Sabtu, 17 November 2012

Miracle Lake


Di sebuah perahu kecil di tengah danau, Kinar duduk termenung dengan sebuah kuas cat air tergenggam di tangannya. Sebutir air mata mengalir di pipi ranumnya seiring dengan goresan tinta hitam pada sebuah siluet wajah seorang pria yang sangat dirindukannya.
Merahnya langit sore itu makin menambah duka Kinar yang kian terpuruk mengingat indahnya persahabatan yang dia jalin bersama Revan.
Tiba-tiba Kinar ambruk. Dia terduduk lemas diselimuti rintikan air mata yang semakin deras dengan kedatangan hujan yang secara tiba-tiba. Rambutnya yang hitam panjang tergerai basah kuyup terguyur air hujan. Bajunya pun tak dapat melindungi tubuh Kinar dari kedinginan.
Sementara lukisan pria itu sudah tak berbekas lagi bentuknya. Semuanya telah luntur tersapu air. Kinar memandangnya sejenak. Berusaha mencari makna dari lukisan tersebut. Lukisan wajah Revan. Tapi bukan makna yang dia dapat, yang ada dia semakin merindukan pria yang garis tangannya bagaikan lukisan itu. Masa-masa indah bersama Revan kembali bergelayut di pikirannya.


Satu tahun yang lalu...

“Reynaldi Arya Vinandar!”
“Hadir bu!” seru Revan semangat. Tangan kanannya tak kuasa melepas genggaman dari gadis manis di sampingnya.
Kinar tersenyum pada Revan. Lesung pipi di sudut bibir kanannya tersungging manis. Revan membalasnya, namun bukan dengan senyum, melainkan dengan cubitan pada pipi Kinar, lembut. Kinar menjerit pelan. “Awww! Revan sakit!” katanya sambil menepuk lengan Revan. Bibirnya dimanyunkan, sementara tangan kanannya masih mengelus-elus pipinya yang chubby.
“Haha. Biarin.”
“Jahat loe!”
“Eh, enak aja! Kalo’ gue jahat, udah dari dulu kali gue bunuh loe,”
“Tapi buktinya?! Ini!” tunjuk Kinar pada pipinya yang memar.
“Ya ampun! Koq bisa lebam gitu sih?! Warnanya biru! Ckck. Kenapa gak warna ijo aja, ya?” Revan nyengir.
“Iiih... nyebelin! Orang sakit gini dibikin becanda! Ini semua gara-gara loe tau!”
“Masa?”
“Iya.”
“Oh, ya?”
“Gak.”
“Gak, ya?”
“Iya.”
“Iya, ya?”
“Revvaaann!!!!” Kinar berteriak pelan. Tangannya terus bermain-main di bahu Revan yang dari tadi mengaduh kesakitan bahunya dijadikan pelampiasan amarah Kinar.
“Iya...iya... maaf...maaf!” Revan mengangkat kedua jarinya.
“Awas ya loe kalo’ bikin darah gue naik lagi. Gue bikin pepes loe!” ancam Kinar.
“Iya deh, mentang-mentang ikut kempo.” Kata Revan, “Tapi, walaupun loe jago kempo, gue juga bisa koq lawan loe. Gue punya senjata rahasia yang ampuh banget!” lanjutnya. Revan menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Apaan emang?”
“Mau tau?”
Kinar mengangguk. Revan nyengir. Dia kemudian memperbaiki posisi duduknya di sebelah Kinar, mencondongkan sedikit badannya ke depan Kinar, lalu tiba-tiba...
“Umch!” Revan mengecup pipi Kinar lembut. Dan benar saja apa yang dikatakan Revan, Kinar benar-benar langsung terdiam. Duduk terpaku sambil menatap Revan. Bibirnya terkunci. Wajahnya memancarkan rona merah.
Revan tersenyum lebar. Dalam hati dia merasa puas telah membuat Kinar benar-benar mati kutu dihadapannya. Dia langsung membalikkan tubuhnya menghadap papan tulis. Sementara Kinar masih pada posisinya yang semula. Dua orang teman sekelas mereka yang duduk di samping hanya berdeham-deham kecil melihat kejadian tadi.


“Revan!” seru Kinar saat melihat Revan sedang asyik mendribel bola basketnya. Saat itu Revan sedang latihan untuk bertanding melawan kelas lain nanti siang.
“Woi!” balas Revan dari dalam lapangan. Bolanya langsung dihempaskan ke tanah. “Gimana?” tanya Revan setibanya di hadapan gadis itu.
“Gimana apanya?”
“Yang tadi itu loh. Rasanya gimana?” Revan terkekeh setelah menghempaskan tubuhnya di samping Kinar yang duduk di rerumputan di bawah pohon.
“Iiih!!! Gak usah dibahas deh! Jijay gue! Loe ini nyebelin banget sih, maen sosor aja tanpa minta ijin!” balas Kinar bete’.
“Hahahaha... namanya juga senjata rahasia, gak mungkin dong gue minta ijin dulu,”
“Huh. Bodo’ ah! Awas ya kalo’ loe berani macem-macem kayak tadi!”
“Hum. Gak janji!” Revan nyengir. Kinar semakin menekuk wajahnya.
“Van...” panggilnya pelan.
“Mmm?” Revan melirik Kinar yang duduk lemas dengan kaki selonjoran dan tubuhnya yang disandarkan pada pohon.
“Gue kesel deh!”
“Kenapa?”
“Kak Dira,”
“Kenapa dia?”
“Tadi gue liat dia duduk berduaan sama kak Fana di kantin,” kata Kinar kecewa.
“Terus?”
“Ya gue kesel! Kak Dira bilang dia gak pernah deket sama cewek lain kecuali gue! Tapi yang gue liat, dia malah keliatan asyik banget dua-duaan sama kak Fana!”
“Emangnya kak Dira pernah ngomong gitu?”
“Ya pernahlah!”
“Tau darimana?”
“Isshh. Dia kan sering curhat ke gue!”
“Oh, ya?”
“Huft. Revan! Mulai lagi deh!” tunjuk Kinar. Jari telunjuknya diarahkan ke muka Revan yang berkeringat.
“Iya deh, iya. Hum. Emangnya kalo’ mereka duduk berduaan berarti mereka pacaran gitu? Enggak kan?”
“Ya, gak juga sih.”
“Terus, kenapa kesel?”
“Ya abis, gue... gue kan suka sama kak Dira! Loe tau sendiri kan?”
“Hum. Iya, gue tau. Udah ratusan kali loe bilang ke gue kalo’ loe suka sama dia.” Revan menjawab pasrah. “Udah gini aja. Mendingan mulai sekarang loe gak usah negatif thinking dulu. Siapa tau kak Dira sama kak Fana lagi diskusi masalah pelajaran atau tugas gitu. Loe tau kan, mereka udah kelas tiga, dan biasanya siswa kelas tiga kayak mereka lagi sibuk-sibuknya sama tugas dan persiapan ujian. Jadi intinya, positif thinking, sis. Dibawa enjoy aja semuanya, oke.” Revan mengangkat jempolnya, menunggu tanda setuju dari Kinar. Setelah berpikir beberapa detik, akhirnya Kinar tersenyum puas dan membalas ibu jari Revan yang kini bertautan dengan ibu jarinya. “Oke. Thank’s, bro.” Katanya senang.
“Smile dong?” Revan memainkan tangannya pada kedua bibir Kinar, membentuk tanda senyum. Akhirnya Kinar tersenyum. Digenggamnya tangan Revan yang masih menempel di pipinya, “Sekali lagi, makasih Revan,” katanya kemudian.
“Iya-iya... Nah, gitu dong. Kalo’ loe senyum kan keliatannya lebih cantik gitu.” puji Revan.
“Hah? Gue cantik?” Kinar terlonjak.
“Ah... eh... eh... gak gitu. Maksudnya, loe...loe...” Revan tergagap.
“Udah, gak usah banyak a-i-u-e-o... loe juga ngaku kan kalo’ gue cantik? Iya kan? Ngaku deh loe?” goda Kinar.
“Mmm...sebenernya loe emang cantik, tapi... sedikit.”
“Huh? Masa sih?”
“Iya. Hehe. Malah, bisa dibilang loe itu hampir mendekati jelek. Eh, bukan, salah! Maksud gue, buruk. Hehe.”
“Heh! Kurang ajar loe! Buruk loe bilang?! Revaaaannnn!!!!” Kinar langsung berdiri dan beralri mengejar Revan mengelilingi lapangan basket, sampai akhirnya, “Dubbbrraaakkk!!!!” Revan menabrak tiang ring basket yang membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Tangannya terkulai lemah di samping tubuhnya. Sementara hidungnya lecet dan mengeluarkan darah akibat benturan yang cukup keras itu.


“Revan, udah sadar kan loe?” seru Kinar sambil mengguncang-guncang tubuh Revan yang kini terbaring lemah di UKS.
“Aduh, aduh... iya, gue udah sadar. Tapi, tubuh gue jangan diginiin dong, sakit tau.”
“Hehe, sorry-sorry,” Kinar tersenyum. “Habisnya gue takut banget kalo’ loe sampe gak sadar,”
“Emangnya kenapa kalo’ gue gak sadar?”
“Entar, siapa dong yang nemenin gue. Gue kan gak punya siapa-siapa selain loe disini,” kata Kinar sedih.
“Unyu,unyu,unyu...aduh, yang sedih takut mas Revan-nya pergi,” goda Revan, berharap Kinar tidak sedih lagi. Tapi kenyataannya berbeda, air mata Kinar kini malah membasahi pipinya.
“Jayus loe, ah!” katanya dalam isak.
“Jayus? Bukan! Gue bukan jayus! Gue itu Revan! Terus, gue juga gak pernah korupsi kale!”
“Itu Gayus blo’on!” bentak Kinar sambil menoyor kepala Revan.
“Oh, kapan dia ganti nama? Setau gue namanya Jayus. Hahaha...” Revan tertawa, lebih tepatnya menertawai dirinya sendiri yang belagak bodoh di depan Kinar. Tapi sayangnya, kebodohannya tidak membuat Kinar tertawa sedikitpun.
“Hiks, Van. Gue takut loe pergi. Loe gak tau kan, gimana khawatirnya gue waktu liat hidung loe berdarah, apalagi loe sampe pingsan. Loe kan dulu pas SD juga pernah kayak gini, cuman gara-gara kejedot anak tangga dan pingsan, loe sampe diopname berminggu-minggu. Gue takut banget itu kejadian lagi. Gue bener-bener kesepian waktu itu, soalnya gak ada loe yang nemenin gue.”
“Tapi buktinya gue sekarang udah sadar tuh, dan gak kenapa-napa. Malah, gak sampe satu jam gue juga udah sadar kan?” kata Revan sambil memperbaiki posisi duduknya di ranjang yang sempit itu.
“Heh! Enak aja! Udah dua jam tau loe gak sadar. Gue aja sampe bela-belain gak ikut satu mata pelajaran cuman buat nungguin loe disini. Hmpt.”
“Wah, serius? Ckck. Koq lama banget sih gue gak sadarnya? Padahal kan cuman kejedot tiang ring basket doang,” Revan memutar otaknya, mengingat peristiwa pingsannya saat SD dulu yang tidak sadarkan diri hingga dua hari.
“Ya, itulah elo!” kata Kinar, kemudian membenamkan wajahnya pada paha Revan yang ditutupi selimut.
“Kenapa loe?” tanya Revan perhatian. Tangannya terus bermain-main di rambut Kinar yang panjang. Sesekali dia membelai lembut rambut gadis itu.
“Gak ada. Gue pengin manja-manjaan aja sekali sama loe,”
“Ih. Aneh loe. Tapi gue kan gak suka sama cewek manja!” kata Revan terus terang.
“Gue tau koq. Tapi gue kan gak manja kayak cewek-cewek centil yang suka nge-rengek-rengek kalo’ minta sesuatu. Maksud gue manja ke elo itu, gue... gue pengin lebih diperhatiin sama loe.” kata Kinar setelah mengangkat kepalanya, lalu menatap mata Revan yang begitu indah, dengan bentuk bulatnya yang sempurna. Di matanya seperti terdapat cahaya bak seorang malaikat.
“Kinar?”
“Hum? Kenapa, Van?”
“Maksud loe tadi apa?”
“Ya ampun, loe itu udah kelas dua SMA sayang, masa gitu-gitu aja gak ngerti. Udah deh, gak usah dipikirin,”
“Gitu, ya?”
“Iya. Eh, btw, Van, mata loe bagus juga, loh. Gue baru sadar. Mata loe indah banget, terlihat bercahaya gitu. Loe keliatan kayak pake lensa kontak. Tapi loe beneran gak pake, kan?”
“Ya, gaklah. Emangnya mata gue minus apa musti pake yang begituan.”
“Baguslah. Berarti ini emang murni mata loe. Asli. Gue jadi pengin liatin mata loe terus, itu bikin hati gue tenang,” Kinar tersenyum lebar sambil terus menatap mata indah itu. Revan merasa sedikit grogi diperhatikan seperti itu oleh sahabatnya sendiri. Namun, rasa senang juga kian menari-nari di hatinya karena ternyata ada sesuatu pada tubuhnya yang bisa menghibur Kinar.
“Tapi, jangan diliatin terus kayak gitu dong. Entar loe bisa baca isi hati gue lagi. Mata itu kan jendela jiwa seorang manusia.”
“Emangnya kenapa kalo’ gue sampe bisa baca? Bukannya semua isi hati loe udah gue tau, ya? Kan loe sering curhat tentang apapun ke gue.”
“Tapi ada satu di sini yang gak pernah gue ceritain ke loe, dan ini tuh rahasia banget. Gak boleh ada satupun orang yang tau, apalagi loe,”
“Gitu, ya? Ya udah deh, gue gak akan liatin loe lagi.” Kinar menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Revan terkekeh melihat tingkah Kinar yang layaknya seorang anak TK.
“Nar, entar sore jadi kan temenin gue beli aksesoris motor?”
Sekejap kemudian, Kinar membuka matanya. “Hah?”
“Entar sore jadi gak?”
“Kemana?” Kinar melongo.
“Hum. Beli aksesoris motor, sayang.”
“Duuhh... Revan, kalo’ mau ngajakin gue jalan itu mustinya kasih tau dulu dari beberapa hari yang lalu. Kalo’ entar sore sih gue udah ada janji.”
“Sama siapa? Tapi kan minggu lalu loe udah janji sama gue bakal nemenin gue sore ini,”
“Oh, ya? Astaga! Gue lupa! Yah, gimana dong? Gue udah terlanjur bilang ‘ya’ ke kak Dira buat temenin dia jemput orang tuanya di bandara,” Kinar terlihat kecewa.
“Huh. Ya udah, gak apa-apa koq. Entar gue ajak Nathan aja. Loe pergi aja sama Dira, bukannya ini kesempatan yang baik kan, biar loe bisa lebih deket sama dia?” Revan tersenyum tulus penuh pengertian.
“Aduuhh... Revan. Loe jadi cowok koq baik banget sih... thank’s banget ya. Loe emang selalu ngerti apa yang gue mau. Dan, maaf.” Kinar menunduk.
“Gak apa-apa koq. Ini bukan salah loe. Lagian wajar koq loe kayak gitu, soalnya ini pertama kalinya kak Dira ngajakin loe pergi, dan waktu itu loe pasti seneng banget sampe-sampe lupa sama semuanya,”
“Hehe, bener. Gue emang seneng banget. Sekali lagi thank’s ya,” senyum Kinar makin melebar. Lesung pipinya tersungging semakin dalam. Kemudian dia langsung menghambur ke pelukan Revan, mencoba membagi rasa senang dalam hatinya melalui sentuhan itu, dan juga melalui ini, “Umch!” sebuah kecupan hangat di kening Revan.
“Itu balasan buat yang tadi, hahaha...” mereka berdua tertawa. Entah apa yang lucu dari adegan singkat itu. Namun, dalam hangatnya tawa Revan, di balik lubuk hatinya yang paling dalam dia menyimpan kekecewaan yang mendalam. Bukan hanya itu, ada sesuatu yang lebih sakit yang menyeruak ingin keluar dari dalam hatinya. Ya, rasa sakit karena berusaha merelakan orang yang disayanginya bersama orang lain.
Revan hanya ingin melihat Kinar tersenyum, itu saja. Dia tidak peduli dengan perasaan yang sangat menyiksanya itu. Karena senyum Kinar adalah penyemangat baginya. Tanpa itu, Revan tak akan mungkin mampu berdiri seperti sekarang.

Tangismu, neraka untukku
Namun senyummu, surga bagiku


Untuk kesekian kalinya Revan berdecak keras. Sudah dua jam dia menunggu di depan gerbang sekolah. Menunggu sang malaikat kecil yang selalu menemaninya dalam perjalanan pulang. Tapi, mengapa malaikat itu tak kunjung menampakkan dirinya?
“Huh! Kinar kemana sih? Koq belum keluar dari tadi! Gak tau apa tuh anak, gue udah lumutan nungguin dia disini! Aishhh... sabar... sabar...” Revan menekan-nekan dadanya yang semakin gelisah, dengan tatapan yang terus tertuju pada gerbang masuk.
Akhirnya...
“Revan!” seru Kinar saat melihat Revan sedang menunggunya sambil menunggangi Suzuki Thunder-nya.
“Koq lama? Capek tau nunggu!” Revan turun dari motornya dan menghampiri Kinar.
“Sorry, sorry. Tadi abis nungguin kak Dira selesai latihan badminton sih, hehe. Maklum, taktik pedekate,” Kinar nyengir. Namun senyuman manis itu tak digubris Revan, wajahnya malah terlihat semakin lusuh. Dira lagi! Batinnya.
“Hhhh...” desahnya pelan. “Ya udah, balik yuk! Laper nih!”
“Gak ah. Duluan aja sana. Mau nungguin kak Dira dulu, tadi udah janjian mau pulang bareng,” Kinar menampakkan senyum termanisnya lagi, dan ini membuat emosi Revan semakin berada di puncak.
“Pulang bareng kak Dira?! Kenapa gak bilang dari tadi?! Gue udah–“ kata-kata Revan terhenti saat sebuah Honda New Civic milik Dira keluar melintasi gerbang. “Ah, udahlah. Loe bareng dia aja. Gue pulang sendiri...” katanya kecewa. Emosinya berusaha diredam agar tak menimbulkan masalah berkepanjangan antara dia dan Kinar.
“Oke-oke. Eh, tapi entar malem jangan lupa ya, kita kerjain tugas kimia itu barengan. Entar gue ke rumah loe deh,” kata Kinar penuh semangat. Badannya yang ramping telah terpatri indah di samping Dira yang siap tancap gas.
“Iya.” Jawab Revan sekenanya. Wajahnya ditundukkan, tak sanggup melihat pemandangan yang dapat merobek-robek hatinya itu.
“Ya udah, gue balik duluan ya... daagghh Revan!” kata Kinar sambil melambaikan tangannya. Dira tancap gas dan mobil melaju cepat meninggalkan Revan yang hatinya tak dapat terbendung lagi sakitnya. Revan melambaikan tangan, namun tatapannya kosong menatap pasir hitam yang diinjaknya. Tiba-tiba sebutir air mata terjun bebas membasahi pipinya. Revan menangis. Baru kali ini dia merasakan betapa sakitnya cinta yang tak terbalas.
Revan terduduk lemah di pasir. Telunjuknya bermain-main di antara keiriki-keirikil kecil sambil mengukir sebuah nama. Nama sang malaikat kecil yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang dicintainya...

Kinar


Revan menunggu dengan cemas di ujung anak tangga terasnya. Hingga jam sembilan malam Kinar belum juga muncul membawa tas dan buku-buku pelajaran yang akan mereka pelajari bersama. Ada niatan dalam dirinya untuk menghubungi Kinar, namun sayang ponselnya tidak aktif karena kehabisan baterai. Segera dia berlari masuk ke dalam rumah dan men-charge ponselnya, berharap kalau-kalau Kinar akan menghubunginya.
Seperempat jam berlalu, Kinar belum juga memberikan kabar kepastian kedatangannya. Revan semakin cemas menatap ponselnya yang tak kunjung berdering. Akhirnya, diraihnya ponsel itu dan segera menghubungi Kinar. Tak lama kemudian, Revan mengumpat keras,
“Ah! Anjrit! Telepon gue diriject! Sebenernya mau loe apa sih Kinar? Tadi janji mau dateng, tapi sampe selarut ini, loe belum juga muncul!!! Aissshh!!!” Revan melempar kasar ponselnya ke meja belajar, lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
Menatap langit-langit kamarnya yang bercorak hitam putih layaknya zebra adalah hobi Revan. Hal itu biasa dilakukannya sambil menghayalkan sesuatu yang baginya tidak akan mungkin pernah terjadi. Tapi untuk malam ini berbeda, Revan tiba-tiba saja menghayal tentang sesuatu yang mungkin saja terjadi di luar sana, tentang Kinar dan Dira...
“Kinar, loe dimana sih? Apa loe lagi sama Dira? Kenapa loe gak hubungin gue? Kenapa setiap sama Dira loe selalu lupa sama gue? Apa gue gak berarti apa-apa di mata loe?” Revan bergumam dalam kegelisahannya malam itu.
Lalu beberapa menit kemudian, Revan sudah berjalan-jalan di dunia khayalnya, diiringi oleh lantunan lagu Where Are You Now milik Justin Bieber dari tape combonya.

Where are you now?
When I need you the most...


“Malam oom, tante!” sapa Kinar saat menyambut kedatangan mama papa Dira yang baru kembali dari Sydney, Australia. Saat itu Dira memintanya untuk menemaninya menjemput mama papa Dira di Bandara, dan tentunya dengan perasaan bahagia yang meluap-luap Kinar bersedia.
Oom Dana dan tante Lisa membalas sambutannya dengan senyum terhangat yang mereka miliki. Tante Lisa berjalan beriringan bersama Kinar sambil merangkul pundak gadis yang beberapa hari lagi akan genap berumur tujuh belas tahun itu. Sementara di belakang, Dira dan papanya mengekor.
“Ma, pa, itu namanya Kinar. Dia adik kelas aku di sekolah. Anaknya baik banget loh ma, pa. Terus periang banget, mirip sama sifatnya  Amel.” Dira memperkenalkan.
“Oh, namanya Kinar. Manis sekali.” Puji tante Lisa sambil membelai lembut rambut Kinar.
“Coba deh perhatiin ma, dia mirip loh sama Amel,” kata Dira.
“Oh, ya, coba tante liat, senyum dong sayang!” kata tante Lisa ramah, dan Kinar mempersembahkan senyum termanisnya sambil menundukkan kepala memberi hormat pada kedua orang tua Dira itu.
“Aduuhh... manis sekali. Bener pa, dia mirip Amel. Hum. Tante jadi inget Amel, deh.”
“Iya ma, papa jadi inget Amel, senyumnya mirip banget,” oom Dana nimbrung.
“Tuh kan, apa Dira bilang,” kata Dira sambil menyenggol bahu Kinar, “Apaan sih?!” kata Kinar malu.
“Makasih tante, oom... Kinar jadi bangga bisa disamain sama almarhumah anak tante dan oom, dan juga adik kak Dira,” kata Kinar simpati.
“Sama-sama sayang. Oh, ya, gimana kalo’ malam ini kamu makan malam di rumah tante aja? Kebetulan tadi tante udah pesen mbok Inah suruh siepin makan malam. Ya sayang, ya!” pinta tante Lisa dengan puppy eyes-nya yang membuat Kinar tak kuasa menolak ajakan istimewa itu.
Makan malam bareng keluarga kak Dira, wah... seru banget! Batin Kinar. Tapi tiba-tiba saja, dia teringat akan janjinya pada Revan. Dia segera melirik jam tangannya. Setengah sepuluh, Revan masih nungguin gue gak ya? Gumam Kinar dalam hati.
“Tapi, oom tante... aku, aku–“ Kinar berusaha menjelaskan, namun sayang, Dira langsung memotong ucapannya.
“Udah, gak usah tapi-tapian... kamu harus mau! Oke adik kecil!” Dira merangkul Kinar menuju mobil, di belakang mereka papa mama Dira berjalan bergandengan sambil menarik koper mereka masing-masing.
Kinar benar-benar tak bisa berucap. Dia benar-benar bahagia. Baru kali ini Dira merangkulnya begitu hangat.
Karena tak mau menghilangkan kesempatan baiknya untuk berhubungan lebih dekat dengan Dira, akhirnya Kinar menurut. Kemudian, dia langsung mencari keberadaan ponsel di dalam tas tangannya dan mengirim sebuah pesan singkat pada Revan.

Evant,
Gw gak jdi k’rmah loe, gw ad acara lain.
Tau gak ? bonyokx Dira ngajakin gw dinner. Sneng bgt :D
So, maaf y. :)

Revan yang baru saja hendak memasuki dunia mimpi, dikagetkan dengan nada pesan ponselnya. Dengan wajah yang masih muram, Revan berjalan menuju meja belajarnya, mengambil ponselnya yang masih tergantung di kabel, dan membuka pesan barunya.
Dira, Dira, Dira...
“Hhh... ternyata dia emang udah bikin loe bener-bener lupa sama gue, Nar!” gumam Revan setelah membaca pesan dari Kinar.
Revan terduduk di lantai. Di tangannya masih tergenggam ponsel Blackberry Torch miliknya. Lalu dengan mencoba menahan rasa sakit, Revan membalasnya, namun bukan kata-kata yang dia tulis. Bukan kata-kata kasar yang mengungkapkan kemarahan dan rasa sakitnya, namun sebuah senyuman tulus dari seorang pria yang turut tersenyum merasakan kebahagiaan orang yang dicintainya.

:)


Keesokan paginya di SMAN 8 Jakarta...

“Pagi semua!” sapa Kinar saat memasuki kelasnya di XI-IPA. 5. Kemudian dia berjalan menuju bangkunya di pojok kiri belakang, lalu meletakkan tas ransel pink-nya ke dalam kolom meja.
Sejenak, Kinar menatap bangku Revan yang masih kosong tak berpenghuni. Sesaat kemudian dia melirik jam tangannya, “Jam tujuh lebih tiga menit.  Hum. Koq Revan belum dateng sih? Ini kan udah waktunya mulai pelajaran. Gak biasanya tuh anak datengnya telat,” gumam Kinar seraya memperbaiki posisi duduknya di dekat tembok.
“Kinar!” sapa seseorang tiba-tiba, menyadarkan Kinar yang masih memikirkan kemana perginya Revan.
“Oh, hai Lin. Ada apa?” tanya Kinar saat Alin menghampirinya dan menyodorkan sebuah buku tulis bersampul coklat padanya. “Ini apa?” tanya Kinar lagi.
“Itu buku dari Revan. Katanya disuruh kasih ke loe.”
“Buku apaan nih?”
“Gak tau. Revan gak bilang apa-apa tuh,” Alin mengangkat bahunya.
“Terus Revan-nya kemana?”
“Gak tau juga. Tadi pagi-pagi banget dia kesini, kebetulan tadi tuh gue ada jadwal piket kebersihan di kelas. Terus dia titipin ini buat loe. Habis itu, dia pergi lagi, gak tau kemana. Kayaknya gak masuk deh, tapi koq mukanya pucat gitu,” jelas Alin sambil membuka-buka lembaran demi lembaran novel yang dia bawa.
“Oh, gitu ya. Ya udah, thank’s ya!” Kinar tersenyum sebagai tanda terima kasih. Namun di dalam hatinya masih tersimpan sejuta tanda tanya. Revan kemana?
“Ok.”
Sepeninggal Alin, Kinar masih terdiam dalam bingungnya. Pikirannya masih digelayuti tentang ketidak hadiran Revan.
Lalu, buku apa ini?
Kinar membukanya perlahan. Lembar pertama bertuliskan nama sang pemilik, kelas, nomor absen dan mata pelajarannya.
“Latihan Kimia,” Kinar membaca. Suaranya tiba-tiba tercekat. “Jadi, ini buku tugas Kimia yang kemaren gak gue kerjain itu?” Kinar membolak-balik buku itu hingga sampai pada lembaran penting yang dititipkan Revan. Sebuah tugas Kimia yang sudah selesai dikerjakan. Lalu di halaman tengah buku itu, terselip sebuah memo kecil bertuliskan, “Salin ini ke buku loe. Jangan sampe gak! Ngerti!”
Tulisan tangan Revan yang menghiasi memo itu membuat Kinar terharu. Ternyata, Revan benar-benar perhatian padanya. Dia benar-benar mengerti apa yang dibutuhkan Kinar. Revan memang sahabat yang baik.
 Segera dia membongkar tas-nya dan mengambil buku latihan kimia miliknya , lalu menyalin hasil kerja Revan. Sebuah senyuman manis tersungging di wajahnya.
Terima kasih, Revan. Terima kasih..., gumamnya dalam hati.


Revan menuntun motornya melesat melewati hiruk pikuk ibukota, menuju ke sebuah taman surga dunia di sudut kota. Sebuah taman nan indah, dihiasi berbagai macam pepohonan rindang yang menjadi tirai sebuah danau kecil di tengahnya.
Miracle Lake. Danau keajaiban. Sebuah danau yang tak begitu luas yang berada tepat di bagian barat, sehingga saat matahari terbenam akan tampak sunset  indah dengan warna kemerahannya yang merona menambah cantiknya ciptaan Tuhan tersebut. Di pinggir danau ada sebuah perahu yang cukup tua dengan warna kayu yang sudah lapuk yang  biasa digunakan dua anak manusia itu untuk mengitari danau penuh keajaiban itu. Ya, keajaiban yang benar-benar membuat Kinar dan Revan tak pernah bosan mengunjunginya. Setiap kali mereka kesini, hati mereka selalu merasa lebih tenang. Biasanya mereka ke tempat ini saat sedang ada masalah atau saat hati mereka sedang berbunga-bunga. Entah apa yang membuat mereka begitu nyaman membagi kisah mereka dengan danau ini. Mereka selalu bercerita, menangis dan kadang berteriak-teriak di tengah danau, meluapkan perasaan mereka yang berbeda setiap saat, layaknya di depan mereka ada Tuhan yang selalu siap mendengarkan curhatan mereka.

Revan tiba di depan sebuah pohon yang membelakangi Miracle Lake. Ini kali ketiga Revan kesini tanpa didampingi sosok Kinar.
Saat ini hati Revan sedang gundah. Entah apa yang membuatnya begitu sakit hati melihat kedekatan sahabatnya dengan Dira. Apa Revan benar-benar telah melupakan rasa sayangnya sebagai seorang sahabat kepada Kinar? Dan kini berganti menjadi rasa sayang seorang pria ke gadis yang dicintainya?
Revan terpaksa bolos dari sekolah karena tidak sanggup menatap senyuman Kinar yang membuat hatinya semakin perih. Jadi dia memutuskan untuk menenangkan diri disini, meluapkan perasaannya, berharap Tuhan akan mendengarkan isi hatinya dan memberinya kekuatan.
Revan menyibak ranting pohon yang menghalangi pandangannya. Dituntunnya motor bercorak hitam itu lebih dekat dengan danau, lalu dia duduk di rerumputan yang tepat menghadap ke danau. Ditatapnya langit yang masih bersemburat biru kekuningan, karena jam memang baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Revan tersenyum, merasakan hatinya sedikit terobati melihat pemandangan di hadapannya yang begitu menakjubkan.
Dia kemudian berjalan di pinggir danau, menaiki perahu dan mendayungnya hingga ke tengah. Revan tiba-tiba ingat saat dia dan Kinar pertama kali menaiki perahu ini. Saat itu mereka masih duduk di kelas empat SD. Revan tersenyum tipis membayangkan betapa polosnya mereka saat itu, belum pernah mengenal yang namanya cinta, yang kini membuat persahabatan mereka sedikit renggang.
“Tuhan... apa aku benar-benar mencintainya? Apa aku benar-benar tak rela melihatnya bersanding dengan pria itu?” gumam Revan kemudian. “Tuhan, jika itu semua benar, aku mohon, buanglah semua itu dari dalam hatiku! Biarkanlah hanya rasa sayangku sebagai penjaga hatinya yang tetap  berada di dalam sini! Aku tak mau menyakitinya... aku tak tega melihatnya menangis... dan aku tak sanggup menahan rasa sakit ini... karena, karena aku tahu Tuhan! Aku tahu kami tak akan mungkin bersama...” lanjutnya dalam isak. Tangisnya pecah saat menyadari hatinya bergetar ketika mengingat wajah Kinar.
“Tuhan... aku tak pantas mencintainya... dia terlalu indah untuk mendapatkan cinta dari makhluk sehina diriku, yang telah menghianati perasaanku sebagai sahabatnya. Kuatkanlah hatiku Tuhan untuk merelakannya bersama orang yang dicintainya. Bahagiakan dia selalu Tuhan, jangan pernah biarkan setetes air mata pun mengalir di pipinya. Karena bahagianya adalah bahagiaku, dan dukanya adalah dukaku...”


Suatu siang yang mendung mewarnai suasana latihan Revan di sekolahnya. Sesekali dia terlihat bersorak kegirangan karena berhasil memasukkan bola ke ring. Gadis-gadis yang menonton di pinggir lapangan tak kuasa menahan rona merah di pipi mereka melihat sang idola begitu lihai memainkan bola tangan itu.
Lima menit kemudian tiba-tiba bola terhempas dari tangannya. Revan tidak fokus pada permainannya. Pandangannya langsung tertuju pada seorang gadis manis yang tengah asyik membaca novel di depan kelasnya. Revan tersenyum senang, namun dalam hatinya masih ada perasaan ragu, apakah dia sanggup menatap wajah Kinar? Hum. Tapi hati kecilnya berkata dia pasti sanggup. Akhirnya Revan untuk menemui gadis itu.
Revan berjalan melewati lapangan basket. Terdengar suara gadis-gadis nan centil berhuru-hara memuja-muja pria itu, namun Revan tak peduli. Baginya mereka hanyalah kumpulan makhluk hawa yang tak begitu berarti untuk Revan. Toh, walaupun mereka tidak ada disini, Revan tak akan mendapatkan efek apapun. Yang terpenting dari semua gadis disini hanya Kinar.
Revan hampir menyapa gadis berambut hitam itu, sampai akhirnya langkahnya terhenti saat melihat Dira sudah duduk bersimpuh di bawah Kinar sambil meneguk air minum yang disodorkan Kinar. Sedetik kemudian Kinar menyeka lembut keringat yang menggenangi wajah kakak kelas yang telah memenuhi rongga hatinya itu –atau mungkin tak seluruhnya. Tawanya lepas saat Dira tak sengaja tersedak air. Dengan pelan dia menepuk-nepuk bahu Dira yang baru saja selesai berlatih badminton. Sampai akhirnya tatapannya berhenti pada satu titik. Seorang pria di tengah lapangan sana sedang menatapnya tajam. Memperhatikan semua gerak-geriknya dengan Dira.
Rasa rindunya pada pria itu tiba-tiba berkeliaran di dalam hatinya. Kinar tersenyum. Hatinya berloncat-loncatan menggambarkan rasa senangnya bertemu dengan Revan, setelah hampir dua hari ini dia tidak melihat setitik pun cahaya dari pria itu. Segera dia bangkit dari duduknya dan berlari mengejar Revan yang masih terpaku.
“Revan!!!” serunya keras. Revan masih terdiam pada posisinya, sampai dia sadar bahwa Kinar kini telah ada di hadapannya. “Heh! Kemana aja loe?”
Revan hanya terdiam. Tidak ada respon sama sekali dari bibir merahnya.
“Helloo... loe budek ya, say? Revan! Woit! Koq loe jadi aneh gini sih?” Kinar berkacak pinggang.
 Namun Revan masih saja terdiam dalam tatapan kosongnya. Sampai akhirnya dia berlari, menjauh dari Kinar. Meninggalkan gadis itu dengan mulut ternganga, bingung melihat tingkah sahabatnya yang beberapa hari ini sangat aneh.


“Van, pulang bareng, ya!” kata Kinar saat pelajaran sudah selesai, sambil membereskan bukunya yang masih tergeletak tak beraturan di meja.
Revan mengernyitkan keningnya. Awalnya rasa senang membuncah dalam dadanya, tapi saat melihat Dira sedang berdiri di depan pintu kelasnya, menanti sang adik kecil keluar, rasa itu langsung lenyap. Tergantikan rasa kesal yang mengharapkan ketidak hadiran Dira, untuk saat ini saja.
“Loe pulang bareng dia aja!” balas Revan setelah mengalihkan pandangannya pada Dira.
“Siapa?” Revan menuntun mata Kinar melihat orang di depan sana yang kini tersenyum saat Kinar menatapnya. “Kak Dira?” lanjutnya.
Revan hanya terdiam.
“Yah, tapi kan gue pengin pulang bareng loe, Van. Udah tiga hari ini kita gak pulang bareng. Gue kangen sama motor loe, dan... gue juga kangen sama loe.” Kinar memanyunkan bibirnya. Lalu kembali terduduk di bangku coklatnya.
Ada suatu perasaan aneh yang berdesir dalam hati Revan saat mendengar kata-kata terakhir Kinar. Namun ditepisnya rasa itu dalam-dalam.
“Tapi gue ada urusan lain.” Katanya lagi setelah semua bukunya tertata rapi di dalam tas. “Gue cabut duluan yah,” katanya lalu pergi meninggalkan Kinar yang masih terpaku menatap lantai. Tak mau mengiyakan atau mengatakan tidak pada kata-kata Revan, juga tak mau melihat kepergian Revan yang menurut Kinar akhir-akhir ini menjadi sangat aneh dan menyebalkan tentunya.
Dira menatap Kinar yang tak beranjak dari tempat duduknya. Dalam hatinya berkata seperti Kinar akan tetap berada di kelas itu sampai hati kecilnya yang menuntunnya untuk keluar. Lalu, dira berbalik, duduk di lantai, dan menunggu Kinar hingga gadis itu benar-benar bersedia pulang hari ini, dengannya.
Udah gue duga, persahabatan kalian gak akan sampe sini doang. Gue yakin ada perasaan lain yang gak kalian duga bersembunyi di dalam hati kalian, gumamnya dalam hati.


Malam yang indah, pikir Kinar. Di atasnya terbentang langit gelap yang begitu luas, dihiasi kerlap-kerlip bintang nan indah dan bulan sabit yang sedikit tertutup pohon-pohon rindang di sekitar rumah Kinar, hingga tak begitu nampak di matanya.
Angin malam yang dingin menyergap, memberikan sentuhan berbeda pada setiap permukaan kulit Kinar. Sedetik kemudian rintikan gerimis mulai membasahi rambutnya.
“Loh? Koq malah gerimis sih?” dengusnya kesal. Lalu diangkatnya kepalanya mengahadap langit, “Itu. Ada bintang. Koq bisa gerimis gini? Ih. Aneh.” Katanya kemudian, lalu segera mengayuh sepedanya lebih cepat, menuju ke sebuah rumah bercat putih yang dihiasi lampu temaram di halamannya.
Kinar menghentikan sepedanya setibanya di rumah itu. Dituntunnya sepeda itu dan diparkirkan di halaman yang penuh ditumbuhi bunga lily.
Tok, tok, tok... suara ketukan pintu Kinar membuyarkan lamunan seorang wanita di dalam rumah itu yang sedang menatap sebuah lukisan kuno peninggalan suaminya.
Pintu yang dihiasi ukiran-ukiran kuno jawa itu pun terbuka.
“Malam, tante.” Sapa Kinar, saat seorang wanita bertubuh kurus dan wajah yang sedikit pucat membukakan pintu untuknya.
“Kinar?! Ya ampun... tante kirain siapa, bertamu malam-malam gini. Hujan lagi. Ayo masuk!” tante Bella yang tidak lain dan tidak bukan adalah mama Revan mengajak Kinar masuk dan menyuruhnya duduk di sofa depan  TV.
“Gak dingin? Hujan-hujan gini kesini? Gak pakeq jaket lagi sayang,”
“Gak koq tante. Udah biasa Kinar mah.”
“Mau cari Revan?”
“Laiyalah tante. Emang Kinar pernah dateng kesini bukan untuk Revan? Hahahaha...”
“Ya udah, tante panggilin dulu,” tante Bella hendak beranjak dari ruang keluarga, tapi Kinar langsung mencegatnya,
“Gak usah tante. Biar Kinar yang cari sendiri. Revan-nya dimana?” Kinar bangkit dari duduknya. Kedua tangannya masih bertengger pada lengan tante Bella.
“Tuh di kamar,”
“Ya udah, Kinar kesana dulu ya tante,” Kinar berlari menaikki anak tangga yang membatasi kamar Revan dengan ruangan di lantai bawah.
Tok, tok, tok... Kinar mengetuk pintu. “Permisi...” serunya pelan.
“Siapa?” terdengar seruan dari dalam kamar Revan.
“Gue.”
“Gue siapa?”
“Kinar.”
“Kinar? Mau ngapain malem-malem kesini?” suara di dalam sana masih bertanya, belum mempersilahkan Kinar membuka pintunya.
“Gue boleh masuk dulu gak, Van?” Kinar berdeham kecil.
“Ya.”
Kinar langsung membuka pintu, menghambur ke dalam, dan menguncinya.
Kinar berjalan perlahan mendekati Revan yang sedang duduk termenung di dekat jendela sambil menatap hujan. Badannya belum mau berbalik sampai Kinar menepuk bahunya pelan, “Van,”
“Hmm.” Revan masih tetap pada posisinya, menghadap jendela yang tirainya sedikit tersingkap.
“Loe kenapa sih?” Kinar ikut duduk di samping Revan sambil memandangi wajah pria itu.
“Gak napa-napa koq,” balasnya singkat.
“Tapi koq sekarang beda?”
“Masih tetep sama koq.”
“Beda Revan! Loe beda sekarang!” Kinar berkata lantang. Sedetik kemudian dia langsung menundukkan kepalanya, menatap lantai kayu yang dicat hitam polos.
Revan berbalik, menatap Kinar, lalu mengangkat dagu gadis itu, hingga kini matanya benar-benar beradu dengan mata Kinar.
“Liat gue! Apa ada yang beda dari gue?” tanya Revan tak kalah lantangnya.
Kinar tak berani menatap mata pria itu. Dia langsung mengalihkan pandangannya dan diedarkan ke seluruh penjuru ruangan kamar itu yang cat-nya berdominasi hitam-putih.
“Gue bilang liat gue!” bentak Revan keras. Kinar sampai terkaget-kaget dibuatnya. “Apa ada yang beda dari gue?!” tanyanya lagi. Kinar menggeleng. Tak berani berkata-kata melihat ekspresi Revan yang begitu menyeramkan malam ini. Revan melepaskan tangannya dari dagu Kinar. Lalu membenamkan wajahnya di sela-sela pahanya yang dilipat.
“Van, koq loe jadi aneh gini sih? Koq loe jadi sentimental banget? Gue takut.” Kinar terisak. Air matanya tiba-tiba saja mengalir setelah Revan membentaknya tadi.
“Maaf.” Ucap Revan pelan. Kinar langsung memeluknya. Melebarkan sepenuhnya tangannya agar dapat merangkul seluruh tubuh Revan.
“Loe gak perlu minta maaf, loe gak ada salah apapun koq,” Kinar berkata tenang.
“Tapi, apa menyayangi seorang sahabat melebihi hak-nya itu bukan kesalahan?”
Kinar melepaskan pelukannya, lalu menatap Revan. “Bukan. Itu bukan kesalahan. Wajar-wajar aja koq. Gue juga sayang banget sama loe, sayang.... banget.” Kinar tersenyum lebar.
“Tapi ini beda, Nar! Beda! Gue bukan sayang sama loe sebagai sahabat gue, tapi, tapi gue cinta sama loe, Nar! Gue cinta sama loe!” Revan berteriak keras, lalu bangkit dari duduknya. Kemudian dia berjalan menuju ranjang putihnya dan menyandarkan kepalanya  pada sisi depan ranjang. Tak lama kemudian air matanya mengucur deras. Membawa aliran demi aliran luka yang sudah bertahun-tahun tertanam di hatinya.
“Loe-cinta-sama-gue?” ucap Kinar, kata-katanya seperti tersumbat di kerongkongan. “Hhh...” desahnya kemudian.
“Gak. Gak mungkin. Loe bohong. Itu bener-bener mustahil!!!” Kinar berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Kembali ditatapnya hujan di luar sana yang semakin deras. Suara dentuman gemuruh angin membuat malam itu semakin kelam.
“Gak ada yang mustahil di dunia ini,” kata pria di sudut sana kemudian. “Apa loe tau, setiap malam gue selalu nangis. Gue nyesel kenapa gue bisa punya perasaan sejauh ini ke loe. Apa loe tau, hati gue terasa terbakar setiap kali gue liat loe deket sama Dira. Apa loe tau, gue serasa dilecehkan saat loe dengan santainya menolak ajakan gue, waktu gue minta loe pulang bareng sama gue. Dan loe malah pulang sama cowok itu.”
Revan bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Kinar, dan mencengkeram keras bahu gadis itu. Mata mereka langsung beradu tatap. Sedetik kemudian air mata mengalir di pipi keduanya. “Apa loe tau! Udah berjam-jam gue nungguin loe waktu itu!!! Apa loe tau! Rasa takut gue yang begitu cemas nungguin loe yang gak dateng malam itu! Dan ternyata loe malah pergi sama cowok sialan itu! Hati gue sakit, Nar! Sakit! Setiap hari topik loe gak pernah jauh dari Dira! Selalu Dira yang ada di pikiran loe! Apa sekalipun gue gak pernah melintas dalam pikiran loe, hah!!! Apa gue bener-bener gak berarti buat loe! Jawab, Nar! Jawab!!!” kata Revan menyala-nyala. Wajahnya merah padam karena amarah yang tak terbendung itu kini telah dia tumpahkan.
“Revaan... gue... gue...” Kinar terisak dalam tunduk. Tangisnya makin lama makin terdengar mengharukan. Dia tak berani manatap Revan walau hanya sedetik pun. “Maafin gue, gue gak tau. Gue gak tau kalo’ selama ini ternyata–“ bibirnya tiba-tiba terkunci. Terkunci oleh sentuhan benda lembab yang kini masih menempel kuat nan lembut di bibirnya. Bibir Revan.
Dua menit kemudian, Kinar melepaskan ciuman hangat dari sahabatnya itu, saat dia sadar akan apa yang sudah dilakukan Revan.
“Revan!!! Apa yang loe–ah!!!“ Kinar berlari, membuka pintu kamar itu dan keluar meninggalkan Revan yang masih tak habis pikir akan sikapnya tadi.
Revan terduduk. Terduduk dalam perasaan bersalah yang semakin membuatnya tak sanggup bertahan. Air matanya kembali berguyuran, seiring dengan rintikan hujan di luar sana yang tak henti. Revan menangis sejadi-jadinya, menghukum dirinya dengan kata-kata tajam yang tertutur dari bibirnya.
Tante Bella yang melihat Kinar keluar dengan wajah memerah dan mata sembab, langsung berlari menuju kamar Revan dan menemukan anak semata wayangnya itu sedang duduk tertunduk di lantai, dengan suara tangisan yang membuat hati ibunya teriris.
Dihampirinya pria itu dan merangkulnya.
“Revan jahat bunda!!! Revan jahat!!!” Bella tak berkata apapun. Dibiarkannya Revan menumpahkan kesakitannya tanpa ditanyai. Namun tangannya tak henti-henti membelai rambut putra kesayangannya itu.
“Revan jahat...!!! Revan udah bikin Kinar nangis!!! Revan udah melakukan hal yang gak seharusnya Revan lakukan bunda, Revan jahat!!!” Revan terus menyalahi dirinya. Tangisannya tak juga redam.
“Sabar sayang, gak usah menghakimi diri kamu sendiri kayak gitu! Bukan kamu yang salah! Tapi hati kamu. Hati kamu yang udah bikin kamu melakukan hal itu, hati kamu yang merubah kamu menjadi seperti ini,” kata Bella kemudian. Dipeluknya erat-erat Revan, lalu dikecup keningnya.
“Bunda... gimana kalo’ nanti Kinar gak mau ketemu Revan lagi. Revan takut...”
“Gak ada yang perlu ditakutin sayang. Bunda yakin, kelak Kinar akan mengerti akan sikap kamu tadi. Yang sabar ya, sayang...”
“Makasih bunda,” Revan membenamkan wajahnya semakin dalam ke dalam pelukan wanita yang paling disayanginya itu. Rasa bersalahnya perlahan-lahan memudar. Tergantikan oleh kehangatan hati seorang ibu yang selalu mengerti dia.


Dddrrtt... ddrrttt... dddrrrttt...
Suara getaran ponsel membangunkan Kinar dari tidur nyenyaknya. Perlahan dia membuka matanya, menarik selimutnya, dan meraih ponsel yang dia letakkan di bawah bantal. Kinar menggeliat kecil. Kepalanya yang tak gatal digaruk-garuk, lalu dia menguap keras.
“Hhooaahhmm!!! Siapa sih ini? Ganggu tidur orang aja!” Kinar membuka sebuah pesan. Dari Revan. Saksama, dia membacanya,
Selamat ulang tahun ku ucapkan
Biarpun tak semahal berlian
Meskipun tak sewangi bunga mawar
Dan tak seindah rangkaian puisi
Hanya kalimat sederhana yang merangkum semuanya
Dengan doa di setiap kata yang terucap
Kinar tertegun sejenak. Tenggorokannya tercekat. Revan. Atas semua perbuatan yang telah dia lakukan, dia masih berdoa untukku, untuk hari ulang tahunku, batinnya.
Kinar mengernyit. Otaknya tak mampu berpikir. Ditengoknya jam dinding di atas mejanya, pukul dua belas lebih lebih tiga menit.
Kinar kembali membaca pesan itu sekali lagi. Pesan yang begitu sederhana, namun memiliki arti indah dalam setiap barisnya. Tiba-tiba Kinar menangis. Air matanya tak tertahan, jatuh tepat di atas sebuah nama, Revan.
Kinar mendekap ponselnya erat. Dalam heningnya malam dia bergumam,
“Makasih, Van. Makasih. Loe sahabat terbaik yang gue punya. Tapi, gue masih gak habis pikir sama sikap loe tadi malem, kenapa loe harus ngelakuin itu ke gue! Dan kenapa juga loe harus suka sama gue! Cinta sama gue! Gue emang seneng, pada dasarnya gue ternyata berarti banget buat loe, tapi, tapi gue gak mau kalo’ sampe cinta loe itu bikin hubungan kita jauh... gue gak mau pisah sama loe, gue gak mau kehilangan loe! Gue sayang sama loe, Van! Gue sayang sama loe!” Kinar terisak. Air matanya mengalir deras. Mengucur tanpa henti, seiring dengan hilangnya satu persatu rasa sakitnya atas perbuatan Revan.
Terima kasih, gumamnya lagi.


Kinar berjalan tertunduk, menyusuri lapangan basket, menaikki tangga, dan berhenti tepat di depan sebuah kelas yang di daun pintunya telah berdiri seorang pria yang membuatnya menangis tadi malam.
Mata sembabnya yang merah melotot, memperhatikan pria yang membuat tidurnya malam tadi benar-benar tidak nyenyak, setelah pria itu mengirimkannya pesan singkat. Ditambah lagi ketidak pedulian orang tuanya akan hari ulang tahunnya tadi pagi. Mereka bersikap acuh, terburu-buru dan tanpa menengoknya sedikit pun. Memanggil namanya pun tidak.
Kinar menundukkan wajahnya lagi, malu memperlihatkan wajah nanarnya dengan mata sembabnya. Siapapun akan tahu dia sudah menangis, begitu juga Revan. Dan dalam nyatanya pun, Revan sangat benci melihat air mata Kinar mengalir. Dia tak pernah tega melihat wanita manapun termasuk Kinar menangis.
“Maaf,” ucap Revan saat Kinar melewatinya. Dicengkeramnya lengan Kinar, kuat. Kinar meringis menahan sakit.
“Lepasin!” katanya singkat.
“Maafin gue,” kata Revan lagi.
“Revan, please!” Kinar meronta pelan. Revan melepaskan cengekeramannya, lalu ditatapnya Kinar.
“Loe, nangis? Kenapa? Apa karena gue?”
“Ini bukan karena loe, dan bukan juga karena kejadian tadi malam.” Jawab Kinar sambil berjalan ke bangkunya, duduk, lalu menopang dagunya dengan sebelah tangannya.
“Terus?”
“Loe gak perlu tau.” Kata Kinar kemudian. Wajahnya yang lusuh kemudian dibenamkan dalam lipatan tangannya di meja. “Bisa gak loe tinggalin gue sendiri?” lanjutnya, setelah mengangkat kepalanya.
“Tapi, gue belum dapet jawaban maaf dari loe,” Revan berkata sendu.
“Van...”
“Hum. Oke. Gue pergi.” Revan bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar menuju peradabannya yang semula.
Kinar memperbaiki posisi duduknya, lalu menarik tas ranselnya, dan hendak memasukkannya ke dalam kolom, hingga tak sengaja sesuatu dalam kolom itu tersenggol dan terjatuh.  Kinar memungutnya. Seikat bunga lily putih, terikat indah dengan akar pohon tanaman beluntas yang sangat menawan, bagaikan mahkota para dewa-dewa.
Kinar menciumnya, “Wanginya segar!” katanya kemudian. Tersungging sebuah senyuman kecil nan manis di wajahnya.
 Diletakkannya bunga itu di meja, lalu kembali memasukkan tas-nya.
Setelah itu, diambilnya lagi bunga itu. Kinar tertegun saat tak sengaja dia menemukan sebuah kertas kecil terselip di antara makhluk wangi itu. Kinar mengambilnya, lalu membacanya,
“MAAF!” hanya itu kata yag dia temukan disana. “Bunga lily, hum... bunga kesukaan gue. Tapi ini dari siapa? Koq bisa nyasar ke bangku gue, yah? Dan, maaf?!” gumamnya.
“Itu dari gue,” kata seorang pria yang tiba-tiba menampakkan wajahnya kembali setelah lama bersembunyi di balik jendela.
“Revan?!” Kinar tersentak.
“Maafin gue. Gue khilaf, Nar. Gak seharusnya gue ngelakuin hal bodoh kayak gitu!” Revan bersimpuh di hadapannya, berusaha meminta maaf, layaknya seorang anak durhaka yang memohon ampun pada ibunya.
Tak lama berselang, Kinar tertawa. Tawanya pecah saat melihat Revan begitu serius mengucapkan kata maaf itu, sampai-sampai dia mengorbankan harga dirinya di depan gadis yang dicintainya, memohon ampun.
“Hahahaha... loe lucu! Ayo, bangun dulu!” Kinar menuntunnya berdiri, duduk berhadapan dengannya, lalu memeluk Revan erat. “Gue sayang sama loe, jangan kayak gitu lagi, yah.” Kinar menitikkan air matanya, lagi.
Revan melepaskan pelukannya, menatap Kinar tajam, lalu tertunduk. “Tapi, Nar. Gue... gue gak cuman sekedar sayang sama loe. Gue cinta sama loe. Apa loe gak marah, karena gue udah menghianati perasaan gue sebagai sahabat loe?”
“Kalo’ dengan mencintai gue bisa bikin loe bahagia, gue ikhlas. Gue akan ikut tersenyum,”
“Kinar...”
“Mmm?”
“Maafin gue yah! Soal yang tadi–” kata-kata Revan terhenti saat sesuatu yang lembut nan hangat menyentuh bibirnya.
“Soal yang itu maksud loe?” Revan tertegun. Kinar hanya tertawa melihat ekspresi Revan yang tak menyangka dia akan berlaku demikian.
“Udah, gak usah diambil pusing. Gak apa-apa koq! Mungkin itu cuman ungkapan kekesalan loe doang ke gue, iya kan?” tanya Kinar, lesung pipinya tersungging nan indah di sudut senyumannya. Kinar merasa lebih nyaman, lebih tenang, dan kesedihan di hari ulang tahunnya ini terasa sirna. Ternyata yang dibutuhkannya untuk tetap tersenyum hanya Revan.
Gue yakin, tangisan gue tadi malem bukan karena Revan cium gue, tapi karena gue kangen sama dia, batinnya.

“Jadi, loe maafin gue, kan?” Revan bertanya lagi.
“Pastinya sayang!”
“Makasih Kinar... makasih!” Revan langsung menghambur dalam pelukan gadis itu, membelai rambutnya lembut dan menghirup wangi shampo yang melekat pada rambut Kinar.
“Oh iya, entar sore, ke Miracle Lake, yah. Gue punya kejutan buat loe! Oke!”
“Yap! Gue pasti dateng!”
“Oh iya, satu lagi. Jangan pernah nangis di depan gue lagi, gue gak suka liatnya!” Revan cemberut.
“Iya-iya... kayak dia-nya gak nangis aja! Gak malu apa loe, nangis di depan cewek! Cengeng!”
“Itu kan luapan perasaan, sayang!” Revan mencubit pipi Kinar.
“Aduh sakit! Jangan suka nyubit dong!” Kinar menoyor kepala Revan.
“Gimana? Suka sama bunganya, gak?”
“Iya. Suka banget. Masih seger. Pasti dipetik langsung dari taman bunga bunda loe!”
“Gitu deh! Haha...” Revan terkekeh. Tawa lepasnya yang dulu kini telah kembali merekah.
“Hahaha... dasar, KINAR LOVERS!”
“Kinar! Happy Birthday! Ini buat kamu!” kata Dira sambil menyerahkan sebuah Teddy Bear Pink bermantel pada adik angkatnya itu. Kinar menerimanya, langsung memeluk boneka itu dan memainkan bulu-bulu halusnya pada pipi.
“Makasih, kak! Baik deh! Bonekanya lucu! Nge-gemesin!”
“Berarti bonekanya kayak kamu dong!”
“Ha? Koq kayak aku?” Kinar menunjuk dirinya.
“Iya. Habis, kamu juga ngegemesin... lucu banget!” Dira mencubit kedua pipi Kinar, menjewernya selama beberapa detik, lalu melepasnya.
“Aduh, kakak! Sakit!” Kinar mengelus pipinya yang selalu menjadi bahan cubitan dua pria itu.
Saat itu mereka sedang duduk-duduk di bawah sebuah pohon rindang dekat lapangan basket. Kebetulan Kinar sedang menunggu Revan latihan basket. Jadi daripada waktunya terbuang percuma, dia iseng aja ikut bermain gitar dengan Dira.
“Adik kecil, entar sore mau gak jalan bareng kakak? Kita rayain ulang tahun kamu, beli ice cream... terus nonton, gimana? Mau, mau?”
“Serius kakak mau ngajakin Kinar jalan, beli ice cream sama nonton? Wah asyik-asyik!!!” Kinar bersorak kegirangan.
“Jadi mau gak? Entar kita beli boneka baru lagi, terus kakak mau kenalin kamu sama seseorang juga!”
“Mau banget, kak. Tapi, kenalin sama siapa, kak?” Kinar bengong. Ditangkapnya ekspresi wajah Dira yang sumringah.
“Ada deh, rahasia dong. Ya udah, entar jam empat sore, kakak tunggu di food court depan Mall, oke?” Dira mengangkat jempolnya.
“Sip brada!” Kinar hormat. Dira langsung mengacak-acak rambutnya.
Entah apa yang membuat Kinar selalu tersenyum jika bersama Dira, membuat orang di sudut sana menekan-nekan dadanya, mencari sebuah kesabaran.


“Parfum udah. Baju siap. Dandanan, cantik. Apalagi ya, yang kurang?” Kinar berkacak pinggang. Ditatapnya wajahnya sekali lagi di cermin, masih cantik. “Oh iya! Tas lupa! Aduh, koq benda sepenting itu gak gue inget ya?” Kinar langsung berlari  menuju sebuah lemari cukup besar berwarna merah muda tempat seluruh tas-nya disimpan. Diambilnya sebuah tas berwarna sepadan dengan warna kets-nya..
“Siap!” serunya kencang. “Hum, tapi perasaan masih ada yang gue lupain deh? Aduhh... apa ya?” Kinar duduk di ranjang. Kepalanya ditekan-tekan, berusaha mengingat sesuatu yang menurutnya begitu penting.
“Bodo ah! Palingan gak penting!” gumamnya lagi. Kinar pun berlari, menuruni anak tangga, dan melesat keluar rumah. Kinar menyetop sebuah taksi untuk mengantarnya ke tempat tujuan.
Dengan balutan tanktop putih polos, celana gantung berbahan jeans selutut, dan sepatu kets RipCurl berwarna hitam, Kinar siap mengitari seluruh deretan toko-toko itu bersam Dira.


Revan berdecak keras. Lama banget sih lampu merahnya, rengut Revan dalam hati. Namun dia berusaha sabar. Diliriknya jam tangannya sekali lagi, sudah menunjukkan pukul empat lebih tiga belas menit.
“Hhh.. semoga Kinar gak marah karena gue telat,” gumamnya sambil tetap menunggu lampu hijau kembali menyala.
Sementara di belakangnya, sebuah taksi terus saja membunyikan klaksonnya, meminta Revan agar segera melajukan deruman motornya. Seorang gadis di dalam taksi itu memperhatikan pria bermotor di depannya. Merasakan ada yang aneh dengan penglihatannya. Dia merasa begitu mengenal pria itu, pria dengan helm hitam dan sweater hijau marunnya. Pria itu seperti Revan, bukan seperti lagi, bahkan begitu mirip.
Sejenak berkelebat bayangan tentang Revan dalam angannya, hingga suara klakson taksi yang ditumpanginya membuyarkan pikirannya, dan mobil pun kembali melaju.


“Hum. Sekarang kita mau kemana lagi nih, kak?” tanya Kinar setelah keluar dari bisokop bersama Dira.
“Makan yuk!” Dira menawarkan.
“Boleh, boleh. Tapi dimana? Di restoran jepang kesukaan aku yuk, kak!” ajak Kinar.
“Oke. Cabut!” Dira langsung menarik tangan Kinar dan hendak membawanya ke sebuah restoran jepang terkenal di ujung Mall, sampai Kinar menghentikan langkahnya.
“Tunggu kak! Tadi kakak bilang mau ngenalin aku sama seseorang, mana kak?”
“Oh iya! Kakak lupa! Ya udah, entar kakak telepon deh orang itu, suruh dia nyusul. Kebetulan dia juga lagi jalan-jalan di sekitar sini.”
“Oh gitu ya. Ya udah, jalan yuk!” mereka pun berjalan bergandengan, menuju ke sebuah tempat pengisi perut favorit Kinar.
“Dira!” seru seorang gadis di belakang mereka tiba-tiba, membuat Kinar tersentak dan secara respek langsung melepaskan gandengannya. Fana.
“Hai, Fan. Kebetulan banget,” sapa Dira balik, dan langsung memeluk gadis itu. Kinar sampai tak bisa berkata melihat kejadian itu. “Tadi aku rencananya mau hubungin kamu, suruh kamu nyusul kesini. Eh ternyata, jodoh. Ketemu langsung,” Dira nyengir.
“Iya. Hehe. Ini siapa sayang? Adik kecil yang sering kamu ceritain itu ya?” Fana menatap Kinar tajam.
“Iya. Namanya Kinar, adik kelas kita.” Dira memperkenalkan.
“Halo Kinar, Fana.” Fana menjulurkan tangannya.
“Halo, kak. Kinar,” Kinar menjabat tangan Fana. Terlintas dalam benaknya, ada hubungan apa Dira dengan gadis ini, hingga dia memeluknya? Dan Fana memanggilnya sayang?
“Ngobrolnya entar disana aja yuk. Laper nih,” kata Dira dan langsung merangkul dua gadis itu.

“Jadi gini, Nar.” Dira memulai. Di depannya hanya tinggal dua buah piring kosong tak bersisa karena isinya telah mengalir indah dalam perut sixpack-nya. Di sampingnya duduk Fana, sementara di hadapannya Kinar masih menyeruput green tea-nya. “Kakak, udah jadian sama kak Fana.” Lanjut Dira. Kontan kata-katanya langsung membuat Kinar menyemburkan minumannya, “Apa?” serunya keras. Seluruh pengunjung yang sedang menyantap makanan mereka langsung melirik ke arahnya.
“Sorry, kak. Gak sengaja.” Kinar nyengir. Tapi dalam hatinya masih tersimpan seribu tanda tanya dan perasaan takut. Kenapa bisa?
“Iya, gak apa-apa. Wajar koq kalo’ kamu kaget. Kakak yang pacaran aja sempat gak percaya ternyata kakak bisa jadian sama cewek sehebat Fana.”
“Kakak, jadian sama kak Fana? Kapan?” Kinar bertanya dengan wajah sendu. Rasa sakit tiba-tiba menggerogoti tulang-belulangnya. Ingin rasanya dia menangis, tapi air mata itu berusaha ditahannya.
“Seminggu yang lalu. Kakak seneng deh! Ya kan sayang?” Dira melirik Fana yang masih menyantap makanannya. Wajahnya ditundukkan. Malu untuk memperlihatkan rona merah di pipinya. Dia hanya mengangguk.
“Oh, selamat ya, kak! Kinar ikut seneng!” Kinar tersenyum nanar. Hatinya semakin perih saja saat melihat Dira mengacak-acak rambut Fana lembut, seperti yang biasa dilakukannya pada Kinar.
Hampir aja gue bilang ke kak Dira kalo’ gue suka sama dia. Mau dibawa kemana muka gue entar?! Huft! Gue kirain selama ini kak Dira suka sama gue! Ternyata dugaan gue salah! Dia ternyata suka sama kak Fana! Patah hati deh! Hiks, hiks, hiks... batin Kinar dalam.
Setelah itu dia langsung meminta izin menuju toilet.
Disana Kinar menangis. Menatap wajahnya di cermin yang sangat pucat. Matanya semakin sembab.
“Ternyata, selama ini dugaan gue salah! Kenapa gue begitu bodoh!!!” air matanya semakin mengucur deras, seiring dengan tangisan langit di luar sana. Ya, hari ini memang hujan. Hujan yang sangat menyakitkan untuk Kinar. Tapi mungkin, kali ini Revan sedang menikmatinya.
Bayangan Revan kembali terlintas dalam benaknya. Betapa kejamnya dia selama ini selalu mencampakkan Revan demi Dira.
“Maaf Revan! Maaf!” isaknya. Tiba-tiba semua janji yang dia buat untuk Revan kembali terngiang. Mudah sekali dia membatalkan janji itu. Janji yang membuat Revan selalu menunggu. Membuat Revan tak malu untuk menangis di depannya. Janji yang membuat Revan begitu nyata mengungkapkan perasaannya. Dan janji yang kini membuat Revan harus terduduk lemas di bawah hujan.
“Oh My God! Revan!” Kinar teringat akan janjinya pada Revan untuk merayakan ulang tahunnya di Miracle Lake. Sekejap, dia langsung berlari, mengambil tas-nya, melesat melintasi hujan dan tanpa pamit pada dua pasangan itu, dia langsung menyetop sebuah taksi yang akan mengantarkannya ke Miracle Lake.

Di perjalanan, Kinar tak kuasa menahan air matanya. Dia terus saja menangis. Menangisi betapa kejamnya dia, membiarkan Revan yang mungkin kini sedang menunggunya di bawah hujan.
“Tunggu gue Revan. Tunggu gue. Gue mohon, tetap disana! Jangan pergi! Gue sayang sama loe!”


Langit sudah mulai gelap saat Kinar tiba di sana. Dia melirik jam tangannya sekali lagi, pukul enam lebih lima belas menit. Apakah Revan masih menungguku disana?
Kinar turun dari taksi dan meminta sang sopir untuk menunggunya sebentar. Setelah itu, dia langsung berlari, melesat melewati hujan dan sampai tepat di depan danau yang kini tampak kemerahan dengan pesona cantik sang sunset.
Diperhatikannya danau itu sesaat. Ada begitu banyak hiasan-hiasan cantik dari akar pohon berwarna hijau yang menggantung setiap tangkai bunga lily disana. Di tengahnya, terletak sebuah meja kayu panjang yang di atasnya terdapat sebuah kue tart berukuran sangat kecil dan sebuah mahkota dari bunga-bunga kecil yang dibuat Revan. Kinar tertegun. “Indah banget...” gumamnya.
Sempat dia lupa akan Revan karena begitu terpesona, sampai suara petir mengagetkannya, membuat Kinar tersentak dan kembali mencari Revan.
“Van!!! Loe masih disini? Revan... loe dimana?!” seru Kinar keras. Sudah tak dipedulikannya lagi hujan yang telah membuat seluruh tubuhnya basah kuyup. Yang dia inginkan hanyalah menemukan Revan dan meminta maaf padanya.
Hampir tiga puluh menit Kinar disana tapi tak ditemukannya juga Revan. Bintang dan bulan mulai nampak dalam gelapnya Miracle Lake malam itu. Hujan pun sudah reda.
Sempat Kinar putus asa, dia berpikir mungkin saja Revan telah meninggalkan tempat ini sejak tadi, hingga sebuah tangan mencengekeram lengannya. Revan. Revan ada disana! Terduduk lemas di bawah pohon yang ditutupi rimbunan semak belukar. Wajahnya terlihat sangat pucat. Bajunya basah kuyup terguyur air hujan dan hidungnya mengeluarkan darah. Kinar tersentak.
“Revan!!!”
Kinar berlutut di hadapan pria malang itu. Langsung didekapnya tubuh Revan yang menggigil.
“Maafin gue, Van! Gue lupa sama loe! Gue lupa sama janji kita! Maafin gue!” Kinar terisak lagi. Revan membelai rambutnya.
Dalam kondisinya yang seperti itu, Revan masih mampu berucap, “Nar. Akhirnya loe dateng juga!”
“Iya, Van. Gue dateng. Gue sekarang ada disini, di depan loe.” Kinar tersenyum dalam lelehan air matanya. “Ayo kita pergi, Van. Badan loe udah kedinginan banget. Dan, kening loe panas. Loe demam?” Kinar bertanya penuh kekhawatiran. Revan hanya tersenyum. Kinar langsung membantunya berdiri, menuntunnya menuju taksi di luar sana.
Tapi tiba-tiba, Revan ambruk. Kaki jenjangnya tak mampu menopang tubuhnya. Revan pingsan. Dia terjatuh tepat di atas pangkuan Kinar. Gadis yang dicintainya.


Sudah dua minggu Revan terbaring lemas di rumah sakit. Keadaannya dari hari ke hari semakin memburuk. Kinar tetap menunggunya dengan setia. Menemaninya dalam ketidak sadarannya. Bella sering meminta Kinar agar pulang dan berisitirahat. Tapi Kinar tidak pernah mengiyakan. Setiap hari waktunya dihabiskan disana. Bahkan hampir setiap malam Kinar menginap. Mengintai setiap perubahan kondisi Revan. Berharap sahabat yang disayanginya itu segera siuman dan tersenyum lagi untuknya. Namun sayang, sejak kejadian pingsan-nya Revan di Miracle Lake lalu, Revan belum juga siuman. Kinar sedih memang, tapi dia tetap menguatkan hatinya, meyakinkan hatinya bahwa Revan akan sembuh.
Pernah Kinar bertanya pada Bella, penyakit apa yang diderita Revan. Tapi Bella nyatanya tak pernah mau memberitahunya. Dia hanya mengatakan, “Tenanglah. Revan akan sembuh. Percaya sama tante,” dan itu membuat Kinar semakin percaya.

Suatu hari Bella meminta Kinar mengambilkan pakaian ganti untuk Revan. Dengan senang hati Kinar mengiyakan permintaan wanita yang sudah dianggapnya ibu itu.
Sesampainya di rumah Revan, Kinar mengetuk pintu. Berharap wanita di dalam sana membukakan pintu untuknya. Dan benar saja, pintu terbuka. Dari dalam keluar seoarng wanita paruh baya berusia sekitar lima puluh tahun, dengan daster merah marun dan rambut yang digulung rapi.
“Non Kinar, ya?” sapanya saat menemukan Kinar sudah berdiri di ambang pintu.
“Iya Bi,”
“Mau ambil baju buat Mas Revan?”
“Iya. Boleh saya masuk?”
“Oh, silahkan, silahkan.”bi Ijah mempersilahkannya masuk.
Kinar berjalan menyusuri setiap sudut di rumah itu, menaikki tangga dan sampai di depan kamar Revan. Dibukanya pintu kamar itu perlahan. Ssrrtt... ssrrtt... suara pintu yang tergesek itu membuat bulu kuduk Kinar merinding.
Kinar mengitari kamar yang tak terlalu besar untuk ukuran pria seperti Revan itu. Kamarnya unik. Cat-nya benar sepadan dengan kepribadian Revan yang tak jelas, hitam-putih. Di sana terdapat dua buah lemari panjang, satu berisi buku-buku pelajaran, dan satunya lagi berisi baju-baju milik sang empunya kamar. Tepat di depan ranjangnya, sebuah kaca yang cukup besar membentang, menunjukkan matahari siang yang terik.
Kinar berjalan menuju lemari pakaian Revan yang terletak di samping meja riasnya. Diambilnya beberapa potong baju, dan dimasukkan ke dalam tas tangannya.
Tiba-tiba Kinar tertarik untuk melihat buku apa saja yang ada di meja belajar Revan. Dia kemudian mengarahkan langkahnya menuju meja belajar Revan yang berwarna hitam pekat di dekat pintu kamar mandi. Matanya berputar-putar menjelajahi satu demi satu buku yang ada disana, hingga dia berhenti pada satu titik. Sebuah buku bersampul biru menarik perhatiannya. Segera dimabilnya buku yang di sampul depannya bertuliskan ‘DIARY’.
Kinar kaget. Diary? Sejak kapan Revan nulis Diary? Dia kan cowok? Buat apa nulis beginian? Gue yang cewek aja gak pernah nulis diary!!! Pikir Kinar bingung. Lalu dibukanya diary itu perlahan. Terpampang jelas potonya dengan Revan empat tahun lalu saat mereka baru bertemu, di halaman awal Diary itu. Kinar tersenyum. Tak disangkanya Revan masih menyimpan poto itu.
Lalu tangannya kembali bermain-main, membongkar setiap halaman yang ditemukannya, hingga sampai pada halaman terakhir, dimana disana tercecer bercak-bercak merah yang Kinar yakini itu adalah, DARAH.
Kinar membacanya,


Sabtu, 20 September 2010

Dear Diary...
Tau gak? Hari ini malaikatku ulang tahun. Seneng deh. Tadi aku juga udah ucapin happy birthday ke dia, tepat jam 12 malam loh. Keren kan!!! *moga aja aku orang pertama yang ngucapin*
Tapi aku masih sedih... aku udah bikin dia nangis malam ini. T^T
Tadi soalnya bibir + mulut aku nakal, maen sosor, maen ceplas-ceplos. Alhasil, dia nangis. Aku juga udah bentak dia tadi. Aku nyesel banget. Aku takut dia gak bakalan maafin apa yang aku lakuin tadi. Aku takut dia ninggalin aku. Aku gak mau pisah sama dia...
Kamu tau kan, aku sayang + cinta mati sama dia. Bahkan aku rela memberikan hari-hari terakhirku ini hanya buat dia. Hanya agar dia senyum. Aku kangen sama senyumannya. Cuman senyuman itu yang bisa bikin aku semangat dan bangun dari keterpurukan.
Makanya, hari ini juga aku pengin kasih kejutan buat dia di Miracle Lake, sebagai tanda minta maaf dari aku. Aku pengin banget liat dia senyum + ketawa untuk terakhir kalinya, sebelum aku bener-bener pergi ninggalin dunia ini. Dan hari ini juga aku pengin jelasin tentang sakit ini, tentang penyakit yang aku derita ini.
Aku pengin dia tau kalo’ kita gak akan bisa bersama selamanya. Aku pengin dia tau kalo’ dokter udah vonis, kalo’ kanker otak yang aku derita ini akan membunuhku dalam waktu tiga minggu ini.
Aku belum siap untuk mati! Aku belum siap untuk ninggalin dia! Aku belum siap liat dia nangis! Dan aku gak mau semua itu terjadi! Aku takut Ya Allah!
Kenapa?! Kenapa harus ada matahari terbenam di hari yang sempurna?! Kenapa harus ada kematian di kehidupan yang istimewa?! Kenapa juga harus ada kanker otak?! Kenapa?! Kenapa Tuhan gak ijinin aku untuk bersamanya lebih lama lagi?! Aku butuh dia...
Kinar... maafin aku! Aku udah sembunyiin semua ini dari kamu! Aku hanya gak mau liat kamu nangis! Liat kamu sedih! Aku gak mau kamu akan tambah sakit! Aku gak mau... aku sayang kamu...


Kinar terduduk lemas. Sendi-sendinya terasa patah. Kakinya tak mampu lagi bergerak. Seluruh darah di otaknya serasa tumpah.
Kembali dia menatap apa yang baru saja dibacanya. Kanker otak? Penyakit itu? Ada pada Revan?
Kinar mengernyit. Tak mampu berpikir. Dia benar-benar tak bisa percaya.
Kanker otak? Kenapa bisa?
“Revann... gak mungkin! Semua ini bohong! Gak! Gak mungkin!!!” Kinar langsung bangkit, mengambil tasnya dan langsung berlari keluar, menuju rumah sakit tempat Revan dirawat. Air matanya tak kuasa tertahan lebih lama.
Sakit apa lagi ini? Tidak cukupkah sakit yang ku derita karena perlakuannya? Kenapa Kau tambahkan dengan sakit yang lebih parah seperti ini? Kinar bergumam dalam isaknya. Dia sudah tak mampu lagi berteriak. Suaranya tercekat di kerongkongannya. Tertahana dan tak mampu keluar. Hanya air mata yang kini mengiringi langkah kakinya.


“Bunda, tolong kasih ini ke Kinar ya, kalo’ Revan udah gak ada nanti.” Kata Revan lemah sambil menyerahkan selembar surat kepada bundanya. Dia baru saja sadar dari tidur panjangnya, namun badannya masih lemas. Saat siuman tadi, Revan langsung tringat akan Kinar. Dia pun meminta secarik kertas dan sebuah pena untuk menuliskan kata-kata terakhirnya untuk sahabat yang paling dikasihinya itu.
“Jangan berkata begitu, nak! Revan akan sembuh! Percaya sama bunda!” Bella menangis mendengar ucapan dari putranya. Sambil menggenggam erat wasiat terakhir dari Revan.
“Bunda yang sabar ya. Revan sayang sama bunda!”
“Revan, anakku!!!” tiba-tiba Bella menangis sejadi-jadinya, memeluk erat-erat tubuh Revan yang mungkin umurnya hanya dapat terhitung jari.

Kinar tiba di kamar Revan. Dilihatnya Bella yang sedang terisak di sudut ruangan. Di sana juga ada Revan yang sudah siuman, menyambutnya dengan senyuman.
“Revan!!!” Kinar berseru keras dan langsung memeluk Revan. “Jangan pergi!!! Gue mohon!!! Gue masih butuh loe disini!!!” Kinar berkata sendu, air matanya semakin mengucur deras.
“Maaf ya!” kata Revan pelan sambil membelai rambut Kinar dengan tangannya yang masih terpasang infus.
“Loe gak perlu minta maaf! Loe gak punya salah!”
“Van, kenapa loe gak pernah cerita soal ini ke gue! Kenapa!!!”
“Maaf. Gue gak tega buat cerita. Gue gak mau loe nangis,” tiba-tiba air mata mengalir di pipi Revan. “Jangan nangis lagi, gue mohon. Gue gak mau air mata loe terbuang sia-sia gitu aja demi gue!”
“Revaaan....hiks, hiks, hiks...”
“Maafin gue. Gue gak bisa nemenin loe lagi.”
“Jangan pergi... gue sayang sama loe!!!” kata Kinar yang masih dalam dekapan pria itu. Revan mengangkat kepala Kinar lalu mencium keningnya.
“Gue gak akan kemana-mana koq. Gue akan tetap disini, di dalam hati loe.” bisiknya pelan.
“Jangan nangis lagi ya, janji?” Revan mengangkat ibu jarinya.
“Uumm. Janji!” Kinar membalasnya dan menautkan ibu jarinya. Cukup lama ibu jari mereka bertautan, dan tatapan mereka terus beradu, hingga sebuah guncangan kecil membuat Revan tak kuat lagi menopang jarinya. Tiba-tiba, lengannya ambruk. Jatuh tersungkur di sebelah tubuhnya yang lunglai dan kini tak bernyawa. Revan pun pergi. Pergi untuk selamanya...
Kinar mengiringi kepergiannya dengan senyuman. Dia seduah berjanji tak akan menangis. Dan janjinya mampu dia tepati walau untuk sesaat.
Selamat jalan sahabatku, selamat jala. Semoga kau tenang di alam sana...


Bella menyerahkan sepucuk surat pada Kinar seusai upacara pemakaman. Wajahnya terlihat pucat menangisi kepergian anaknya.
Namun Kinar terlihat lebih kuat dari sebelumnya. Dia mampu berdiri tegak sekarang walaupun kesedihan akan kepergian Revan masih sangat kuat menyelimuti dirinya.
“Apa ini tante?” tanyanya saat surat itu sudah tergenggam erat.
“Surat dari Revan, dititipkan untuk kamu,”
“Revan?” Kinar bertanya lagi. Masih tak percaya.
Kinar menatap surat itu lekat-lekat. Tiba-tiba air matanya kembali tumpah. Dia sudah tak kuasa membendungnya sejak tadi malam.
Dibukanya surat itu perlahan dan dibacanya. Tertancap jelas tulisan tangan Revan disana.


Dear my best friend,
Azinda Kirana Hanum

Bila suatu hari nanti,
 ajalku datang menjemput,
dan ku harus tinggalkan dunia ke suatu tempat disana,
jangan tangisi aku.

Bila suatu hari nanti,
kau lihat ku berbaring tak bernyawa,
kulitku tak lagi hangat,
bibirku tak lagi tampakkan keceriaan,
jangan tangisi aku.
Bila suatu hari nanti,
kau sesali perlakuanmu terhadapku,
kau ingat kenangan indah kita bersama,
jangan menangis karenanya.

Jangan ada air mata,
jangan kau sesali semua,
karena aku justru bahagia,
melepas semua derita.

Kau tak tahu beratnya saat dunia memusuhimu,
menekan dan menghimpitmu.
Aku bahagia,
karena bisa ku tinggalkan semua luka kehidupan.

Jadi jangan menangis sahabatku,
karena aku bahagia.
Jangan sesali kisah kita,
kenanglah selalu.
Dan tersenyumlah sahabatku,
tersenyumlah untukku.

Karena apa yang sudah hilang tak mungkin kembali.
Waktu yang lalu tak bisa kau ulang lagi.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar