Sabtu, 17 November 2012

Bintang Di Ujung Senja (With Dilla Elysmasia)



Saat itu hujan turun dengan deras. Aku yang baru pulang sekolah dengan tergesa-gesa berlari menuju rumah, menyusuri jalan setapak di pinggir hutan yang rimbun. Tak kupedulikan lagi orang-orang yang berlalu lalang melewatiku. Aku hanya ingin segera tiba di rumah tanpa tersentuh air hujan. Entah karena saking terburu-burunya, aku tak sengaja menabrakmu, “Jeongsohamnida!” ucapku setengah melirik ke arahmu.
Gwaenchanayo,” jawabmu 

tanpa menoleh. Aku tertahan sejenak oleh tatapan kosong matamu pada kerikil-kerikil putih yang kau injak. Ingin kusingkap payung yang menutupi wajahmu  itu dan menatap mata indah itu lebih lama. Tapi kuurungkan niatku karena aku harus segera pulang. Aku pun kembali berlari menuju sebuah pedesaan kecil di pinggir rel kereta api yang kini kutempati.
                Yah, hari itu adalah perkenalan awal kita. Hari dimana aku pertama kali bertemu denganmu karena ketidak sengajaan, dan ketidak sengajaan itu membuatku tak henti-hentinya memikirkanmu. Betapa bodohnya aku waktu itu tidak menanyakan namamu.
                Hari demi hari pun berlalu, dan aku semakin gila dibuat olehmu. Aku tidak bisa melupakanmu sejak kejadian hari itu. Aku selalu berharap pada Tuhan agar aku bisa bertemu lagi denganmu. Dan sepertinya, Tuhan mendengar harapanku. Kita bertemu lagi, di tempat yang sama pada senja hari, saat matahari akan bersiap kembali ke peradabannya. Dengan ragu-ragu, kucoba untuk menyapamu yang saat itu sedang berdiri menatap langit.
“Bukankah kau yang waktu itu?” tanyaku pelan sambil berdiri di sampingmu. Tapi kau hanya diam dan menatapku dengan pandangan sayu. Sedetik kemudian kau pergi meninggalkanku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sekilas aku dapat melihat sebutir air mata kesedihan  mengalir di pipimu. Ingin aku mencegah kepergianmu dan menanyakan apa yang terjadi, tapi sepertinya kau sedang tidak ingin diganggu. Aku pun mengikuti langkahmu untuk kembali ke peradabanku yang semula.
                Setelah hari itu, aku tak pernah bertemu denganmu lagi. Rasa rindu yang menyakitkan kembali merajai hatiku. Apa ini yang disebut cinta? Mengapa begitu perih dan menyesakkan dada? Tuhan, dapatkah aku bertemu dengannya lagi? Walau hanya sekejap, tak apa. Aku hanya ingin menatap mata malaikat itu lagi dan mengetahui namanya. Aku ingin mendengar suara lembutnya sekali lagi. Izinkan aku bertemu, Tuhan! Aku merindukannya! Sungguh!

***

                Aku kembali ke tempat itu. Mencoba menemukan pancaran sinarmu yang beberapa hari ini redup tak terlihat. Namun sayang, tak ada satupun sinarmu yang kudapati. Dengan gontai, aku berjalan pulang. Saat itu senja telah datang. Aku sempatkan diri untuk beristirahat sebentar di bawah sebuah pohon di pinggir jalan sembari memandangi semburat jingga di ujung senja. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Aku tersentak saat kudapati dirimu sudah berdiri di hadapanku sambil tersenyum. Apakah ini sebuah keajaiban? Aku bertemu denganmu? Lagi?
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
“A... a... aku sedang memandangi langit,” jawabku agak terbata.
“Bolehkah aku duduk?”
Geurae,
Mianhae,” katamu tiba-tiba.
“Untuk?”
“Mengacuhkanmu saat itu,”
“Tidak apa-apa, aku dapat mengerti,”
“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
“Tentu. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Sebenarnya, apa tujuan kita hidup?”
“Ummm... aku tidak tahu pasti. Akan tetapi, tujuan hidupku saat ini adalah membuat orang-orang di sekelilingku bahagia,”
Ajinjja?”
“Ya. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
Anniyo. Oh ya, aku suka pemandangan disini. Langitnya sangat indah, apalagi saat senja hari,” jawabmu seakan mengalihkan pembicaraan.
“Aku juga. Tempat ini sangat nyaman dan damai,”

                Kita terdiam untuk beberapa saat. Hening dan sunyi. Tak ada lagi yang membuka mulut setelah kata-kataku yang terakhir. Hingga tiba-tiba kau menarikku ke dalam dekapanmu.
“Di sini sangat dingin,” ucapmu kemudian.
Sungguh, aku sangat terkejut dengan perlakuanmu. Aku tidak bisa berkata apapun. Hanya diam. Jantungku berdetak tak karuan. Kau hanya tersenyum melihat ekspresi wajahku saat itu.
“Hahaha... suara jantungmu keras sekali!” katamu sambil terbahak.
“Aish! Apa yang kau lakukan? Aku... aku... ah! Sudahlah!” aku langsung melepas pelukanmu dan berlari sejauh yang aku bisa. Aku tidak sanggup menahan maluku di depanmu. Sungguh. Aku sangat malu. Apalagi setelah kau berkata seperti itu. Uh! Tapi aku juga merasa bahagia. Setidaknya, aku pernah berbicara denganmu dan merasakan hangat tubuhmu.

***
               
Hari berikutnya, saat aku sedang berjalan menuju rumah sepulangku dari pasar, aku melihatmu sedang berdiri memandangi langit dengan tatapan kosong. Kuhentikan langkahku dan menghampirimu.
“Apa kau sedang ada masalah? Mengapa wajahmu terlihat sendu?” kau hanya diam. Setelah itu, tatapan kosongmu tertuju padaku. Sedetik kemudian, air mata mengalir di pipimu. Sungguh. Aku tak tahan melihatmu menangis. Ingin kuusap air mata itu, tapi aku terlalu takut untuk melakukannya.
                Tiba-tiba kau menggenggam tanganku dan memelukku. Aku hanya bisa diam. Mungkin, dengan cara ini aku bisa sedikit mengobati kesedihanmu. Dalam pelukan itu, aku bisa merasakan hangat tubuhmu. Kehangatan yang rapuh dan lemah. Perlahan, pelukanmu mengendur dan akhirnya terlepas. Lalu tatapan kosong itu kembali tertuju pada langit di atas sana.
Gwaenchana?” tanyaku lagi.
Mian. Tidak seharusnya aku begini,” katamu tertunduk dan kemudian beranjak pergi. Entah mengapa, hatiku sangat enggan membiarkanmu berlalu begitu saja. Aku mencoba mengejarmu dan menahanmu.
“Ceritakanlah!” teriakku.
“Apa itu harus? Sudahlah! Tak usah mencampuri urusanku! Tidak penting untuk kau  ketahui!” katamu dan berlalu pergi.
                Aku ternganga. Tak percaya pada apa yang kudengar. Kau marah. Apa yang salah? Oh, Tuhan! Mengapa dia bersikap seperti itu? Apa kehadiranku benar-benar mengusik hidupnya?

***
               
Tiga minggu berlalu sejak kejadian itu, dan aku tak pernah bertemu denganmu lagi. Kau benar-benar menghilang bagai ditelan bumi. Aku hanya bisa menunggu dengan gelisah, berharap kau akan muncul dan menyapaku seperti biasanya. Tapi sepertinya harapanku hanya sebuah harapan kosong yang sia-sia.

***

                Sore itu, langit sangat gelap, pertanda hujan akan segera menampakkan kehadirannya. Aku berlari kecil menuju pemukimanku dan berharap hujan tak akan menyentuhku hingga aku tiba nanti. Tapi sepertinya, itu bukan hari keberuntunganku. Baru beberapa langkah aku berlari, hujan turun. Aku semakin mempercepat langkahku. Namun, tiba-tiba saja aku terpeleset dan jatuh. Sepertinya kakiku keseleo. Sakit sekali. Aku mencoba untuk bangkit dan kembali berjalan, tapi usahaku sia-sia. Aku tidak dapat berdiri dan menggerakkan kakiku. Itu terlalu menyakitkan. Hujan semakin deras dan kini telah membuat sekujur tubuhku basah kuyup. Aku menangis. Adakah yang bisa menolongku? Tuhan! Aku ingin pulang!
                Tiba-tiba seseorang datang dan memayungiku.
Gwaenchanayo?” tanyanya sambil berjongkok di hadapanku.
Aku tersentak saat menyadari orang itu adalah kau. Hening beberapa saat. Entah tanpa sebab, dengan refleks aku langsung memelukmu dan menangis di pelukanmu.
“Aku takut!” kataku di sela-sela tangis. Kau hanya terdiam  sambil memainkan jemarimu di rambutku yang basah.
“Sudahlah, tidak usah menangis seperti itu. Aku sekarang ada di sini,” katamu kemudian.
“Kemana saja kau selama ini?” tanyaku sambil tetap mendekapmu.
“Maafkan aku,”
“Apa kau tidak tahu? Aku sangat cemas melihat sikapmu waktu itu! Ditambah, sudah beberapa minggu ini kau tiba-tiba saja menghilang. Aku sangat khawatir,”
“Maaf, tidak seharusya aku berkata seperti itu,”
“Sudahlah! Tak usah membahasnya lagi,” kataku kemudian lalu melepaskan pelukanku.
“Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau duduk di tengah hujan seperti ini?”
“Aku terpeleset dan kakiku keseleo. Aku tidak bisa bangun, apalagi berjalan,” jawabku sambil tertunduk, malu menampakkan wajah cengengku.
“Ayo, naiklah!” katamu tiba-tiba sambil membalikkan badan.
Mwo?”
“Naiklah!”
“Kemana?” aku masih tidak mengerti.
                Namun, tiba-tiba kau langsung menarik tanganku dan menggendongku di punggungmu. “Aku akan mengantarmu pulang,” katamu kemudian.
“Tapi, tapi...” aku mencoba menahanmu, tapi kau tetap saja berjalan.
“Tidak usah banyak bicara, kakimu akan tambah sakit nanti. Tidurlah di bahuku, kau pasti sangat lelah,” aku tersenyum mendengar kata-katamu. Lalu kusandarkan kepalaku di bahumu dan tertidur. Hujan semakin deras, namun aku merasa tak terguyur air hujan sedikit pun. Perhatianmu seperti memayungiku hingga aku terlelap dalam mimpi yang indah.

***

                Saat itu, senja sudah datang. Kita bertemu seperti biasa di pinggir hutan yang menghadap langsung ke matahari terbenam.
“Bagaimana dengan kakimu? Apa sudah merasa lebih baik?” tanyamu sambil berjongkok di bawahku dan memeriksa keadaan kakiku.
“Tidak usah seperti itu, kakiku sudah sembuh,”
“Baguslah! Kajja!” katamu tiba-tiba dan langsung menarik  tanganku.
“Mau kemana kita?”
“Ke bawah sana!” tunjukmu pada sebuah ladang di bawah bukit sana. Aku hanya mengangguk dan mengikutimu berlari. Ketenangan langsung menyergap, merasuk  ke setiap sudut di persendianku. Sungguh hari yang indah, bisa bertemu denganmu lagi.
“Duduk di sini,” katamu, menyuruhku duduk di sebuah kayu besar yang berlumut. “Pemandangan di sini lebih indah. Lihat, mataharinya terlihat lebih jelas bukan?”
“Emm,” aku hanya mengangguk dan tersenyum.
                Tiba-tiba kau menarik kepalaku dan menyandarkannya di bahumu. Aku hanya diam, namun dalam hati aku berteriak kegirangan. Tuhan! Inikah kebahagiaan yang sesungguhnya?
“Aku masih tidak mengerti denganmu, sebenarnya apa masalahmu selama ini? Mengapa kau tidak pernah mau menceritakannya padaku?”
“Sebenarnya, aku tidak enak menceritakan masalahku ke orang lain. Lebih tepatnya aku terlalu takut,”
“Mengapa kau takut?”
“Aku juga tidak tahu. Sudahlah, lagipula kau tidak tahu apa yang kurasakan,”
“Memangnya apa yang kau rasakan?”
“Benar kau ingin mengetahuinya?” aku mengangguk. “Sebenarnya aku menyukai seorang gadis,” tiba-tiba aku terlonjak.
“Siapa?” tanyaku dengan tatapan tajam.
“Seseorang yang sangat manja. Tingkahnya sangat kekanak-kanakan. Tapi, tingkah lucunya itulah yang membuatku selalu tersenyum,”
Geurae?” kataku pasrah. Hatiku terasa benar-benar aneh saat itu. Entah mengapa, mungkin karena aku menyukaimu.
“Tentu saja,” jawabmu tersenyum. Kau terlihat begitu bahagia. Sepertinya, kau benar-benar menyukai gadis itu, yang aku sendiri pun tak tahu siapa dia.
“Lalu, siapa dia?”
“Dia adalah seorang gadis yang duduk di hadapanku saat ini, begitu bodoh dan penakut, hingga untuk membuka matanya pun dia tidak berani. Mungkin dia takut mendengarku menceritakan tentang gadis lain, hahahaha...”
“Emmm, gadis itu benar-benar sangat beruntung,” kataku tertunduk.
“Apa kau benar-benar tidak tahu siapa dia?”
“Mana mungkin aku tahu! Kau tidak memberitahukannya padaku!” jawabku lantang. Hatiku benar-benar teraduk-aduk saat itu. Aku bisa merasakan api berkobar merah di mukaku.
“Jadi, kau benar-benar tidak mengerti maksud perkataanku?” tanyamu terheran-heran. Aku hanya menggeleng.
“Ah! Babo! Kau ini benar-benar sangat bodoh!” katamu lagi dan pergi meninggalkanku.
Mwo?! Kau mengatakan aku bodoh! Apanya yang tidak aku mengerti?! Kau hanya mengatakan dia adalah seorang gadis yang duduk di hadapanku saat ini! Ya!” teriakku keras. Tapi, tunggu! Ada yang mengganjal dalam kata-kata itu, “Seorang gadis yang duduk di hadapanku, di hadapanku, berarti di hadapanmu! Dan yang duduk di hadapanmu, aku! AKU! Gadis itu, AKU!!!” aku baru menyadari arti dari ucapanmu. Jadi, gadis itu adalah aku. Kau menyukaiku.
                Aku benar-benar terlonjak. Segera aku berlari mengejarmu yang sudah hilang entah kemana. Tapi, kekuatan kakiku benar-benar ampuh, aku berhasil menemukanmu sedang terduduk merenung di bawah bukit. “Ya!” teriakku. Kau hanya terdiam dan menatapku tajam, lalu sedetik kemudian sebuah kata terlontar dari bibir tipismu, “Waeyo?”
“Kau, kau, menyukaiku?” tanyaku terbata. Takut jika perkiraanku salah. Namun, kau hanya diam dan dengan tiba-tiba menarik tanganku. “Duduklah!”
“Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Apa?”
“Apa kau menyukaiku?”
“Lalu?”
“Aku ingin mendengar jawabanmu!”
“Jika iya, apa itu salah?”
“Ah, ah, Anni! Anniyo! Bukan seperti itu! Aku, aku hanya–”
“Sudah! Tak usah berkata apapun lagi. Kau tidak perlu mengatakan apapun atas apa yang kau dengar dan apa yang kau tahu, itu tidak penting untukku! Aku hanya ingin kau tahu perasaanku. Bukankah selalu itu yang kau tanyakan?”
“Tapi, tapi mengapa? Kenapa aku tidak boleh mengatakan apapun? Lalu apa yang harus aku lakukan?”
“Kau hanya perlu menutup matamu,”
“Apa?”
“Tutup matamu,”
“Menutup mataku? Seperti–”  kata-kataku tiba-tiba terhenti saat sebuah benda tipis nan hangat mendarat di bibirku. Bibir lembab itu benar-benar membuat mulutku terkunci seketika. Suasana hening dan hangat menyelimuti kejadian yang tak pernah kuduga sebelumnya. Hanya detak jantungku yang terus berpacu seiring berjalannya waktu. Waktu terasa begitu lambat. Aku tak dapat menghitung berapa lama waktu yang kita habiskan dalam susana penuh romantis itu, hingga tiba-tiba kau melepaskan bibirmu.
Emosiku masih belum mampu terkontrol. Aku masih sangat terkejut atas apa yang kau lakukan. Adegan yang hanya bisa aku tonton di drama kesayanganku, ternyata sore ini aku merasakan kehangatannya, karenamu.
Saat aku sadar kehangatan itu telah menghilang, kuberanikan diri membuka mataku, dan kesadaranku benar-benar memuncak saat aku tahu kau telah pergi. Menghilang entah kemana, tanpa memberitahuku. Perasaan bahagiaku seketika itu lenyap, berubah menjadi deraian air mata yang tak merelakan kau meninggalkanku sendiri. Kemana dirimu? Mengapa tiba-tiba membiarkanku terkurung dalam kebingungan seperti ini?

***

                Minggu pertama tanpamu, hampa. Dilanjutkan minggu kedua, kehampaaku memuncak. Lalu berlanjut berminggu-minggu kemudian, kau tetap menghilang. Aku semakin sedih, bingung, dan gelisah. Hatiku selalu bertanya-tanya? Di mana kau?
                Akhirnya, dua bulan berlalu tanpa sosokmu. Kuyakin, kali ini kau benar-benar takkan kembali lagi. Tak biasanya kau menghilang hingga berbulan-bulan lamanya. Rinduku sudah tak terbendung. Namun, aku tak bisa memenuhi rinduku padamu. Sepertinya, kita takkan pernah bertemu lagi. Kucoba untuk melupakanmu, melupakan semua yang aku ketahui tentangmu. Melupakan segala kenangan indah kita di senja hari yang sendu. Melupakan sosok seorang lelaki yang belum kuketahui namanya. Kau memang bukan takdirku. Hingga namamu pun aku tak tahu. Oh!!! Aku merasa benar-benar sangat bodoh dan menyesal saat ini! Mengapa selama perjumpaan kita aku tak pernah bertanya hal sepenting itu!!! Uh!!! Sudahlah!!! Kita mungkin memang tak ditakdirkan bersama.

***

“Ji-Yeon~ah!!!” seru Eomma dari dalam dapur.
Waeyo, Eomma?” jawabku dengan malas dari dalam kamar. Aku masih asik membolak-balik majalah yang baru kubeli sepulang sekolah tadi.
“Bisakah kau mengangkat jemuran di luar itu? Sepertinya hujan akan segera turun. Eomma sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk Appa-mu,” seru Eomma sekali lagi.
“Baiklah,”
Aku pun berlari menuju halaman tempat jemuran terjejer rapi. Kuangkat satu persatu jemuran itu hingga tali jemuran yang menggantung di antara besi-besi itu kosong melompong tak berpenghuni. Rintik-rintik hujan mulai mengguyur. Aku pun berlari menyelamatkan diri dan jemuran yang kubawa dari serangan air hujan. Namun tiba-tiba langkahku terhenti saat mataku tertuju pada sebuah kotak kardus lapuk yang bersembunyi di antara pot-pot kecil di depan rumah.
“Kotak apa itu? Setahuku, aku tak pernah menyimpan kotak seperti itu disini? Dan sepertinya, kotak itu sudah lama bertengger di sana. Warna kardusnya saja sudah lapuk. Hum, mungkin hanya kotak biasa,” gumamku lalu kembali berlari dan meletakkan jemuran yang sudah kering itu di sofa ruang tamu.
“Hum, tapi aku masih penasaran dengan kotak itu. Apakah aku harus keluar dan mengambilnya?” tanyaku pada diri sendiri. Hatiku masih diliputi rasa penasaran tentang kotak yang kulihat tadi. “Sebaiknya aku memeriksanya,” kataku kemudian, lalu berlari keluar dan mengambil kotak kecil itu. Aku bawa kotak itu ke dalam kamar dan kubuka perlahan.
                Aku mendapati sepucuk surat terselip di sana, di bawah sebuah lukisan mirip diriku yang gambarnya sudah mulai pudar, terbingkai indah dari akar-akar pohon tanaman ilalang yang biasa tumbuh di hutan dekat rumah. Kuangkat perlahan lukisan beserta surat itu, lalu kutatap sejenak. “Aku?”
                Aku membuka lembaran putih di tangan kiriku. Sebuah goresan tinta hitam dari orang yang tak kuketahui terukir di sana, berbunyi :

Nodo,
Na cheorom ireohkhae apeunji...
Nodo,
Na cheorom nunumul naneunji...
Nodo,
Haru jong il ireohkhae...
Chuo gaesaneunji...
Kok na cheorom...

Untukmu di sana...
Aku tak tahu siapa namamu, tak begitu mengenal asalmu, dan tak tahu persis bagaimana aku bisa mengenalmu...
Namun, satu yang kutahu, aku menyayangimu...

Maaf untuk semuanya...
Untuk segala sikap egoisku, keberadaanku yang antara ada dan tiada, kadang bersikap acuh padamu, dan tak pernah memberitahumu siapa aku sebenarnya dan apa masalahku...

Maafkan aku...
Namun aku bersikap acuh dan tak peduli, karena aku takut kau akan terlalu bergantung padaku, bahkan mencintaiku,
Aku takut kedekatan kita membuatmu merasakan hal yang sama denganku, hingga saat aku  harus pergi kau semakin tersakiti,
Biarlah aku yang menyimpan rasa ini, membawanya pergi bersama hari-hari kelamku ke surga,
Jika ternyata rasa itu terlanjur tersimpan di hatimu, simpanlah!
Aku takkan melarangmu lagi!
Katakanlah jika kau ingin mengatakannya!
Menangislah jika kau ingin menangisinya!
Aku tak berhak melarangmu lagi!
Namun kumohon, jangan lakukan semua itu di hadapanku!
Aku tak sanggup mendengar kata yang tak berhak aku dengar!
Dan aku lebih tak sanggup jika harus melihatmu menangis karena perasaanmu padaku!

Maaf...
Aku terlalu takut padamu, terlalu takut menatap matamu, dan terlalu takut membuatmu sakit...
Sungguh, aku tak pernah menduga bisa membuatmu menangis waktu itu,
Aku hanya bisa berharap pada Tuhan, semoga ini pertama dan terakhir kalinya aku membuatmu menangis,
Ingin aku mencegahmu setelah pertemuan terakhir kita dan memelukmu, menghiburmu agar kau tak menangis lagi atas kepergianku yang tiba-tiba...
Tapi aku begitu pengecut, terlalu takut keluar dari persembunyianku dan menyeka air matamu...

Aku begitu lemah,
Tak memiliki kekuatan sedikitpun untuk melindungimu,
Tak bisa selalu berada di sisimu dan menjadi bintang senjamu,
Bahkan, aku tak pernah bisa untuk berani bertanya siapa nama malaikat yang terlanjur bersemayam di hatiku...

Aku pernah meminta pada Tuhan untuk memberikanku seorang teman sebelum hari itu benar-benar datang, dan Dia memberiku kau !!!
Dia memberikan seorang teman lebih dari apa yang kuminta,
Bahkan, Dia menyelipkan sejuta rasa indah yang baru pertama kali ini kurasakan, hingga begitu menyakitkan saat aku harus meninggalkannya...
Namun, senyumanmu membuatku yakin bahwa aku bisa mempercayaimu untuk menyimpan dan menjaga setengah dari rasa itu,
Maka, tetaplah tersenyum untukku!
Kenanglah aku selalu sebagai bintang yang memiliki setengah dari rasa yang kau simpan itu!
Tak usah gelisah dan bingung akan tak kehadiranku,
Karena kau akan tetap bisa merasakan kehadiranku dengan menatap bintang pertama yang kau lihat di ujung senja...

Kuselipkan namaku di bawah,
Agar kau tetap bisa berdoa untukku...

Bintang di ujung senjamu,

“Jin-Woon Jeong”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar