Sabtu, 17 November 2012

Dementor : 16 November 2012


16 November 2012

 
Sudah berapa lama ini? Satu bulan? Hmmm, kurasa lebih. Lebih dari satu bulan, dan aku masih tak bisa menghilangkan secuil pun rasa itu. Kedengarannya memang aneh dan sangat bodoh, dia jahat, dia jahat, dan dia sangat jahat. Dia menghancurkan begitu saja sesuatu yang telah aku tanam berbulan-bulan lalu, menyimpannya dalam-dalam di sudut hatiku, tanpa pernah sekalipun kuungkap padanya. Tapi, saat perlahan dia tahu dan memberikanku sebuah
harapan indah, dan yang pada akhirnya aku mampu membuat sebuah cerpen dengan akhir bahagia, dalam sekejap itu pula dia menghancurkan harapan itu. Tak begitu berkeping-keping, tak terlalu hancur hingga lebur, hanya retak, tapi membuat gelombang di dalam hatiku bergejolak. Air mata yang membendung di pelupuk mataku sudah tak tertahankan lagi, tapi masih bisa kuatasi karena aku memang tak tahu bagaimana cara menangis, dan aku takkan pernah menangis untuk ini. Dan itu semua hanya karena sebuah kata, sebuah kata yang mungkin takkan pernah aku lupakan. Itu mungkin hanya kata biasa dan sengaja diucapkannya hanya untuk membuat orang-orang berpikir yang lain, tapi “kata” itu benar-benar tak bisa aku maafkan. Walaupun hati kecilku mengatakan untuk tidak percaya pada kata itu. Hatiku terlalu memercayainya.


Sejak hari di mana aku tahu tentang kata bermakna luas itu, aku bertekad aku takkan pernah tersenyum lagi padanya. Takan pernah membuka mulutku hanya untuk mengatakan “Hallo”, dan takkan pernah mengingat apapun tentangnya lagi. Tapi entah mengapa, saat dia berada di dekatku, semua yang sudah kurencanakan hilang tiba-tiba. Aku bagai manusia lugu yang tak pernah mengenal siapapun kecuali dia. Aku bagai patung yang hanya mengangguk saat dia berkata ingin duduk di sampingku. Semua kesadaranku hilang. Aku tak mampu mencerna apapun, merasakan apapun, dan tak mampu mendengar apapun. Yang kutahu aku hanya mampu merasakan kehadirannya di sisiku, mendengar suaranya tertawa nyaring di telingaku, dan mencerna sedalam-dalamnya perasaan yang sudah hampir mati padanya. Dia penyihir, dia dementor!
Aku sudah lupa akan tekadku yang dulu. Aku bahkan lebih mudah tersenyum padanya. Suaraku terdengar halus dan tercekat saat aku menjawab apapun yang ditanyakannya padaku. Seperti air, dia membawaku mengalir lebih tenang saat berada di dekatnya.
Tapi, semakin lama dia membawaku mengalir di permukaannya yang jernih, selama itu pula aku tak tahu di mana muara sungai kecilnya itu. Hingga tiba-tiba hari itu tanpa sadar aku tenggelam. Tenggelam akan tak kehadirannya. Tenggelam mendengar sebuah pengakuan, yang rencananya kelak akan aku tanyakan, dan ternyata itu datang lebih awal. Dan seketika itu pula, retakan di hatiku benar-benar hancur lebur. Berserakan di serambi hatiku tanpa ada satupun makhluk yang bisa membersihkannya. Aku tak tahu sudah berapa lama aku tak merasakan perasaan sakit seperti ini, dan perasaan itu benar-benar menyakitkan. Lebih sakit dari sebuah sayatan belati di sendi-sendimu.
Dia mendapatkannya. Hah! Sungguh! Kenyataan yang tidak bisa kuterima!
Sejak hari itu, aku benar-benar lupa cara tersenyum. Aku lupa cara bernafas. Aku lupa cara tertawa. Aku lupa cara melihat. Bahkan aku lupa cara mencintai. Mencintainya. Seketika namanya lenyap dalam hatiku. Hanya tersisa keping-keping kecil yang masih berserakan, dan mungkin takkan bisa kuperbaiki lagi.
Aku akan melupakannya. Aku tak ingin mendengar apapun lagi tentangnya. Aku tak ingin melihat, mendengar, dan merasakan apapun yang dapat mengingatkan aku pada pencuri kenangan indah itu. Aku tak ingin lagi. Sudah cukup aku seperti ini. Bertahan pada hatiku yang tak tahu bagaimana cara membencinya. Dan untuk sekali ini, aku ingin mencoba untuk membencinya. Membencinya sebenci yang aku bisa. Aku tak ingin memperlihatkan kesedihan apapun padanya. Aku akan buktikan aku bisa bahagia tanpanya. Aku tak ingin menangis di atas tawanya. Mungkin dia memang bahagia bersamanya, dan aku akan lebih bahagia lagi bersama yang lain. Itu tekadku kini.
Hah, tekad! Tekad apa! Segala sesuatu yang kusebut “tekad” itu tak berarti apa-apa saat melihatnya tadi. Haha, sungguh menyebalkan. Ini terjadi dan terjadi lagi, selalu seperti ini. Dan seperti yang kutulis di awal, aku masih tak bisa melupakannya, ternyata! Astaga! Ada apa ini? Semua perasaan benciku hilang seketika itu juga saat dia berbicara padaku? Tidak mungkin! Tapi itu yang kurasakan, sungguh. Aku bahkan mampu tersenyum lebih lebar tadi. Dengan sangat mudah mengatakan sesuatu yang seharusnya tak aku katakan, dan jawabannya, dia menyetujuinya. Dan bagaimanapun aku bertekad membencinya, aku masih begitu peka akan ekspresinya. Suaranya lemah dan dia... tidak bahagia? Benarkah? Apa itu hanya perasaanku saja? Dia tidak bahagia, kurasa. Bukan tidak bahagia bersama pilihannya kini, tapi... tapi dia tidak bahagia aku mengetahuinya? Oh, Hell! Aku sudah gila! Benar-benar gila! Haruskah aku memercayai kepekaanku yang tidak beralasan? Hah... mwolla! Tuhan... kenapa aku begitu merasa tahu semuanya?! Hapus pikiran itu dari otak dan hatiku, cepat Tuhan! Sebelum aku gila dan benar-benar memikirkan hal yang tidak mungkin terjadi... cepat! ><

Tidak ada komentar:

Posting Komentar