakinin
aja.”
“Tapi
sebelumnya gue gak pernah ketemu sama Alaska. Ntar kalo’ gue salah orang
gimana?”
“Percaya
deh. Loe gak bakal salah orang,” Gista meyakinkan.
“Terus
loe gimana? Masa gue harus ninggalin loe sendirian di sini? Keadaan loe kan
masih belum terlalu baik, Gis!”
“Tadi
kan loe udah telepon bunda, sayang. Dia yang akan jaga gue ntar,”
“Jadi,
gue pergi nih?” Diska masih terlihat tidak yakin dengan keputusan saudara
kembarnya itu.
Namun Gista terus memberinya semangat dan
meyakininya –atau lebih tepatnya memaksa Diska– hingga akhirnya gadis itu mau
juga pergi bertemu dengan Alaska, dan di tempat itu ternyata Alaska menembak
Diska –atau Gista. Sebelum mengambil keputusan, otomatis saat itu Diska meminta
persetujuan saudara kembarnya, dan Gista memberinya lampu hijau untuk menerima
Alaska.
Akhirnya
setelah hampir lima belas menit berkutat di depan lemarinya, Diska memutuskan
untuk menggunakan blouse hijau polos
dengan mini skirt hitam yang
dilengkapi dengan sebuah kalung jangkar yang terjuntai di lehernya,
lengkap dengan sebuah high-heels
bermotif zebra favoritnya dan Gista.
“Gis, kayaknya Alaska udah di depan,
gue jalan dulu ya,” pamit Diska pada saudaranya yang masih terbaring lemah di
ranjang. Gista hanya tersenyum lebar.
Ya,
sudah tiga bulan sejak penyakitnya kambuh Gista terperangkap di kamarnya.
Alasannya ya satu, terlalu sakit untuk melakukan hal lain selain tidur. Infeksi
jantung yang dideritanya sejak kecil memaksanya untuk rela melepaskan
kabahagiaannya di sekolah dan kebahagiaannya menjadi pacar seorang Kandiaz
Alaska.
“Loe gak mau titip apa-apa buat
Alaska, Gis?” tanya Diska sebelum beranjak dari kamar itu.
“Gue cuma mau titip, buat kak Alaska
selalu senyum dan gak usah malu-maluin di depan ortunya,” jawab cewek itu
lemah. Suaranya terdengar sedikit agak serak karena radang tenggorokan yang
kini sedang melandanya.
“Gue gak senorak itu kali sampe’
bikin malu di depan ortunya Alaska. Ya udah, gue jalan!”
“Hati-hati. Inget pesen gue!”
“Sip! Jaga diri loe, ya! Kalo’ loe
butuh sesuatu, jangan sok takut ngerepotin bunda, oke!” Gista hanya tertawa
kecil mendengar celotehan Diska yang kini sudah hilang di balik ambang pintu.
Setelah kepergian Diska, tiba-tiba saja Gista terisak. Rasa sedih yang selalu
dipendamnya terasa kini semakin menjalar ke seluruh rongga sendinya. Sakit.
Ditambah lagi dengan penyakit jantung yang dideritanya itu, membuatnya semakin
tak bersemangat untuk hidup.
Walaupun
di depan saudaranya Gista selalu tersenyum dan terlihat ceria, namun sebenarnya
dalam hatinya begitu perih. Ya, perih menerima kenyataan mengapa dia harus
berada di ranjang ini dan melewatkan kesempatan indah yang selalu diimpikannya
bersama Alaska, dan harus rela memberikan kebahagiaan itu dirasakan Diska.
Perih memang, tapi itu sudah takdirnya. Kini dia
hanya bisa pasrah, karena dia terlalu lemah untuk mampu melawan takdir.
✜✜✜
Diska
dan Alaska memasuki sebuah rumah bercat putih pucat yang tidak terlalu mewah
sambil membawa sebuah bingkisan kecil yang tadi dibeli Diska di boutique langganan bundanya.
Alaska
berjalan sambil menggandeng tangan Diska dan menuntun gadis itu menuju ke ruang
tengah tempat meja makan berada. Orang tua Alaska sudah menunggu di meja makan
setibanya mereka di sana. Diska membungkuk lalu mengucapkan salam, “Malam
oom-tante,” sapanya dengan senyuman yang terkesan sedikit agak malu.
“Selamat malam, aduh cantiknya. Ayo
duduk, tante udah siapin makan malam yang enak untuk menyambut kamu,” kata mama
Alaska sambil mengapit lengan Diska dan menyuruh gadis
itu duduk di sebuah kursi di sebelah Alaska. “Ih si akang
koq malah duduk duluan, neng-nya dibiarin berdiri gitu aja!” kata mama Alaska
sambil menepuk pundak anaknya. Alaska hanya terkekeh, sementara Diska yang kini
sudah duduk di sebelah cowoknya hanya tersneyum tipis.
“Oh ya tante, ini Dis–eh, Gista
bawain sedikit oleh-oleh,” kata Diska sambil menyerahkan bingkisan yang tadi
dibawanya pada mama Alaska yang duduk di hadapannya.
“Loh, koq repot-repot gitu. Aduh,
makasih banyak, ya!”
“Nah, ma-pa, ini Gista, cewek yang
sering Alaska ceritain itu. Pacar pertama, inget dong!” Alaska mengedipkan
sebelah matanya ke papanya, yang langsung disambut gelak tawa seluruh penghuni
meja makan.
Pacar
pertama? Wah, Diska baru sadar, ternyata Alaska cowok yang dipuja kembarannya itu baru pertama kali
ini pacaran, sama persis dengan Gista. Mereka
memang jodoh.
“Manis ya, ma.” puji papa Alaska.
“Banget pa. Cocok ya jadi calon
menantu,”
“Apaan sih mama, ih! Dia ini kan
baru kelas satu ma. Beda sama Alaska yang bentar lagi mau lulus. Masa udah
dibilang calon menantu, kayak kita mau nikah aja!” Diska langsung membelalakkan
matanya. Alaska bentar lagi mau lulus?
Berarti, kelas tiga? Loh, koq Gista gak pernah cerita? Wah parah! Pacar apaan
nih gue? Gak tau apapun tentang cowok gue sendiri!
“Kenapa Gis?” tanya Alaska heran
melihat Diska yang menatapnya tanpa berkedip.
“Eh, gak apa-apa,”
“Ya, suatu saat kan Gista pasti
bakal lulus juga, kang. Sama kayak kamu. Jadi gak masalah dong mama bilang dia
calon menantu. Kan siapa tau besok abis lulus Gista nikah gitu sama kamu,” goda
mamanya lagi.
“Tante bisa aja!” kata Diska malu.
“Mama apaan sih. Udah Gis, gak usah
didenger. Ayo, makan aja langsung kalo’ kamu udah laper,”
“Oh ya, ayo makan sayang. Aduh
sampe’ lupa kalo’ kita bakal makan malam. Keasikan ngobrol,” kata papa Alaska,
dan mulai menyedokkan nasi ke piringnya.
“Iya, ayo dimakan makanannya
sayang,” sambut mama Alaska. Diska hanya tersenyum, lalu mengambil sepotong
ayam goreng dan diletakkannya di atas nasi yang ada di piringnya.
Lima
belas menit berlalu dengan acara makan malam yang begitu hangat. Tidak ada yang
berbicara selama acara berlangsung, karena dalam aturan keluarga Alaska memang
begitu. Dilarang berbicara saat sedang makan! Namun, perbincangan hangat,
menarik nan lucu kembali terjadi setelah makanan masing-masing telah tertanam
di dalam perut.
“Ma, aku mau ke atas dulu ya bareng
Gista. Katanya dia penasaran pengin liat kamar aku,”
“Tuh kan, belum jadi menantu aja
udah ngebet pengin main ke kamar. Tanda-tanda tuh bakal ada kemungkinan jadi
menantunya mama,” lagi-lagi mama Alaska menggoda, dan langsung membuat pipi
Diska bersemu merah.
“Mama mulai lagi deh! Liat tuh,
Gista jadi malu.”
“Calon mertuaku lucu ya,” tiba-tiba
Diska ikut nimbrung, dan kini malah membuat Alaska yang malu setengah mati.
“Tuh, Gista aja udah bilang mama
calon mertua,”
“Gis! Ih, kamu mau banget sih
ladenin dua orang tua ini. Udah yuk kita ke atas! Ntar makin aneh-aneh lagi
obrolannya,” Diska terkekeh melihat pipi Alaska yang memerah.
“Udah Gis, ke atas gih sana!
Akangnya udah ngebet banget!”
“PAPAAA!!!” bentak Alaska dan
langsung melotot ke arah papanya. Semuanya tertawa melihat tingkah Alaska yang
seperti anak kecil –kecuali Alaska tentunya. Dia langsung menarik tangan Diska
dan membawanya ke sebuah ruangan berukuran cukup besar dengan tembok bercatkan
biru-hitam yang dilengkapi sebuah walpaper
bergambar bendera Amerika.
Diska
memasuki kamar itu dengan sedikit agak ragu-ragu. Maklum, seumur hidupnya dia
memang baru pertama kali ini masuk ke kamar cowok.
“Yuk, duduk di sini!” Alaska
menyuruh Diska duduk di sebuah sofa berwarna biru tua di dekat jendela besar
yang tertutupi gorden hitam.
“Kamar kakak lucu!” puji gadis itu
sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
“Di mana lucunya? Serem kali! Banyak
warna hitamnya gini!”
“Lucu koq! Liat tuh, ada gambar
bendera Amerika-nya, tapi di meja belajarnya kakak bendera yang dipajang malah
bendera Jepang. Lucu kan?”
“Yah itu mah gak lucu sayang! Tapi
aneh!”
“Ih, koq malah ngatain kamarnya
sendiri aneh sih?”
“Habis kamu, masa kamar kayak gini
dibilang lucu? Biasanya kalo’ temen-temen cewek aku main ke sini pasti
dibilangnya kamar aku serem atau aneh gitu!”
“Wah... parah nih! Sering ngajak
cewek main ke kamar! Ayooo...”
“Ah! Jangan neti dulu! Mereka main
ke sini palingan cuma buat kerja kelompok kok! Kamu cemburu ya?”
“Ih, cemburu? Gak deh! Males gila
aku cemburu sama temen-temen kakak yang pastinya udah pada tua itu!”
“Hahaha... kamu ini ada-ada aja!”
“Tapi beneran deh, kak. Kamarnya
lucu banget, unik! Kalo’ kamar aku mah full
with pink,”
“Yang lucu itu kamu lagi, ih! Liat
nih, pipinya... unyu-unyu banget!” kata Alaska sambil memainkan pipi Diska
gemas. Diska langsung mengerucutkan bibirnya karena tersinggung pipinya
dimainkan seperti itu, bikin sakit aja! “Tuh kan makin lucu! Bibirnya
manyun-manyun!”
“Jangan dicubit dong, sakit!”
“Hehe, maaf deh sayang!”
“Itu apa?” tanya Diska sambil menunjuk
sebuah handycame di laci dekat meja
belajar Alaska. Dia lalu berjalan ke arah benda itu dan memainkannya,
berpura-pura seperti reporter yang sedang merekam seorang artis. “Wah, handycame-nya keren! Aku boleh pinjam,
gak?”
“Buat?” Alaska mengerutkan keningnya.
Tumben banget liat cewek kece kayak Diska ini mau main-main dengan handycame.
“Buat ngerekamlah!” kata gadis yang sudah duduk
kembali di sofa sebelah cowoknya itu.
“Ngerekam apaan?” Alaska makin
bingung. Alisnya kini bertaut.
“Aku!”
“Ih, pede banget. Masa dirinya
sendiri mau direkam. Mending gitu bikin film pendek, lah kamu?”
“Koq gitu banget! Emang gak boleh,
ya?” Diska menekuk wajahnya.
“Ya bolehlah, sayang. Tapi kan aneh
banget gitu, kamu pinjem handycame cuma
untuk ngerekam diri kamu,”
“Hhh...” Diska menghela nafasnya
panjang, lalu mulai menjelaskan maksudnya yang sudah dipikirkannya sejak tadi.
“Gini kak, sebenernya aku pengin bilang sesuatu ke kakak. Um, gimana kalo’
seminggu ke depan kita gak usah ketemu dulu, gak usah telepon-teleponan,
sms-an, pokoknya gak usah berhubungan deh selama seminggu! Nah, selama kita gak
ketemu itu, aku bakal ngerekam apa aja yang aku lakuin pake handycame ini,”
“What?
Kamu udah gila ya!” Alaska membelalakkan matanya mendengar keinginan pacarnya
itu.
“Aku masih normal tau. Saraf-saraf
aku masih berfungsi dengan baik!”
“Yah, habis kamu, masa permintaannya
aneh gitu!”
“Yah, aku kan minta kayak gitu ada
maksudnya juga, kak. Aku pengin tau sejauh mana rasa sayang kakak ke aku,”
“Tapi kan gak gitu juga caranya!!!”
Alaska menghempaskan tubuh sixpack-nya
ke sandaran sofa.
“Ayo dong kak... tau gak! Keinginan
aku ini udah aku pikirin dari dulu banget, sebelum aku tau yang namanya
pacaran. Aku dulu pernah bilang sama diri aku sendiri, kalo’ aku punya pacar nanti,
aku akan minta pacarku itu untuk ngelakuin hal yang aku bilang tadi,”
“Tapi Gis! Aku gak akan bisa sehari
gak liat kamu, gak denger suara kamu, gak liat senyum kamu! Aku gak akan
sanggup! Aku bisa mati kalo’ kamu mintanya aneh kayak gitu!”
“Yakin deh, kakak gak bakal mati.
Nyawa kakak kan gak kemana-mana,”
“Tapi nyawa aku itu kamu, Gis! Aku
gak bisa hidup tanpa kamu!” kata Alaska sok dramatis.
“Kakak hidup tanpa aku cuma seminggu
kok! Seminggu kemudian pas ulang tahun aku, kita bisa ketemu lagi. Kalo’ kakak
beneran sayang sama aku, kakak pasti bisa ngejalaninnya!”
“Emang kamu yakin, Gis?”
“Banget.”
“Tapi aku berat untuk ngelakuinnya,”
“Kak, ayo dong! Ya!”
“Gis?”
“Ya?”
“Iya, deh. Kalo’ itu mau kamu, aku
terima aja! Asal kamu seneng!” ujar Alaska pasrah.
“Gitu dong!”
“Kita bakal mulainya kapan?”
“Besok pagi!” kata Diska mantap.
“Besok? Hum, kalo’ gitu ini harus
ada syaratnya!”
“Loh, kok pake’ syarat segala?”
Diska melotot.
“Ya harus dong. Syaratnya, kamu
harus temenin aku habisin malem ini. Entah kita jalan-jalan di mall, main-main
di luar, pokoknya keliling Jakarta sampai aku bener-bener sanggup untuk hidup
tanpa kamu selama seminggu!”
“Malam ini?”
“Laiyalah! Kan kita mulainya besok!
Gimana sih kamu!”
“Tapi, aku izin ke bunda dulu ya!
Ntar bunda ngamuk-ngamuk lagi tau aku pulang telat!”
“Sip deh! Ntar sebelum kita pergi
habisin malam kita keliling Jjakarta, aku bakal anterin kamu ke rumah dulu buat
minta izin. Kalo’ perlu sekalian aku yang minta izin!”
“Ya, deh. Tapi, handycame-nya jadi aku pinjem ya! Aku pengin kasih kejutan sama
kakak lewat benda ini!”
“Apaan?” Alaska terlihat bingung.
Lagi-lagi cewek ini membuatnya penasaran setengah mati. Selalu gitu. Namun
sayang, pertanyaannya hanya ditanggapi Diska dengan tersenyum. “Ih, ditanyain
malah senyum-senyum gitu,”
“Hihihi, biarin!”
“Eh, Gis, kenapa sih kamu panggil
aku ‘kakak’, kita kan pacaran. Bukannya kakak adik,” kata Alaska sambil
menggenggam tangan pacarnya.
Diska
terlihat berpikir. Awalnya dia memang tidak berniat memanggil Alaska dengan
sebutan “kakak”, tapi itu permintaan Gista. Katanya walaupun Alaska adalah
pacarnya, tapi dia harus tetap ingat bahwa Alaska lebih tua dan perbedaan itu
harus dihormati. Lagipula dari dulu Gista selalu ingin memiliki seorang kakak,
mengingat di antara si kembar Gista-lah yang paling tua.
Diska
menghela nafas panjang. “Um, soalnya umur kakak jauh lebih di atas dibanding
aku. Aku ngerasa lebih sopan aja panggil kak Alaska dengan sebutan ‘kakak’,”
jawabnya kaku.
“Jadi maksud kamu aku tua gitu?”
“Eits! Bukan aku loh yang ngomong!”
“Dasar kamu ini! Ya udah deh
terserah kamu mau panggil apa aja. Kalo’ kamu ngerasa aku sebagai kakak kamu
juga gak apa-apa, lagian seru juga punya adik manis dan lucu kayak kamu!”
“Ya dong! Semua orang juga pasti bangga
punya adik imut-imut kayak aku gini!” Gista membanggakan dirinya.
“Ih, mulai deh sifat pedenya!”
Alaska mengernyitkan keningnya dengan gigi menyeringai karena merasa aneh
melihat tingkah pede yang berlebihan dari pacarnya.
“Hahahahaha... pede itu penting loh
akang! Eh, ayo, jadi gak kita pergi? Udah hampir jam delapan nih,”
“Kemana?”
“Yah... tadi katanya mau habisin
malam ini keliling Jakarta. Gimana sih!” jawab Diska kesal.
Alaska
menepuk keningnya, “Aduh! Aku lupa!”
“Tuh kan, faktor usia memang berpengaruh,
ya!” kata Diska cepat dan berjalan ke arah pintu.
“Maksud kamu?” Alaska ikut bangkit
dari duduknya dan langsung mencegat Diska di ambang pintu. Diska berbalik lalu
menunjuk kepala Alaska dengan telunjuknya, “PIKUN!!!”
“GISTA!!! Kamu ini...” kata Alaska
sambil memencet hidung Diska yang memerah dan langsung membuat gadis itu
meringis. Huft! Sakit! Alaska ini main asal aja kalo’ cubit orang, gak tau apa
cubitannya sakit banget! Um, tapi romantis juga, hihi! Mirip kayak di film-film
Korea.
Diska
jadi melayang setelah Alaska memencet hidungnya. Rasa sakitnya tiba-tiba sirna.
Tapi, ada satu perasaan sakit yang masih melekat, saat Alaska memanggilnya
dengan sebutan “Gista” tadi. Itu membuat hati Diska miris. Kenapa sih bukan dia
pacar Alaska yang sebenarnya?
Ternyata
lagu Dewa 19 yang bilang “cinta itu tumbuh karena terbiasa” itu benar banget.
Terbukti dari Diska yang kini merasa sulit untuk melepas Alaska yang notabene
adalah pacar saudaranya sendiri. Dia merasa mulai ada rasa sayang itu. Tapi
saat menyadari perasaan itu mulai tumbuh, Diska berusaha mengusirnya jauh-jauh.
Dia tidak mau suatu saat akan semakin sakit jika dia terus menyimpan perasaan
itu. Karena Diska sadar, Alaska bukan miliknya. Dia di sini hanya menjadi peran
pengganti untuk Gista. Dia bukan Gista. Dia bukan pacar Alaska. Dan Alaska
tidak akan pernah menjadi miliknya.
✜✜✜
Akhirnya
seminggu terlewati tanpa kehadiran sosok Gista yang menemani hari-hari Alaska.
Rasa rindunya sudah membuncah sejak berhari-hari lalu, lebih tepatnya sejak
hari pertama. Lebih-lebih lagi, sejak awal mereka pacaran, Gista selalu
melarangnya untuk bertemu atau mencarinya di sekolah, apalagi mencari Gista
hingga ke kelasnya langsung, Gista benar-benar langsung bakal minta putus sama
cowok itu. Yah, larangan-larangan itu dibanding dengan rasa sayang Alaska
memang tak seberapa. Gak lebih dari secuil. Jadi, demi rasa sayangnya dan
membahagiakan sang kekasih, Alaska iya-iyain aja.
Malam
ini adalah malam Minggu, dan besok pagi kekasihnya itu akan berulang tahun, itu
berarti dia akan bertemu lagi besok dengan Gista.
“Wuuhhuu!!!” Alaska bersorak
kegirangan.
Sudah
lama dia merindukan hari Minggu itu. Hari Minggu yang akan didapatnya setelah
mampu melewati satu minggu tanpa Gista. Satu minggu yang buruk banget. Alaska
malah merasa, satu minggu tanpa Gista itu bagaikan satu tahun di neraka. Panas.
Dan besok pagi dia akan merasakan kesejukan surga sebagai gantinya.
Alaska
menatap sebuah bingkisan yang telah dibungkusnya rapi dengan kertas kado
berwarna merah muda –warna kesukaan Gista. Bingkisan itu berisi sepasang boneka
barbie yang dibelinya saat
mengunjungi sebuah Mall di kawasan Kelapa Gading beberapa hari lalu.
Dulu
Gista memang pernah bercerita pada Alaska bahwa dia sangat-sangat suka boneka barbie. Bahkan Gista memiliki sebuah
lemari di kamarnya yang penuh dengan boneka barbie.
Pandangan
Alaska beralih ke meja belajarnya, yang di atasnya terdapat sebuah kotak kecil
berisi sepasang cincin kayu yang sudah dipesannya jauh-jauh hari. Pada kedua
cincin itu, terdapat sebuah ukiran namanya dan Gista –atau lebih tepatnya
bentuknya seperti ini “Alaska ♥ Gista”. Lucu ya!
Rencananya Alaska akan memberikan kedua kado ini besok pagi saat dia bertemu
dengan Gista –sebagai hadiah ulang tahunnya.
Alaska meraih kotak kecil
itu, lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang dengan tangan masih menggenggam
kotak kecil itu. Alaska memejamkan matanya, lalu membukanya perlahan sembari
menatap sepasang cincin berwarna coklat kehitam-hitaman itu.
“Aku harap, cinta kita gak pernah lapuk, tapi bisa diukir
dengan indah seperti cincin kayu ini,” gumamnya kemudian, lalu memejamkan
matanya dan terlelap sambil mendekap kotak kecil itu.
✜✜✜
Alaska berdiri tepat di halaman sebuah rumah bercat hijau yang
dikelilingi pohon palem di halamannya. Tenggorokannya terasa tercekat, karena
tiba-tiba saja dia menyadari sesuatu bahwa ada yang aneh dengan rumah di
hadapannya ini. Tentu saja, setahu Alaska, penghuni rumah ini sedang berulang
tahun, tapi mengapa terlihat sepi sekali? Mengapa tidak ada tanda-tanda pesta di
sini? Apakah Gista memang tidak merayakan ulang tahunnya dan hanya mengundang
Alaska sebagai tamunya? Benarkah itu?
Alaska melangkahkan kakinya menapaki teras yang dihiasi keramik putih
itu. Tok... tok.. tok... suara pintu diketuk Alaska. “Permisi...” serunya
pelan. Di tangannya tertenteng sebuah bingkisan plastik berwarna merah muda
yang berisi hadiah untuk sang empunya rumah.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara orang berlari dengan
tergesa-gesa dari dalam rumah, lalu pintu pun terbuka. “Eh, den Alaska. Tumben
datang ke sini. Mau cari non Diska, den?” tanya seorang wanita tua ramah.
“Diska? Saya gak cari
Diska, bik. Saya cari Gista,” bantah Alaska.
“Non Gista? Loh, non
Gista kan lagi di Rumah Sakit toh, den.”
“Apa? Rumah Sakit?
Gista sakit apaan, bik?” Alaska terbelalak mendengar jawaban pembantu keluarga
Basuki itu.
“Kurang tahu, den.
Emangnya non Diska gak pernah cerita, ya? Sudah lima hari ini non Gista dirawat
di sana,” terang pembantu yang bernama Bi Inah itu.
Diska? Siapa sih tuh Diska? Kok bibik ini sering banget sebut namanya?
Emangnya gue kenal apa?
“Duh, Gista dirawat
di Rumah Sakit apa, bik?”
“Lah, saya gak tau
tuh den. Saya gak pernah diajak ke sana,”
Alaska garuk-garuk kepala. Bener-bener deh nih bibik, semuanya gak
tau! Terus apa yang dia tau?! “Yah, si bibik, masa gak tau sih! Aduh, terus
gimana dong? Gista kenapa sih? Kok gak pernah kabarin gue kalo’ dia sakit?”
tanya Alaska cemas. Mukanya merah padam. Sepertinya dia memang lagi khawatir
banget. “Ya udah deh, bik. Ntar saya telepon Gista aja langsung!” kata Alaska
akhirnya, lalu membalikkan badannya hendak pergi dari rumah itu. Namun
tiba-tiba, Bi Inah menarik bahunya.
“Den Alaska tunggu
dulu... Ada titipan dari non Diska,” cegat Bi Inah dan langsung berlari ke
dalam rumah dan kembali dengan membawa sebuah handycame milik Alaska dan sebuah amplop cokelat.
“Ini, non Diska pesen ini ke bibik, katanya suruh kasih den Alaska kalo’
misalnya dateng,” kata Bi Inah sambil menyerahkan benda-benda itu.
“Diska itu siapa,
bik?” Alaska mengerutkan keningnya.
“Pacarnya den Alaska
toh, siapa lagi.”
“Loh, pacar saya itu
kan Gista bik?”
“Non Gista itu mah
kembarannya non Diska. Setahu bibik, selama ini aden ke mana-mana perginya
bareng non Diska. Jadi bibik kira pacarnya aden non Diska,” jawab Bi Inah
polos.
Alaska semakin bingung. Alisnya kini bertaut. “Kembar? Gista kembar?”
“Aden gak tau kalo’
pacarnya aden kembar?” Alaska hanya geleng-geleng.
“Aduh, saya bingung
deh bik! Tadi bibik bilang pacar saya itu Diska, tapi jelas-jelas saya itu
pacaran sama Gista. Terus bibik bilang mereka kembar, bingung saya bik!!!”
“Ya, saya juga den!”
Bi Inah ikut-ikutan bingung.
“Ya udah deh, saya
pulang aja. Tapi, semua barang-barang ini beneran dari Diska? Bukan Gista?”
Alaska menunjuk benda-benda yang ada di dalam genggamannya.
“Iya, atuh. Masa
bibik gak tau yang mana non Diska dan Gista sih!” Bi Inah mulai kesal.
Tanpa pamit, Alaska berbalik lalu masuk ke dalam sedan hitamnya dan
melaju menuju rumahnya.
✜✜✜
Alaska menelungkupkan kedua tangannya dan membenamkan wajahnya di
dalam. Dia masih bingung dengan perkataan Bi Inah tadi. Sudah berkali-kali dia
berusaha memikirkan kata-kata itu, tapi dia belum juga mendapatkan jawabannya.
Bahkan Alaska dibuat semakin bingung dengan sikap Gista yang tidak mau mengangkat
teleponnya. Alaska tau, Gista memang sedang sakit, tapi apa Gista setega itu
membiarkannya terduduk dalam kebingungan seperti ini?
Alaska menatap dua buah benda yang ada di atas meja belajarnya. Sebuah
handycame yang dulu dipinjam Gista
dan sebuah amplop berwarna coklat. Dia masih juga diliputi perasaan bingung.
Menagapa handycame ini malah dia
dapatkan dari Diska yang diakui Bi Inah sebagai saudara kembar Gista? Bukankah
yang dulu meminjam benda itu adalah Gista? Lalu mengapa Bi Inah mengatakan Diska
adalah pacar Alaska? Bukan Gista?
Alaska memutuskan untuk menonton video yang sudah dijanjikan Gista
seminggu yang lalu di dalam handycame itu.
Walaupun, isi amplop itu lebih membuatnya penasaran, tapi dia bertekad untuk
memecahkan kebingungannya ini mulai dari video itu dulu.
Alaska mendapatkan sebuah keanehan dalam video itu. Bukan kegiatan
Gista selama seminggu yang ada di sana, tetapi video seorang gadis yang sedang
tertidur lemah di atas ranjang merah mudanya. Gadis itu sesekali terbatuk lalu
tersenyum manis ke arah kamera dengan wajah pucat pasi. Alaska mengerjapkan
matanya. Dia yakin betul, gadis yang ada dalam video itu adalah... Gista.
“Diska, ngapain sih loe rekam gue?” tanya Gista pada gadis yang
dipanggilnya Diska itu.
“Hahaha... gue mau kasih kejutan ke pangeran loe.” Jawab sebuah
suara yang tak nampak wajahnya.
Gista hanya tekekeh lalu terbatuk lagi. “Ada-ada aja loe!”
“Alaska pasti bingung liat video ini, atau kalo’ dia liat loe sakit,
malah mewek lagi... hahaha...” terdengar tawa nyaring dari seorang gadis
yang bertugas untuk merekam.
Alaska terperanjat mendengar namanya disebut-sebut. Siapa gadis yang
berbicara tadi? Apa itu yang bernama... Diska?
“Kak Alaska ke mana? Kok gak pernah main ke sini lagi?”
“Gue larang dia untuk ketemu selama seminggu ini.” Alaska
mengernyitkan dahinya. Siapa itu yang berbicara? Apa benar-benar Diska? Mengapa
malah dia yang tahu kenapa gue gak pernah ke rumahnya selama seminggu ini?
Sedangkan Gista bingung gitu? Apa selama ini gue emang pacaran sama... Diska?
Lalu tiba-tiba Gista terbatuk lagi, dan kali ini makin keras. Bahkan
dia terlihat memuntahkan darah.
“Gis! Gis!” seru sebuah suara.
Lalu video itu mulai oleng tak terkendali. Gambarnya menjadi kabur dan
gerakannya sangat cepat. Alaska yang menontonnya dibuat pusing. Lalu video itu
berhenti dan gambarnya mulai normal lagi, tapi kini pengambilan gambarnya
dilakukan pada posisi sebelah kiri. Terlihat seorang gadis yang mengenakan tanktop hijau tua dan celana pendek
berwarna hitam sedang terduduk di atas ranjang membelakangi kamera. Suaranya
terdengar ricuh, berteriak-teriak memanggil nama “bunda”.
Lalu sedetik kemudian seorang wanita berpakaian cukup rapi dengan setelan baju kantor
berwarna merah marun datang tergesa-gesa dan langsung berlari memeluk Gista
–yang Alaska sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada gadis itu. Tubuhnya
tertutupi oleh tubuh gadis yang membelakangi kamera tadi, yang diyakini Alaska
sebagai Diska.
Wanita yang dipanggil “bunda” itu terlihat sedang berusaha menelepon
seseorang, lalu setelah itu dia menangis sambil memanggil-manggil nama Gista.
Diska yang tadinya membelakangi kamera kini berpindah posisi dan duduk
di sebuah bangku di depan ranjang Gista sambil menangis. Alaska dapat dengan
jelas melihat wajah gadis itu, ya... wajah Diska. Dia... dia memang benar-benar
mirip dengan Gista. Sangat mirip. Dan kini, Alaska juga dapat melihat keadaan
Gista yang tidak berkutik sedikitpun. Gista terlihat sedang tertidur sangat
lelap. Bahkan saat bundanya berteriak-teriak histeris memanggil namanya Gista
tidak kunjung bangun. Dan itu menguatkan dugaan Alaska bahwa Gista tidak
tertidur, tetapi pingsan. Atau mungkin bukan pingsan... tapi... Ah! Alaska
berusaha melenyapkan pikiran konyolnya dan kembali berkonsentrasi pada video
yang ditontonnya. Alaska terlalu takut untuk menduga yang tidak-tidak. Dia
bahkan lebih takut lagi jika dugaannya itu ternyata benar adanya.
Tiba-tiba, dua orang pria berpakaian putih-putih datang dan membopong
Gista keluar dari ruangan itu. Alaska tidak tahu ke mana. Karena
setelah Diska dan bundanya ikut menyusul dua orang pria itu, video itu pun
berhenti.
Alaska menelan ludahnya yang terasa pahit. Bagaimana mungkin dia bisa
melihat dua makhluk kembar yang benar-benar mirip dan tidak tahu yang manakah
pacarnya selama ini. Dia merasa pernah bertemu dan berbicara dengan Diska dalam
video itu, namun kedekatannya dengan Gista juga tidak bisa dipungkiri.
“Arrrgghhh!!!” erangnya tertahan.
Alaska kemudian menutup handycame
itu dan tatapannya beralih pada sebuah amplop cokelat
yang cukup besar di hadapannya. Dengan ragu Alaska mengambil amplop itu dan
perlahan membukanya. Krrrsskk... krrsskk... suara amplop terbuka dengan pelan.
Huh! Alaska berharap, amplop ini tidak akan menambah kebingungannya, namun
menjawab kebingungannya –bukan seperti video tadi yang malah membuatnya semakin
bingung.
Dua lembar kertas putih terselip di sana beserta sebuah foto dua orang
gadis kembar dengan baju dan segala pernak-pernik yang sama, hanya ada satu
perbedaannya yang terletak di kalung yang mereka kenakan. Yang satu mengenakan
kalung berliontinkan huruf “G”, dan yang satu memiliki liontin huruf “D”.
Alaska dapat dengan mudah mengenali yang mana Gista dan Diska dari kalung yang
mereka pakai. Ternyata mereka tidak ada bedanya, sangat mirip. Hanya saja di
sudut bibir Gista terdapat sebuah tahi lalat kecil, yang jika tidak
diperhatikan dengan seksama tidak akan terlihat, dan mata Diska lebih bulat
ternyata.
Alaska kembali tertuju pada surat yang kini ada
di tangannya. Dia membuka lembaran pertama dari surat itu...
Tiga hari sebelum loe terima surat ini...
Alaska...
Maaf, bukannya gue maruk, bukannya gue iri sama
Gista, dan bukannya gue pengin ngerebut loe dari dia...
Itu semua permintaan Gista...
Dia yang minta supaya gue gantiin dia sebagai
pacar loe...
Mungkin loe gak akan ngerti kalo gak dijelasin
dari awal...
Tapi intinya, Gista sayang banget sama loe...
Dia gak pernah pengin buat loe kecewa, sampai dia
rela ngorbanin kebahagiaannya bersama loe cuman untuk liat loe seneng...
Dia rela gue gantiin dia saat loe nembak dia
dulu...
Loe pasti gak tau, hari itu yang loe tembak bukan
Gista, tapi gue... Diska.
Diska yang bodoh yang enteng banget buat nerima
segala yang diminta sodara kembarnya.
Dan loe tahu, sejak saat itu Gista jadi sakit-sakitan...
Dia jadi sulit untuk bangun, yang dia kerjain
cuman bolak-balik rumah sakit...
Bahkan Gista terpaksa harus ngulang sekolahnya
lagi karena penyakitnya itu...
Gue kasihan sama dia... jadi terpaksa gue yang
harus gantiin dia sebagai pacar loe...
Maafin gue Ka, maafin Gista juga...
Ini bukan salah dia, tapi salah gue yang begok
sampe segininya...
Please, gak usah loe musuhin Gista, dia terlalu
baik buat loe benci...
Dia juga sih
bodoh banget, ngapain coba rela
liat gue pacaran sama loe?
Tapi ya itulah Gista, hatinya mulia banget, sampe
dia gak pernah rela liat loe kecewa dan sakit hati...
Mungkin saat loe baca surat ini, gue udah tiduran
di kamar mayat rumah sakit, hahaha... ngaco, ya, gue! Dan Gista udah bisa senyum kayak dulu lagi...
Gue sengaja buat surat yang gue tulis setelah
Gista dibawa ke rumah sakit ini supaya loe paham akan kondisinya Gista dan bisa nerima dia
apa adanya...
Gue cuman mau kasih tau loe, plisss... kunjungi
Gista, dia butuh loe... plisss Ka... dia butuh loe banget... setiap malem gue
selalu denger dia manggil-manggil nama loe... dia sayang banget sama loe...
Kayaknya Bunda bakal bawa Gista ke RSUD di daerah
sekitar rumah gue deh, soalnya kondisi Gista udah parah banget, loe tadi liat
kan... dia sampe muntah darah.
Kalo’ loe mau tahu penyakitnya apa, loe bisa
tanya langsung ke Gista, gue gak tega nulis itu di sini...
Semoga loe bisa ngerti Ka...
Satu lagi, plisss... jaga Gista buat gue,
Loe pernah bilang kan kalo’ Gista itu nyawa loe,
sama halnya dengan loe, Gista juga nyawa gue Ka... dia satu-satunya orang yang
paling berharga di dunia ini buat gue... Kita udah hidup sama-sama sejak dalam
rahim...
Ka... janji ya sama gue, jaga Gista seperti loe
jaga nyawa loe sendiri...
Diska
Alaska menatap kertas putih yang ada di genggamannya lekat-lekat.
Gista... Diska... jadi, selama ini gue udah dibohongin? Batinnya berteriak
nyaring. Tega loe Gis, tega... tapi gue harus bilang apa, semua ini loe lakuin
juga demi gue. Demi rasa sayang loe ke gue. Tapi, tapi kenapa harus dengan cara
ini? Kenapa loe gak kabarin aja gue waktu itu kalo’ loe gak bisa dateng? Kenapa
loe harus rela ngorbanin perasaan loe sendiri? Dan gue? Gue berhak marah sama
loe Gis! Berhak! Dan gue berhak untuk benci sama loe... tapi, tapi sama kayak
loe, gue juga sayang sama loe, dan terlalu sulit untuk gue benci sama loe...
Gista... Gista... Alaska berteriak-teriak dalam batinnya. Terlalu kaku mulutnya
untuk terbuka dan mengucapkan kata-kata yang tertanam di dalam hatinya.
Lagi-lagi Alaska menatap kertas itu. Diska, nama itu terbayang di
pikirannya. Terima kasih, batinnya lagi. Setelah puas menatap benda putih di
genggamannya, Alaska langsung menghambur keluar dari kamarnya dan melajukan
mesin mobilnya ke sebuah rumah sakit yang dimaksudkan dalam surat yang baru saja dibacanya.
Alaska menghentikkan mobilnya di area parkir rumah sakit
dan segera berlari ke dalam mencari sosok cewek yang sangat dirindukannya
seminggu ini. Alaska bertanya pada beberapa resepsionis di sana, dan setelah
berhasil mengetahui letak kamar Gista, dia kembali berlari dengan cepat ke
sebuah ruang VIP khusus penyakit bedah. Alaska berhenti di sebuah kamar yang di
dalamnya sedang terbaring lemah seorang cewek yang di tangan kirinya masih
tergantung infus. Tok, tok, tok... Alaska mengetuk pintu kamar rawat itu dengan
sangat pelan.
“Sebentar...” jawab
sebuah suara dari dalam. Setelah menunggu beberapa detik di depan pintu,
akhirnya seorang suster yang baru saja memeriksa si pasien membukakan pintu
untuknya. “Mau mengunjungi mbak Gista?” tanya suster itu ramah.
“Iya, Gista-nya
gimana sus?”
“Oh, keadaan mbak Gista
sudah agak baikan. Tapi tadi batinnya sedikit terguncang setelah membaca sebuah
surat, dan saya tidak tahu itu apa. Mas ingin melihatnya? Silahkan... mbak
Gistanya baru saja saya bantu untuk duduk di dekat jendela,” kata sang suster,
lalu setelah itu dia berlalu meninggalkan Alaska yang mematung di depan pintu.
Perlahan cowok itu berjalan masuk ke dalam kamar bercat putih yang
hanya dihuni oleh seorang cewek yang kini sedang memunggunginya.
“Gis...” bisiknya
sambil memegang bahu Gista, namun cewek itu hanya diam. “Gista? Ini kamu kan?”
tanya Alaska, dan kini nada suaranya terdengar sedikit nyaring. Cewek itu
menoleh dan kini menatap Alaska dengan mata sembabnya. Di tangannya tergenggam sebuah
kertas berwarna putih yang terlihat basah.
“Gista?” panggil
Alaska lagi. “Kamu kenapa?” Gista tak kunjung menjawab. Dia mengalihkan
pandangannya ke luar jendela di hadapannya, namun sedetik kemudian tiba-tiba
saja dia terisak. “Gista? Kamu kenapa?” Alaska semakin cemas. Segera
direngkuhnya cewek itu dalam dekapannya dan berusaha menenangkan Gista sambil
membelai rambutnya lembut.
“Gista? Cerita
dong... kamu kenapa? Gimana keadaan kamu? Hah?”
“Kaaa... Kak
Alaska...” panggil Gista dalam isaknya.
“Iya, kamu kenapa?”
“Diska... Diska...
Diska jangan pergi... Diska...” Gista meraung-raung tak keruan.
“Diska? Diska kenapa,
Gis? Hah?” Alaska langsung melepas pelukannya saat mendengar Gista
menyebut-nyebut nama Diska. Ditatapnya Gista lekat-lekat dan berusaha mencari
jawaban dari sorot mata cewek di hadapannya itu.
Gista semakin
terisak. Kini dia sudah tidak bisa lagi mengendalikan nafasnya yang dari detik
ke detik semakin sesak, hingga selang beberapa detik kemudian Gista ambruk
dalam dekapan Alaska.
✜✜✜
“Aku udah baca
semuanya,” kata Alaska sambil menatap Gista yang kini terbaring di hadapannya.
Beberapa menit yang lalu Gista tersadar dari pingsannya dan kini pelupuk
matanya sudah tergenangi air mata.
“Maafin Diska ya,
Kak.”
“Maaf untuk apa?”
“Maafin dia karena
udah gantiin aku jadi pacarnya Kakak. Tapi, tapi itu bukan salahnya Diska kok,
kak. Itu salah aku... aku yang minta dia waktu itu buat gantiin aku...”
“Udah, gak usah
dibahas lagi. Itu semua udah lewat, yang penting kan sekarang kalian udah jujur
sama aku... aku gak akan tega nyimpen dendam sama orang yang udah berkorban
buat orang yang aku sayang... aku bakal benci banget sama diri aku sendiri
kalau aku sampe gak maafin Diska... dia udah berkorban banyak buat kamu, sampe
dia rela sumbangin jantung itu, kamu gak usah merasa bersalah gitu, Gis,” jelas
cowok itu panjang lebar.
“Aku kangen sama
Diska, Kak... aku kangen sama dia. Aku belum sempat ucapin terima kasihku sama
dia, aku pengin ketemu Diska, Kak...” Gista kembali tertanam dalam
kesedihannya.
“Iya... aku juga sama
Gis, tapi mau gimana lagi, Diska udah gak ada. Dia udah tenang di alam sana...”
kata Alaska sambil membelai rambut cewek itu. Sesekali dia mengusap air mata
Gista yang sejak dia siuman tadi tidak berhenti menangis.
“Diska, kenapa loe
pergi secepat itu? Kenapa loe baik banget sama gue? Kenapa loe gak biarin gue
mati duluan aja?”
“Gista! Kamu gak usah
ngomong gitu! Diska bakal sedih di sana
kalau liat kamu nangis-nangisan terus kayak gitu.”
“Tapi Kak, aku...
aku... Diska, aku pengin ketemu Diska,” Gista meronta-ronta seperti anak kecil.
Alaska langsung membenamkan cewek itu dalam dekapannya hingga Gista benar-benar
melupakan kesedihannya.
“Kamu gak boleh
sedih-sedih terus kayak gitu, itu bakal bikin hati kamu tambah sakit. Lebih
baik kamu berdoa dan sampein rasa terima kasih kamu lewat doa... dan jangan
lupa, kamu harus patuhi amanat Diska di dalam surat itu untuk jaga jantung yang
dia tanam dalam tubuh kamu. Kamu harus jaga itu seperti kamu jaga Diska dan
nyawa kamu sendiri, karena yang ada di dalam tubuh kamu sekarang adalah nyawa
Diska, kamu inget?”
“Aku tahu. Kak, besok ajak aku ke makam Diska, ya? Aku pengin berterima kasih
langsung ke dia,”
“Pasti! Aku juga
pengin ucapin terima kasih yang sebesar-besarnya buat dia, karena kalau gak ada
dia, aku gak akan pernah ngerasain untuk memiliki kamu seutuhnya. Kamu yang
tabah, ya! Aku selalu ada di sini buat kamu!” kata Alaska setelah melepaskan
pelukannya.
“Kak?”
“Hmm?”
“Jangan pergi, ya...
aku gak punya siapa-siapa lagi selain Kakak dan Bunda sekarang ini, setengah
dari nyawa aku udah dibawa pergi sama Diska ke surga, dan yang setengahnya lagi
aku udah kasih ke Kakak dan Bunda... jadi, tetap di samping aku, ya, agar aku
bisa tetap hidup,”
“Idih... kamu sok
dramatis banget, haha... iya! Aku selalu di sini, lagian nyawa aku seutuhnya
ada di kamu, mana mungkin aku bakalan pergi tanpa nyawa aku,” Gista tersenyum
lega mendengar kata-kata Alaska tadi. Kini beban atas kepergian Diska terasa
sedikit pudar berkat hadirnya sosok cowok seperti Alaska yang membangkitkan
senyumnya, walaupun tak seutuhnya.
Alaska bangkit dari
duduknya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Gista. “Kamu tunggu di sini, ya! Aku
mau nyari setengah dari nyawa kamu dulu buat gantiin aku jagain kamu. Soalnya
aku harus pulang, ya!”
“Tapi ntar malem
balik lagi, kan?” Gista terlihat sedikit kecewa.
“Pastinya... aku bisa
mati kalau kelamaan gak di deket nyawa aku. Tunggu, ya! Aku cari Bunda dulu...”
pamit Alaska setelah mencium kening pujaan hatinya. “Yang baik ya di sini...
inget, gak boleh nangis lagi, ntar orang-orang yang nyimpen nyawa kamu ikutan
sedih,”
“Ya, janji kok! Kakak
hati-hati, ya!” ucap Gista sambil memamerkan senyumannya yang terlihat sedikit
agak muram.
“Iya barbie-ku...”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar