16 November 2012
Sudah berapa lama ini?
Satu bulan? Hmmm, kurasa lebih. Lebih dari satu bulan, dan aku masih tak bisa
menghilangkan secuil pun rasa itu. Kedengarannya memang aneh dan sangat bodoh,
dia jahat, dia jahat, dan dia sangat jahat. Dia menghancurkan begitu saja
sesuatu yang telah aku tanam berbulan-bulan lalu, menyimpannya dalam-dalam di
sudut hatiku, tanpa pernah sekalipun kuungkap padanya. Tapi, saat perlahan dia
tahu dan memberikanku sebuah
harapan indah, dan yang pada akhirnya aku mampu membuat sebuah cerpen dengan akhir bahagia, dalam sekejap itu pula dia menghancurkan harapan itu. Tak begitu berkeping-keping, tak terlalu hancur hingga lebur, hanya retak, tapi membuat gelombang di dalam hatiku bergejolak. Air mata yang membendung di pelupuk mataku sudah tak tertahankan lagi, tapi masih bisa kuatasi karena aku memang tak tahu bagaimana cara menangis, dan aku takkan pernah menangis untuk ini. Dan itu semua hanya karena sebuah kata, sebuah kata yang mungkin takkan pernah aku lupakan. Itu mungkin hanya kata biasa dan sengaja diucapkannya hanya untuk membuat orang-orang berpikir yang lain, tapi “kata” itu benar-benar tak bisa aku maafkan. Walaupun hati kecilku mengatakan untuk tidak percaya pada kata itu. Hatiku terlalu memercayainya.
harapan indah, dan yang pada akhirnya aku mampu membuat sebuah cerpen dengan akhir bahagia, dalam sekejap itu pula dia menghancurkan harapan itu. Tak begitu berkeping-keping, tak terlalu hancur hingga lebur, hanya retak, tapi membuat gelombang di dalam hatiku bergejolak. Air mata yang membendung di pelupuk mataku sudah tak tertahankan lagi, tapi masih bisa kuatasi karena aku memang tak tahu bagaimana cara menangis, dan aku takkan pernah menangis untuk ini. Dan itu semua hanya karena sebuah kata, sebuah kata yang mungkin takkan pernah aku lupakan. Itu mungkin hanya kata biasa dan sengaja diucapkannya hanya untuk membuat orang-orang berpikir yang lain, tapi “kata” itu benar-benar tak bisa aku maafkan. Walaupun hati kecilku mengatakan untuk tidak percaya pada kata itu. Hatiku terlalu memercayainya.
Sejak hari di mana aku
tahu tentang kata bermakna luas itu, aku bertekad aku takkan pernah tersenyum
lagi padanya. Takan pernah membuka mulutku hanya untuk mengatakan “Hallo”, dan
takkan pernah mengingat apapun tentangnya lagi. Tapi entah mengapa, saat dia berada
di dekatku, semua yang sudah kurencanakan hilang tiba-tiba. Aku bagai manusia
lugu yang tak pernah mengenal siapapun kecuali dia. Aku bagai patung yang hanya
mengangguk saat dia berkata ingin duduk di sampingku. Semua kesadaranku hilang.
Aku tak mampu mencerna apapun, merasakan apapun, dan tak mampu mendengar
apapun. Yang kutahu aku hanya mampu merasakan kehadirannya di sisiku, mendengar
suaranya tertawa nyaring di telingaku, dan mencerna sedalam-dalamnya perasaan
yang sudah hampir mati padanya. Dia penyihir, dia dementor!
Aku sudah lupa akan
tekadku yang dulu. Aku bahkan lebih mudah tersenyum padanya. Suaraku terdengar
halus dan tercekat saat aku menjawab apapun yang ditanyakannya padaku. Seperti
air, dia membawaku mengalir lebih tenang saat berada di dekatnya.
Tapi, semakin lama dia
membawaku mengalir di permukaannya yang jernih, selama itu pula aku tak tahu di
mana muara sungai kecilnya itu. Hingga tiba-tiba hari itu tanpa sadar aku
tenggelam. Tenggelam akan tak kehadirannya. Tenggelam mendengar sebuah
pengakuan, yang rencananya kelak akan aku tanyakan, dan ternyata itu datang
lebih awal. Dan seketika itu pula, retakan di hatiku benar-benar hancur lebur.
Berserakan di serambi hatiku tanpa ada satupun makhluk yang bisa
membersihkannya. Aku tak tahu sudah berapa lama aku tak merasakan perasaan
sakit seperti ini, dan perasaan itu benar-benar menyakitkan. Lebih sakit dari
sebuah sayatan belati di sendi-sendimu.
Dia mendapatkannya. Hah!
Sungguh! Kenyataan yang tidak bisa kuterima!
Sejak hari itu, aku
benar-benar lupa cara tersenyum. Aku lupa cara bernafas. Aku lupa cara tertawa.
Aku lupa cara melihat. Bahkan aku lupa cara mencintai. Mencintainya. Seketika
namanya lenyap dalam hatiku. Hanya tersisa keping-keping kecil yang masih
berserakan, dan mungkin takkan bisa kuperbaiki lagi.
Aku akan melupakannya. Aku
tak ingin mendengar apapun lagi tentangnya. Aku tak ingin melihat, mendengar,
dan merasakan apapun yang dapat mengingatkan aku pada pencuri kenangan indah
itu. Aku tak ingin lagi. Sudah cukup aku seperti ini. Bertahan pada hatiku yang
tak tahu bagaimana cara membencinya. Dan untuk sekali ini, aku ingin mencoba
untuk membencinya. Membencinya sebenci yang aku bisa. Aku tak ingin
memperlihatkan kesedihan apapun padanya. Aku akan buktikan aku bisa bahagia
tanpanya. Aku tak ingin menangis di atas tawanya. Mungkin dia memang bahagia
bersamanya, dan aku akan lebih bahagia lagi bersama yang lain. Itu tekadku
kini.
Hah, tekad! Tekad apa!
Segala sesuatu yang kusebut “tekad” itu tak berarti apa-apa saat melihatnya
tadi. Haha, sungguh menyebalkan. Ini terjadi dan terjadi lagi, selalu seperti
ini. Dan seperti yang kutulis di awal, aku masih tak bisa melupakannya,
ternyata! Astaga! Ada apa ini? Semua perasaan benciku hilang seketika itu juga
saat dia berbicara padaku? Tidak mungkin! Tapi itu yang kurasakan, sungguh. Aku
bahkan mampu tersenyum lebih lebar tadi. Dengan sangat mudah mengatakan sesuatu
yang seharusnya tak aku katakan, dan jawabannya, dia menyetujuinya. Dan bagaimanapun
aku bertekad membencinya, aku masih begitu peka akan ekspresinya. Suaranya
lemah dan dia... tidak bahagia? Benarkah? Apa itu hanya perasaanku saja? Dia
tidak bahagia, kurasa. Bukan tidak bahagia bersama pilihannya kini, tapi... tapi
dia tidak bahagia aku mengetahuinya? Oh, Hell! Aku sudah gila! Benar-benar
gila! Haruskah aku memercayai kepekaanku yang tidak beralasan? Hah... mwolla! Tuhan... kenapa aku begitu
merasa tahu semuanya?! Hapus pikiran itu dari otak dan hatiku, cepat Tuhan!
Sebelum aku gila dan benar-benar memikirkan hal yang tidak mungkin terjadi...
cepat! ><
Tidak ada komentar:
Posting Komentar