Saat itu hujan turun dengan deras. Aku yang baru pulang sekolah dengan
tergesa-gesa berlari menuju rumah, menyusuri jalan setapak di pinggir hutan
yang rimbun. Tak kupedulikan lagi orang-orang yang berlalu lalang melewatiku.
Aku hanya ingin segera tiba di rumah tanpa tersentuh air hujan. Entah karena
saking terburu-burunya, aku tak sengaja menabrakmu, “Jeongsohamnida!” ucapku setengah melirik ke arahmu.
“Gwaenchanayo,” jawabmu
tanpa menoleh. Aku tertahan sejenak oleh tatapan kosong matamu pada kerikil-kerikil putih yang kau injak. Ingin kusingkap payung yang menutupi wajahmu itu dan menatap mata indah itu lebih lama. Tapi kuurungkan niatku karena aku harus segera pulang. Aku pun kembali berlari menuju sebuah pedesaan kecil di pinggir rel kereta api yang kini kutempati.
tanpa menoleh. Aku tertahan sejenak oleh tatapan kosong matamu pada kerikil-kerikil putih yang kau injak. Ingin kusingkap payung yang menutupi wajahmu itu dan menatap mata indah itu lebih lama. Tapi kuurungkan niatku karena aku harus segera pulang. Aku pun kembali berlari menuju sebuah pedesaan kecil di pinggir rel kereta api yang kini kutempati.
Yah, hari itu adalah perkenalan
awal kita. Hari dimana aku pertama kali bertemu denganmu karena ketidak
sengajaan, dan ketidak sengajaan itu membuatku tak henti-hentinya memikirkanmu.
Betapa bodohnya aku waktu itu tidak menanyakan namamu.
Hari demi hari pun berlalu, dan
aku semakin gila dibuat olehmu. Aku tidak bisa melupakanmu sejak kejadian hari
itu. Aku selalu berharap pada Tuhan agar aku bisa bertemu lagi denganmu. Dan sepertinya,
Tuhan mendengar harapanku. Kita bertemu lagi, di tempat yang sama pada senja
hari, saat matahari akan bersiap kembali ke peradabannya. Dengan ragu-ragu,
kucoba untuk menyapamu yang saat itu sedang berdiri menatap langit.
“Bukankah kau yang waktu itu?” tanyaku pelan sambil berdiri di sampingmu.
Tapi kau hanya diam dan menatapku dengan pandangan sayu. Sedetik kemudian kau
pergi meninggalkanku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sekilas aku dapat
melihat sebutir air mata kesedihan
mengalir di pipimu. Ingin aku mencegah kepergianmu dan menanyakan apa
yang terjadi, tapi sepertinya kau sedang tidak ingin diganggu. Aku pun
mengikuti langkahmu untuk kembali ke peradabanku yang semula.
Setelah hari itu, aku tak pernah
bertemu denganmu lagi. Rasa rindu yang menyakitkan kembali merajai hatiku. Apa ini
yang disebut cinta? Mengapa begitu perih dan menyesakkan dada? Tuhan, dapatkah
aku bertemu dengannya lagi? Walau hanya sekejap, tak apa. Aku hanya ingin
menatap mata malaikat itu lagi dan mengetahui namanya. Aku ingin mendengar
suara lembutnya sekali lagi. Izinkan aku bertemu, Tuhan! Aku merindukannya!
Sungguh!
***
Aku kembali ke tempat itu.
Mencoba menemukan pancaran sinarmu yang beberapa hari ini redup tak terlihat.
Namun sayang, tak ada satupun sinarmu yang kudapati. Dengan gontai, aku
berjalan pulang. Saat itu senja telah datang. Aku sempatkan diri untuk
beristirahat sebentar di bawah sebuah pohon di pinggir jalan sembari memandangi
semburat jingga di ujung senja. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Aku
tersentak saat kudapati dirimu sudah berdiri di hadapanku sambil tersenyum.
Apakah ini sebuah keajaiban? Aku bertemu denganmu? Lagi?
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
“A... a... aku sedang memandangi langit,” jawabku agak terbata.
“Bolehkah aku duduk?”
“Geurae,”
“Mianhae,” katamu tiba-tiba.
“Untuk?”
“Mengacuhkanmu saat itu,”
“Tidak apa-apa, aku dapat mengerti,”
“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
“Tentu. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Sebenarnya, apa tujuan kita hidup?”
“Ummm... aku tidak tahu pasti. Akan tetapi, tujuan hidupku saat ini adalah
membuat orang-orang di sekelilingku bahagia,”
“Ajinjja?”
“Ya. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
“Anniyo. Oh ya, aku suka
pemandangan disini. Langitnya sangat indah, apalagi saat senja hari,” jawabmu
seakan mengalihkan pembicaraan.
“Aku juga. Tempat ini sangat nyaman dan damai,”
Kita terdiam untuk beberapa
saat. Hening dan sunyi. Tak ada lagi yang membuka mulut setelah kata-kataku
yang terakhir. Hingga tiba-tiba kau menarikku ke dalam dekapanmu.
“Di sini sangat dingin,” ucapmu kemudian.
Sungguh, aku sangat terkejut dengan perlakuanmu. Aku tidak bisa berkata
apapun. Hanya diam. Jantungku berdetak tak karuan. Kau hanya tersenyum melihat
ekspresi wajahku saat itu.
“Hahaha... suara jantungmu keras sekali!” katamu sambil terbahak.
“Aish! Apa yang kau lakukan? Aku... aku... ah! Sudahlah!” aku langsung
melepas pelukanmu dan berlari sejauh yang aku bisa. Aku tidak sanggup menahan
maluku di depanmu. Sungguh. Aku sangat malu. Apalagi setelah kau berkata
seperti itu. Uh! Tapi aku juga merasa bahagia. Setidaknya, aku pernah berbicara
denganmu dan merasakan hangat tubuhmu.
***
Hari berikutnya, saat aku sedang berjalan menuju rumah sepulangku dari
pasar, aku melihatmu sedang berdiri memandangi langit dengan tatapan kosong.
Kuhentikan langkahku dan menghampirimu.
“Apa kau sedang ada masalah? Mengapa wajahmu terlihat sendu?” kau hanya
diam. Setelah itu, tatapan kosongmu tertuju padaku. Sedetik kemudian, air mata
mengalir di pipimu. Sungguh. Aku tak tahan melihatmu menangis. Ingin kuusap air
mata itu, tapi aku terlalu takut untuk melakukannya.
Tiba-tiba kau menggenggam
tanganku dan memelukku. Aku hanya bisa diam. Mungkin, dengan cara ini aku bisa
sedikit mengobati kesedihanmu. Dalam pelukan itu, aku bisa merasakan hangat
tubuhmu. Kehangatan yang rapuh dan lemah. Perlahan, pelukanmu mengendur dan
akhirnya terlepas. Lalu tatapan kosong itu kembali tertuju pada langit di atas
sana.
“Gwaenchana?” tanyaku lagi.
“Mian. Tidak seharusnya aku
begini,” katamu tertunduk dan kemudian beranjak pergi. Entah mengapa, hatiku
sangat enggan membiarkanmu berlalu begitu saja. Aku mencoba mengejarmu dan
menahanmu.
“Ceritakanlah!” teriakku.
“Apa itu harus? Sudahlah! Tak usah mencampuri urusanku! Tidak penting
untuk kau ketahui!” katamu dan berlalu
pergi.
Aku ternganga. Tak percaya pada
apa yang kudengar. Kau marah. Apa yang salah? Oh, Tuhan! Mengapa dia bersikap
seperti itu? Apa kehadiranku benar-benar mengusik hidupnya?
***
Tiga minggu berlalu sejak kejadian itu, dan aku tak pernah bertemu
denganmu lagi. Kau benar-benar menghilang bagai ditelan bumi. Aku hanya bisa
menunggu dengan gelisah, berharap kau akan muncul dan menyapaku seperti
biasanya. Tapi sepertinya harapanku hanya sebuah harapan kosong yang sia-sia.
***
Sore itu, langit sangat gelap,
pertanda hujan akan segera menampakkan kehadirannya. Aku berlari kecil menuju
pemukimanku dan berharap hujan tak akan menyentuhku hingga aku tiba nanti. Tapi
sepertinya, itu bukan hari keberuntunganku. Baru beberapa langkah aku berlari,
hujan turun. Aku semakin mempercepat langkahku. Namun, tiba-tiba saja aku
terpeleset dan jatuh. Sepertinya kakiku keseleo. Sakit sekali. Aku mencoba
untuk bangkit dan kembali berjalan, tapi usahaku sia-sia. Aku tidak dapat
berdiri dan menggerakkan kakiku. Itu terlalu menyakitkan. Hujan semakin deras
dan kini telah membuat sekujur tubuhku basah kuyup. Aku menangis. Adakah yang
bisa menolongku? Tuhan! Aku ingin pulang!
Tiba-tiba seseorang datang dan
memayungiku.
“Gwaenchanayo?” tanyanya
sambil berjongkok di hadapanku.
Aku tersentak saat menyadari orang itu adalah kau. Hening beberapa saat.
Entah tanpa sebab, dengan refleks aku langsung memelukmu dan menangis di
pelukanmu.
“Aku takut!” kataku di sela-sela tangis. Kau hanya terdiam sambil memainkan jemarimu di rambutku yang
basah.
“Sudahlah, tidak usah menangis seperti itu. Aku sekarang ada di sini,”
katamu kemudian.
“Kemana saja kau selama ini?” tanyaku sambil tetap mendekapmu.
“Maafkan aku,”
“Apa kau tidak tahu? Aku sangat cemas melihat sikapmu waktu itu!
Ditambah, sudah beberapa minggu ini kau tiba-tiba saja menghilang. Aku sangat
khawatir,”
“Maaf, tidak seharusya aku berkata seperti itu,”
“Sudahlah! Tak usah membahasnya lagi,” kataku kemudian lalu melepaskan
pelukanku.
“Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau duduk di tengah hujan seperti
ini?”
“Aku terpeleset dan kakiku keseleo. Aku tidak bisa bangun, apalagi
berjalan,” jawabku sambil tertunduk, malu menampakkan wajah cengengku.
“Ayo, naiklah!” katamu tiba-tiba sambil membalikkan badan.
“Mwo?”
“Naiklah!”
“Kemana?” aku masih tidak mengerti.
Namun, tiba-tiba kau langsung
menarik tanganku dan menggendongku di punggungmu. “Aku akan mengantarmu
pulang,” katamu kemudian.
“Tapi, tapi...” aku mencoba menahanmu, tapi kau tetap saja berjalan.
“Tidak usah banyak bicara, kakimu akan tambah sakit nanti. Tidurlah di
bahuku, kau pasti sangat lelah,” aku tersenyum mendengar kata-katamu. Lalu
kusandarkan kepalaku di bahumu dan tertidur. Hujan semakin deras, namun aku
merasa tak terguyur air hujan sedikit pun. Perhatianmu seperti memayungiku
hingga aku terlelap dalam mimpi yang indah.
***
Saat itu, senja sudah datang.
Kita bertemu seperti biasa di pinggir hutan yang menghadap langsung ke matahari
terbenam.
“Bagaimana dengan kakimu? Apa sudah merasa lebih baik?” tanyamu sambil
berjongkok di bawahku dan memeriksa keadaan kakiku.
“Tidak usah seperti itu, kakiku sudah sembuh,”
“Baguslah! Kajja!” katamu
tiba-tiba dan langsung menarik tanganku.
“Mau kemana kita?”
“Ke bawah sana!” tunjukmu pada sebuah ladang di bawah bukit sana. Aku
hanya mengangguk dan mengikutimu berlari. Ketenangan langsung menyergap,
merasuk ke setiap sudut di persendianku.
Sungguh hari yang indah, bisa bertemu denganmu lagi.
“Duduk di sini,” katamu, menyuruhku duduk di sebuah kayu besar yang
berlumut. “Pemandangan di sini lebih indah. Lihat, mataharinya terlihat lebih
jelas bukan?”
“Emm,” aku hanya mengangguk dan tersenyum.
Tiba-tiba kau menarik kepalaku
dan menyandarkannya di bahumu. Aku hanya diam, namun dalam hati aku berteriak
kegirangan. Tuhan! Inikah kebahagiaan yang sesungguhnya?
“Aku masih tidak mengerti denganmu, sebenarnya apa masalahmu selama ini?
Mengapa kau tidak pernah mau menceritakannya padaku?”
“Sebenarnya, aku tidak enak menceritakan masalahku ke orang lain. Lebih
tepatnya aku terlalu takut,”
“Mengapa kau takut?”
“Aku juga tidak tahu. Sudahlah, lagipula kau tidak tahu apa yang
kurasakan,”
“Memangnya apa yang kau rasakan?”
“Benar kau ingin mengetahuinya?” aku mengangguk. “Sebenarnya aku
menyukai seorang gadis,” tiba-tiba aku terlonjak.
“Siapa?” tanyaku dengan tatapan tajam.
“Seseorang yang sangat manja. Tingkahnya sangat kekanak-kanakan. Tapi,
tingkah lucunya itulah yang membuatku selalu tersenyum,”
“Geurae?” kataku pasrah.
Hatiku terasa benar-benar aneh saat itu. Entah mengapa, mungkin karena aku
menyukaimu.
“Tentu saja,” jawabmu tersenyum. Kau terlihat begitu bahagia.
Sepertinya, kau benar-benar menyukai gadis itu, yang aku sendiri pun tak tahu
siapa dia.
“Lalu, siapa dia?”
“Dia adalah seorang gadis yang duduk di hadapanku saat ini, begitu bodoh
dan penakut, hingga untuk membuka matanya pun dia tidak berani. Mungkin dia
takut mendengarku menceritakan tentang gadis lain, hahahaha...”
“Emmm, gadis itu benar-benar sangat beruntung,” kataku tertunduk.
“Apa kau benar-benar tidak tahu siapa dia?”
“Mana mungkin aku tahu! Kau tidak memberitahukannya padaku!” jawabku
lantang. Hatiku benar-benar teraduk-aduk saat itu. Aku bisa merasakan api
berkobar merah di mukaku.
“Jadi, kau benar-benar tidak mengerti maksud perkataanku?” tanyamu
terheran-heran. Aku hanya menggeleng.
“Ah! Babo! Kau ini benar-benar
sangat bodoh!” katamu lagi dan pergi meninggalkanku.
“Mwo?! Kau mengatakan aku
bodoh! Apanya yang tidak aku mengerti?! Kau hanya mengatakan dia adalah seorang
gadis yang duduk di hadapanku saat ini! Ya!”
teriakku keras. Tapi, tunggu! Ada yang mengganjal dalam kata-kata itu, “Seorang
gadis yang duduk di hadapanku, di hadapanku, berarti di hadapanmu! Dan yang
duduk di hadapanmu, aku! AKU! Gadis itu, AKU!!!” aku baru menyadari arti dari
ucapanmu. Jadi, gadis itu adalah aku. Kau menyukaiku.
Aku benar-benar terlonjak.
Segera aku berlari mengejarmu yang sudah hilang entah kemana. Tapi, kekuatan
kakiku benar-benar ampuh, aku berhasil menemukanmu sedang terduduk merenung di
bawah bukit. “Ya!” teriakku. Kau
hanya terdiam dan menatapku tajam, lalu sedetik kemudian sebuah kata terlontar
dari bibir tipismu, “Waeyo?”
“Kau, kau, menyukaiku?” tanyaku terbata. Takut jika perkiraanku salah.
Namun, kau hanya diam dan dengan tiba-tiba menarik tanganku. “Duduklah!”
“Kau belum menjawab pertanyaanku!”
“Apa?”
“Apa kau menyukaiku?”
“Lalu?”
“Aku ingin mendengar jawabanmu!”
“Jika iya, apa itu salah?”
“Ah, ah, Anni! Anniyo! Bukan seperti itu! Aku, aku
hanya–”
“Sudah! Tak usah berkata apapun lagi. Kau tidak perlu mengatakan apapun
atas apa yang kau dengar dan apa yang kau tahu, itu tidak penting untukku! Aku
hanya ingin kau tahu perasaanku. Bukankah selalu itu yang kau tanyakan?”
“Tapi, tapi mengapa? Kenapa aku tidak boleh mengatakan apapun? Lalu apa
yang harus aku lakukan?”
“Kau hanya perlu menutup matamu,”
“Apa?”
“Tutup matamu,”
“Menutup mataku? Seperti–”
kata-kataku tiba-tiba terhenti saat sebuah benda tipis nan hangat
mendarat di bibirku. Bibir lembab itu benar-benar membuat mulutku terkunci
seketika. Suasana hening dan hangat menyelimuti kejadian yang tak pernah kuduga
sebelumnya. Hanya detak jantungku yang terus berpacu seiring berjalannya waktu.
Waktu terasa begitu lambat. Aku tak dapat menghitung berapa lama waktu yang
kita habiskan dalam susana penuh romantis itu, hingga tiba-tiba kau melepaskan
bibirmu.
Emosiku masih belum mampu terkontrol. Aku masih sangat terkejut atas apa
yang kau lakukan. Adegan yang hanya bisa aku tonton di drama kesayanganku,
ternyata sore ini aku merasakan kehangatannya, karenamu.
Saat aku sadar kehangatan itu telah menghilang, kuberanikan diri membuka
mataku, dan kesadaranku benar-benar memuncak saat aku tahu kau telah pergi.
Menghilang entah kemana, tanpa memberitahuku. Perasaan bahagiaku seketika itu
lenyap, berubah menjadi deraian air mata yang tak merelakan kau meninggalkanku
sendiri. Kemana dirimu? Mengapa tiba-tiba membiarkanku terkurung dalam
kebingungan seperti ini?
***
Minggu pertama tanpamu, hampa.
Dilanjutkan minggu kedua, kehampaaku memuncak. Lalu berlanjut berminggu-minggu
kemudian, kau tetap menghilang. Aku semakin sedih, bingung, dan gelisah. Hatiku
selalu bertanya-tanya? Di mana kau?
Akhirnya, dua bulan berlalu
tanpa sosokmu. Kuyakin, kali ini kau benar-benar takkan kembali lagi. Tak
biasanya kau menghilang hingga berbulan-bulan lamanya. Rinduku sudah tak
terbendung. Namun, aku tak bisa memenuhi rinduku padamu. Sepertinya, kita
takkan pernah bertemu lagi. Kucoba untuk melupakanmu, melupakan semua yang aku
ketahui tentangmu. Melupakan segala kenangan indah kita di senja hari yang sendu.
Melupakan sosok seorang lelaki yang belum kuketahui namanya. Kau memang bukan
takdirku. Hingga namamu pun aku tak tahu. Oh!!! Aku merasa benar-benar sangat
bodoh dan menyesal saat ini! Mengapa selama perjumpaan kita aku tak pernah
bertanya hal sepenting itu!!! Uh!!! Sudahlah!!! Kita mungkin memang tak ditakdirkan
bersama.
***
“Ji-Yeon~ah!!!” seru Eomma
dari dalam dapur.
“Waeyo, Eomma?” jawabku dengan
malas dari dalam kamar. Aku masih asik membolak-balik majalah yang baru kubeli
sepulang sekolah tadi.
“Bisakah kau mengangkat jemuran di luar itu? Sepertinya hujan akan
segera turun. Eomma sedang sibuk
menyiapkan makan siang untuk Appa-mu,”
seru Eomma sekali lagi.
“Baiklah,”
Aku pun berlari menuju halaman tempat jemuran terjejer rapi. Kuangkat
satu persatu jemuran itu hingga tali jemuran yang menggantung di antara
besi-besi itu kosong melompong tak berpenghuni. Rintik-rintik hujan mulai mengguyur.
Aku pun berlari menyelamatkan diri dan jemuran yang kubawa dari serangan air
hujan. Namun tiba-tiba langkahku terhenti saat mataku tertuju pada sebuah kotak
kardus lapuk yang bersembunyi di antara pot-pot kecil di depan rumah.
“Kotak apa itu? Setahuku, aku tak pernah menyimpan kotak seperti itu
disini? Dan sepertinya, kotak itu sudah lama bertengger di sana. Warna
kardusnya saja sudah lapuk. Hum, mungkin hanya kotak biasa,” gumamku lalu
kembali berlari dan meletakkan jemuran yang sudah kering itu di sofa ruang
tamu.
“Hum, tapi aku masih penasaran dengan kotak itu. Apakah aku harus keluar
dan mengambilnya?” tanyaku pada diri sendiri. Hatiku masih diliputi rasa
penasaran tentang kotak yang kulihat tadi. “Sebaiknya aku memeriksanya,” kataku
kemudian, lalu berlari keluar dan mengambil kotak kecil itu. Aku bawa kotak itu
ke dalam kamar dan kubuka perlahan.
Aku mendapati sepucuk surat
terselip di sana, di bawah sebuah lukisan mirip diriku yang gambarnya sudah
mulai pudar, terbingkai indah dari akar-akar pohon tanaman ilalang yang biasa
tumbuh di hutan dekat rumah. Kuangkat perlahan lukisan beserta surat itu, lalu
kutatap sejenak. “Aku?”
Aku membuka lembaran putih di
tangan kiriku. Sebuah goresan tinta hitam dari orang yang tak kuketahui terukir
di sana, berbunyi :
Nodo,
Na cheorom ireohkhae apeunji...
Nodo,
Na cheorom nunumul naneunji...
Nodo,
Haru jong il ireohkhae...
Chuo gaesaneunji...
Kok na cheorom...
Untukmu
di sana...
Aku
tak tahu siapa namamu, tak begitu mengenal asalmu, dan tak tahu persis
bagaimana aku bisa mengenalmu...
Namun,
satu yang kutahu, aku menyayangimu...
Maaf
untuk semuanya...
Untuk
segala sikap egoisku, keberadaanku yang antara ada dan tiada, kadang bersikap
acuh padamu, dan tak pernah memberitahumu siapa aku sebenarnya dan apa
masalahku...
Maafkan
aku...
Namun
aku bersikap acuh dan tak peduli, karena aku takut kau akan terlalu bergantung
padaku, bahkan mencintaiku,
Aku
takut kedekatan kita membuatmu merasakan hal yang sama denganku, hingga saat
aku harus pergi kau semakin tersakiti,
Biarlah
aku yang menyimpan rasa ini, membawanya pergi bersama hari-hari kelamku ke
surga,
Jika
ternyata rasa itu terlanjur tersimpan di hatimu, simpanlah!
Aku
takkan melarangmu lagi!
Katakanlah
jika kau ingin mengatakannya!
Menangislah
jika kau ingin menangisinya!
Aku
tak berhak melarangmu lagi!
Namun
kumohon, jangan lakukan semua itu di hadapanku!
Aku
tak sanggup mendengar kata yang tak berhak aku dengar!
Dan
aku lebih tak sanggup jika harus melihatmu menangis karena perasaanmu padaku!
Maaf...
Aku
terlalu takut padamu, terlalu takut menatap matamu, dan terlalu takut membuatmu
sakit...
Sungguh,
aku tak pernah menduga bisa membuatmu menangis waktu itu,
Aku
hanya bisa berharap pada Tuhan, semoga ini pertama dan terakhir kalinya aku
membuatmu menangis,
Ingin
aku mencegahmu setelah pertemuan terakhir kita dan memelukmu, menghiburmu agar
kau tak menangis lagi atas kepergianku yang tiba-tiba...
Tapi
aku begitu pengecut, terlalu takut keluar dari persembunyianku dan menyeka air
matamu...
Aku
begitu lemah,
Tak
memiliki kekuatan sedikitpun untuk melindungimu,
Tak
bisa selalu berada di sisimu dan menjadi bintang senjamu,
Bahkan,
aku tak pernah bisa untuk berani bertanya siapa nama malaikat yang terlanjur
bersemayam di hatiku...
Aku
pernah meminta pada Tuhan untuk memberikanku seorang teman sebelum hari itu
benar-benar datang, dan Dia memberiku kau !!!
Dia
memberikan seorang teman lebih dari apa yang kuminta,
Bahkan,
Dia menyelipkan sejuta rasa indah yang baru pertama kali ini kurasakan, hingga
begitu menyakitkan saat aku harus meninggalkannya...
Namun,
senyumanmu membuatku yakin bahwa aku bisa mempercayaimu untuk menyimpan dan
menjaga setengah dari rasa itu,
Maka,
tetaplah tersenyum untukku!
Kenanglah
aku selalu sebagai bintang yang memiliki setengah dari rasa yang kau simpan
itu!
Tak
usah gelisah dan bingung akan tak kehadiranku,
Karena
kau akan tetap bisa merasakan kehadiranku dengan menatap bintang pertama yang
kau lihat di ujung senja...
Kuselipkan
namaku di bawah,
Agar
kau tetap bisa berdoa untukku...
Bintang
di ujung senjamu,
“Jin-Woon
Jeong”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar