Di sebuah perahu kecil di tengah
danau, Kinar duduk termenung dengan sebuah kuas cat air tergenggam di
tangannya. Sebutir air mata mengalir di pipi ranumnya seiring dengan goresan
tinta hitam pada sebuah siluet wajah seorang pria yang sangat dirindukannya.
Merahnya langit sore itu makin
menambah duka Kinar yang kian terpuruk mengingat indahnya persahabatan yang dia
jalin bersama Revan.
Tiba-tiba Kinar ambruk. Dia terduduk
lemas diselimuti rintikan air mata yang semakin deras dengan kedatangan hujan
yang secara tiba-tiba. Rambutnya yang hitam panjang tergerai basah kuyup
terguyur air hujan. Bajunya pun tak dapat melindungi tubuh Kinar dari
kedinginan.
Sementara lukisan pria itu sudah tak
berbekas lagi bentuknya. Semuanya telah luntur tersapu air. Kinar memandangnya
sejenak. Berusaha mencari makna dari lukisan tersebut. Lukisan wajah Revan.
Tapi bukan makna yang dia dapat, yang ada dia semakin merindukan pria yang
garis tangannya bagaikan lukisan itu. Masa-masa indah bersama Revan kembali bergelayut
di pikirannya.
☼ ☀☼ ☀☼
Satu
tahun yang lalu...
“Reynaldi Arya Vinandar!”
“Hadir bu!” seru Revan semangat.
Tangan kanannya tak kuasa melepas genggaman dari gadis manis di sampingnya.
Kinar tersenyum pada Revan. Lesung
pipi di sudut bibir kanannya tersungging manis. Revan membalasnya, namun bukan
dengan senyum, melainkan dengan cubitan pada pipi Kinar, lembut. Kinar menjerit
pelan. “Awww! Revan sakit!” katanya sambil menepuk lengan Revan. Bibirnya
dimanyunkan, sementara tangan kanannya masih mengelus-elus pipinya yang chubby.
“Haha. Biarin.”
“Jahat loe!”
“Eh, enak aja! Kalo’ gue jahat, udah
dari dulu kali gue bunuh loe,”
“Tapi buktinya?! Ini!” tunjuk Kinar
pada pipinya yang memar.
“Ya ampun! Koq bisa lebam gitu sih?!
Warnanya biru! Ckck. Kenapa gak warna ijo aja, ya?” Revan nyengir.
“Iiih... nyebelin! Orang sakit gini
dibikin becanda! Ini semua gara-gara loe tau!”
“Masa?”
“Iya.”
“Oh, ya?”
“Gak.”
“Gak, ya?”
“Iya.”
“Iya, ya?”
“Revvaaann!!!!” Kinar berteriak pelan.
Tangannya terus bermain-main di bahu Revan yang dari tadi mengaduh kesakitan
bahunya dijadikan pelampiasan amarah Kinar.
“Iya...iya... maaf...maaf!” Revan
mengangkat kedua jarinya.
“Awas ya loe kalo’ bikin darah gue
naik lagi. Gue bikin pepes loe!” ancam Kinar.
“Iya deh, mentang-mentang ikut kempo.”
Kata Revan, “Tapi, walaupun loe jago kempo, gue juga bisa koq lawan loe. Gue
punya senjata rahasia yang ampuh banget!” lanjutnya. Revan menyilangkan kedua
tangannya di dada.
“Apaan emang?”
“Mau tau?”
Kinar mengangguk. Revan nyengir. Dia
kemudian memperbaiki posisi duduknya di sebelah Kinar, mencondongkan sedikit
badannya ke depan Kinar, lalu tiba-tiba...
“Umch!” Revan mengecup pipi Kinar
lembut. Dan benar saja apa yang dikatakan Revan, Kinar benar-benar langsung
terdiam. Duduk terpaku sambil menatap Revan. Bibirnya terkunci. Wajahnya
memancarkan rona merah.
Revan
tersenyum lebar. Dalam hati dia merasa puas telah membuat Kinar benar-benar
mati kutu dihadapannya. Dia langsung membalikkan tubuhnya menghadap papan
tulis. Sementara Kinar masih pada posisinya yang semula. Dua orang teman
sekelas mereka yang duduk di samping hanya berdeham-deham kecil melihat
kejadian tadi.
“Revan!” seru Kinar saat melihat Revan
sedang asyik mendribel bola basketnya. Saat itu Revan sedang latihan untuk
bertanding melawan kelas lain nanti siang.
“Woi!” balas Revan dari dalam
lapangan. Bolanya langsung dihempaskan ke tanah. “Gimana?” tanya Revan
setibanya di hadapan gadis itu.
“Gimana apanya?”
“Yang tadi itu loh. Rasanya gimana?”
Revan terkekeh setelah menghempaskan tubuhnya di samping Kinar yang duduk di
rerumputan di bawah pohon.
“Iiih!!! Gak usah dibahas deh! Jijay
gue! Loe ini nyebelin banget sih, maen sosor aja tanpa minta ijin!” balas Kinar
bete’.
“Hahahaha... namanya juga senjata
rahasia, gak mungkin dong gue minta ijin dulu,”
“Huh. Bodo’ ah! Awas ya kalo’ loe
berani macem-macem kayak tadi!”
“Hum. Gak janji!” Revan nyengir. Kinar
semakin menekuk wajahnya.
“Van...” panggilnya pelan.
“Mmm?” Revan melirik Kinar yang duduk
lemas dengan kaki selonjoran dan tubuhnya yang disandarkan pada pohon.
“Gue kesel deh!”
“Kenapa?”
“Kak Dira,”
“Kenapa dia?”
“Tadi gue liat dia duduk berduaan sama
kak Fana di kantin,” kata Kinar kecewa.
“Terus?”
“Ya gue kesel! Kak Dira bilang dia gak
pernah deket sama cewek lain kecuali gue! Tapi yang gue liat, dia malah
keliatan asyik banget dua-duaan sama kak Fana!”
“Emangnya kak Dira pernah ngomong
gitu?”
“Ya pernahlah!”
“Tau darimana?”
“Isshh. Dia kan sering curhat ke gue!”
“Oh, ya?”
“Huft. Revan! Mulai lagi deh!” tunjuk
Kinar. Jari telunjuknya diarahkan ke muka Revan yang berkeringat.
“Iya deh, iya. Hum. Emangnya kalo’
mereka duduk berduaan berarti mereka pacaran gitu? Enggak kan?”
“Ya, gak juga sih.”
“Terus, kenapa kesel?”
“Ya abis, gue... gue kan suka sama kak
Dira! Loe tau sendiri kan?”
“Hum. Iya, gue tau. Udah ratusan kali
loe bilang ke gue kalo’ loe suka sama dia.” Revan menjawab pasrah. “Udah gini
aja. Mendingan mulai sekarang loe gak usah negatif thinking dulu. Siapa tau kak
Dira sama kak Fana lagi diskusi masalah pelajaran atau tugas gitu. Loe tau kan,
mereka udah kelas tiga, dan biasanya siswa kelas tiga kayak mereka lagi
sibuk-sibuknya sama tugas dan persiapan ujian. Jadi intinya, positif thinking,
sis. Dibawa enjoy aja semuanya, oke.” Revan mengangkat jempolnya, menunggu
tanda setuju dari Kinar. Setelah berpikir beberapa detik, akhirnya Kinar
tersenyum puas dan membalas ibu jari Revan yang kini bertautan dengan ibu
jarinya. “Oke. Thank’s, bro.” Katanya senang.
“Smile dong?” Revan memainkan
tangannya pada kedua bibir Kinar, membentuk tanda senyum. Akhirnya Kinar
tersenyum. Digenggamnya tangan Revan yang masih menempel di pipinya, “Sekali
lagi, makasih Revan,” katanya kemudian.
“Iya-iya... Nah, gitu dong. Kalo’ loe
senyum kan keliatannya lebih cantik gitu.” puji Revan.
“Hah? Gue cantik?” Kinar terlonjak.
“Ah... eh... eh... gak gitu.
Maksudnya, loe...loe...” Revan tergagap.
“Udah, gak usah banyak a-i-u-e-o...
loe juga ngaku kan kalo’ gue cantik? Iya kan? Ngaku deh loe?” goda Kinar.
“Mmm...sebenernya loe emang cantik,
tapi... sedikit.”
“Huh? Masa sih?”
“Iya. Hehe. Malah, bisa dibilang loe
itu hampir mendekati jelek. Eh, bukan, salah! Maksud gue, buruk. Hehe.”
“Heh! Kurang
ajar loe! Buruk loe bilang?! Revaaaannnn!!!!” Kinar langsung berdiri dan
beralri mengejar Revan mengelilingi lapangan basket, sampai akhirnya,
“Dubbbrraaakkk!!!!” Revan menabrak tiang ring basket yang membuatnya jatuh
tersungkur ke tanah. Tangannya terkulai lemah di samping tubuhnya. Sementara
hidungnya lecet dan mengeluarkan darah akibat benturan yang cukup keras itu.
“Revan, udah sadar kan loe?” seru
Kinar sambil mengguncang-guncang tubuh Revan yang kini terbaring lemah di UKS.
“Aduh, aduh... iya, gue udah sadar.
Tapi, tubuh gue jangan diginiin dong, sakit tau.”
“Hehe, sorry-sorry,” Kinar tersenyum.
“Habisnya gue takut banget kalo’ loe sampe gak sadar,”
“Emangnya kenapa kalo’ gue gak sadar?”
“Entar, siapa dong yang nemenin gue.
Gue kan gak punya siapa-siapa selain loe disini,” kata Kinar sedih.
“Unyu,unyu,unyu...aduh, yang sedih
takut mas Revan-nya pergi,” goda Revan, berharap Kinar tidak sedih lagi. Tapi
kenyataannya berbeda, air mata Kinar kini malah membasahi pipinya.
“Jayus loe, ah!” katanya dalam isak.
“Jayus? Bukan! Gue bukan jayus! Gue
itu Revan! Terus, gue juga gak pernah korupsi kale!”
“Itu Gayus blo’on!” bentak Kinar sambil
menoyor kepala Revan.
“Oh, kapan dia ganti nama? Setau gue
namanya Jayus. Hahaha...” Revan tertawa, lebih tepatnya menertawai dirinya
sendiri yang belagak bodoh di depan Kinar. Tapi sayangnya, kebodohannya tidak
membuat Kinar tertawa sedikitpun.
“Hiks, Van. Gue takut loe pergi. Loe
gak tau kan, gimana khawatirnya gue waktu liat hidung loe berdarah, apalagi loe
sampe pingsan. Loe kan dulu pas SD juga pernah kayak gini, cuman gara-gara
kejedot anak tangga dan pingsan, loe sampe diopname berminggu-minggu. Gue takut
banget itu kejadian lagi. Gue bener-bener kesepian waktu itu, soalnya gak ada
loe yang nemenin gue.”
“Tapi buktinya gue sekarang udah sadar
tuh, dan gak kenapa-napa. Malah, gak sampe satu jam gue juga udah sadar kan?”
kata Revan sambil memperbaiki posisi duduknya di ranjang yang sempit itu.
“Heh! Enak aja! Udah dua jam tau loe
gak sadar. Gue aja sampe bela-belain gak ikut satu mata pelajaran cuman buat
nungguin loe disini. Hmpt.”
“Wah, serius? Ckck. Koq lama banget
sih gue gak sadarnya? Padahal kan cuman kejedot tiang ring basket doang,” Revan
memutar otaknya, mengingat peristiwa pingsannya saat SD dulu yang tidak
sadarkan diri hingga dua hari.
“Ya, itulah elo!” kata Kinar, kemudian
membenamkan wajahnya pada paha Revan yang ditutupi selimut.
“Kenapa loe?” tanya Revan perhatian.
Tangannya terus bermain-main di rambut Kinar yang panjang. Sesekali dia
membelai lembut rambut gadis itu.
“Gak ada. Gue pengin manja-manjaan aja
sekali sama loe,”
“Ih. Aneh loe. Tapi gue kan gak suka
sama cewek manja!” kata Revan terus terang.
“Gue tau koq. Tapi gue kan gak manja
kayak cewek-cewek centil yang suka nge-rengek-rengek kalo’ minta sesuatu.
Maksud gue manja ke elo itu, gue... gue pengin lebih diperhatiin sama loe.”
kata Kinar setelah mengangkat kepalanya, lalu menatap mata Revan yang begitu
indah, dengan bentuk bulatnya yang sempurna. Di matanya seperti terdapat cahaya
bak seorang malaikat.
“Kinar?”
“Hum? Kenapa, Van?”
“Maksud loe tadi apa?”
“Ya ampun, loe itu udah kelas dua SMA
sayang, masa gitu-gitu aja gak ngerti. Udah deh, gak usah dipikirin,”
“Gitu, ya?”
“Iya. Eh, btw, Van, mata loe bagus
juga, loh. Gue baru sadar. Mata loe indah banget, terlihat bercahaya gitu. Loe
keliatan kayak pake lensa kontak. Tapi loe beneran gak pake, kan?”
“Ya, gaklah. Emangnya mata gue minus
apa musti pake yang begituan.”
“Baguslah. Berarti ini emang murni
mata loe. Asli. Gue jadi pengin liatin mata loe terus, itu bikin hati gue
tenang,” Kinar tersenyum lebar sambil terus menatap mata indah itu. Revan
merasa sedikit grogi diperhatikan seperti itu oleh sahabatnya sendiri. Namun,
rasa senang juga kian menari-nari di hatinya karena ternyata ada sesuatu pada
tubuhnya yang bisa menghibur Kinar.
“Tapi, jangan diliatin terus kayak
gitu dong. Entar loe bisa baca isi hati gue lagi. Mata itu kan jendela jiwa
seorang manusia.”
“Emangnya kenapa kalo’ gue sampe bisa
baca? Bukannya semua isi hati loe udah gue tau, ya? Kan loe sering curhat
tentang apapun ke gue.”
“Tapi ada satu di sini yang gak pernah
gue ceritain ke loe, dan ini tuh rahasia banget. Gak boleh ada satupun orang
yang tau, apalagi loe,”
“Gitu, ya? Ya udah deh, gue gak akan
liatin loe lagi.” Kinar menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Revan
terkekeh melihat tingkah Kinar yang layaknya seorang anak TK.
“Nar, entar sore jadi kan temenin gue
beli aksesoris motor?”
Sekejap kemudian, Kinar membuka
matanya. “Hah?”
“Entar sore jadi gak?”
“Kemana?” Kinar melongo.
“Hum. Beli aksesoris motor, sayang.”
“Duuhh... Revan, kalo’ mau ngajakin
gue jalan itu mustinya kasih tau dulu dari beberapa hari yang lalu. Kalo’ entar
sore sih gue udah ada janji.”
“Sama siapa? Tapi kan minggu lalu loe
udah janji sama gue bakal nemenin gue sore ini,”
“Oh, ya? Astaga! Gue lupa! Yah, gimana
dong? Gue udah terlanjur bilang ‘ya’ ke kak Dira buat temenin dia jemput orang
tuanya di bandara,” Kinar terlihat kecewa.
“Huh. Ya udah, gak apa-apa koq. Entar
gue ajak Nathan aja. Loe pergi aja sama Dira, bukannya ini kesempatan yang baik
kan, biar loe bisa lebih deket sama dia?” Revan tersenyum tulus penuh
pengertian.
“Aduuhh... Revan. Loe jadi cowok koq
baik banget sih... thank’s banget ya. Loe emang selalu ngerti apa yang gue mau.
Dan, maaf.” Kinar menunduk.
“Gak apa-apa koq. Ini bukan salah loe.
Lagian wajar koq loe kayak gitu, soalnya ini pertama kalinya kak Dira ngajakin loe
pergi, dan waktu itu loe pasti seneng banget sampe-sampe lupa sama semuanya,”
“Hehe, bener. Gue emang seneng banget.
Sekali lagi thank’s ya,” senyum Kinar makin melebar. Lesung pipinya tersungging
semakin dalam. Kemudian dia langsung menghambur ke pelukan Revan, mencoba
membagi rasa senang dalam hatinya melalui sentuhan itu, dan juga melalui ini,
“Umch!” sebuah kecupan hangat di kening Revan.
“Itu balasan buat yang tadi,
hahaha...” mereka berdua tertawa. Entah apa yang lucu dari adegan singkat itu.
Namun, dalam hangatnya tawa Revan, di balik lubuk hatinya yang paling dalam dia
menyimpan kekecewaan yang mendalam. Bukan hanya itu, ada sesuatu yang lebih
sakit yang menyeruak ingin keluar dari dalam hatinya. Ya, rasa sakit karena
berusaha merelakan orang yang disayanginya bersama orang lain.
Revan hanya ingin melihat Kinar
tersenyum, itu saja. Dia tidak peduli dengan perasaan yang sangat menyiksanya
itu. Karena senyum Kinar adalah penyemangat baginya. Tanpa itu, Revan tak akan
mungkin mampu berdiri seperti sekarang.
Tangismu,
neraka untukku
Namun
senyummu, surga bagiku
☼ ☀☼ ☀☼
Untuk kesekian kalinya Revan berdecak
keras. Sudah dua jam dia menunggu di depan gerbang sekolah. Menunggu sang
malaikat kecil yang selalu menemaninya dalam perjalanan pulang. Tapi, mengapa
malaikat itu tak kunjung menampakkan dirinya?
“Huh! Kinar kemana sih? Koq belum
keluar dari tadi! Gak tau apa tuh anak, gue udah lumutan nungguin dia disini!
Aishhh... sabar... sabar...” Revan menekan-nekan dadanya yang semakin gelisah,
dengan tatapan yang terus tertuju pada gerbang masuk.
Akhirnya...
“Revan!” seru Kinar saat melihat Revan
sedang menunggunya sambil menunggangi Suzuki Thunder-nya.
“Koq lama? Capek tau nunggu!” Revan
turun dari motornya dan menghampiri Kinar.
“Sorry, sorry. Tadi abis nungguin kak
Dira selesai latihan badminton sih, hehe. Maklum, taktik pedekate,” Kinar
nyengir. Namun senyuman manis itu tak digubris Revan, wajahnya malah terlihat
semakin lusuh. Dira lagi! Batinnya.
“Hhhh...” desahnya pelan. “Ya udah,
balik yuk! Laper nih!”
“Gak ah. Duluan aja sana. Mau nungguin
kak Dira dulu, tadi udah janjian mau pulang bareng,” Kinar menampakkan senyum
termanisnya lagi, dan ini membuat emosi Revan semakin berada di puncak.
“Pulang bareng kak Dira?! Kenapa gak
bilang dari tadi?! Gue udah–“ kata-kata Revan terhenti saat sebuah Honda New
Civic milik Dira keluar melintasi gerbang. “Ah, udahlah. Loe bareng dia aja.
Gue pulang sendiri...” katanya kecewa. Emosinya berusaha diredam agar tak
menimbulkan masalah berkepanjangan antara dia dan Kinar.
“Oke-oke. Eh, tapi entar malem jangan
lupa ya, kita kerjain tugas kimia itu barengan. Entar gue ke rumah loe deh,”
kata Kinar penuh semangat. Badannya yang ramping telah terpatri indah di
samping Dira yang siap tancap gas.
“Iya.” Jawab Revan sekenanya. Wajahnya
ditundukkan, tak sanggup melihat pemandangan yang dapat merobek-robek hatinya
itu.
“Ya udah, gue balik duluan ya...
daagghh Revan!” kata Kinar sambil melambaikan tangannya. Dira tancap gas dan
mobil melaju cepat meninggalkan Revan yang hatinya tak dapat terbendung lagi
sakitnya. Revan melambaikan tangan, namun tatapannya kosong menatap pasir hitam
yang diinjaknya. Tiba-tiba sebutir air mata terjun bebas membasahi pipinya.
Revan menangis. Baru kali ini dia merasakan betapa sakitnya cinta yang tak
terbalas.
Revan terduduk lemah di pasir.
Telunjuknya bermain-main di antara keiriki-keirikil kecil sambil mengukir
sebuah nama. Nama sang malaikat kecil yang kini telah tumbuh menjadi seorang
gadis remaja yang dicintainya...
Kinar
☼ ☀☼ ☀☼
Revan menunggu dengan cemas di ujung
anak tangga terasnya. Hingga jam sembilan malam Kinar belum juga muncul membawa
tas dan buku-buku pelajaran yang akan mereka pelajari bersama. Ada niatan dalam
dirinya untuk menghubungi Kinar, namun sayang ponselnya tidak aktif karena
kehabisan baterai. Segera dia berlari masuk ke dalam rumah dan men-charge
ponselnya, berharap kalau-kalau Kinar akan menghubunginya.
Seperempat jam berlalu, Kinar belum
juga memberikan kabar kepastian kedatangannya. Revan semakin cemas menatap ponselnya
yang tak kunjung berdering. Akhirnya, diraihnya ponsel itu dan segera
menghubungi Kinar. Tak lama kemudian, Revan mengumpat keras,
“Ah! Anjrit! Telepon gue diriject!
Sebenernya mau loe apa sih Kinar? Tadi janji mau dateng, tapi sampe selarut
ini, loe belum juga muncul!!! Aissshh!!!” Revan melempar kasar ponselnya ke
meja belajar, lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
Menatap langit-langit kamarnya yang
bercorak hitam putih layaknya zebra adalah hobi Revan. Hal itu biasa
dilakukannya sambil menghayalkan sesuatu yang baginya tidak akan mungkin pernah
terjadi. Tapi untuk malam ini berbeda, Revan tiba-tiba saja menghayal tentang
sesuatu yang mungkin saja terjadi di luar sana, tentang Kinar dan Dira...
“Kinar, loe dimana sih? Apa loe lagi
sama Dira? Kenapa loe gak hubungin gue? Kenapa setiap sama Dira loe selalu lupa
sama gue? Apa gue gak berarti apa-apa di mata loe?” Revan bergumam dalam
kegelisahannya malam itu.
Lalu beberapa menit kemudian, Revan
sudah berjalan-jalan di dunia khayalnya, diiringi oleh lantunan lagu Where Are
You Now milik Justin Bieber dari tape combonya.
Where
are you now?
When I need you the most...
“Malam oom, tante!” sapa Kinar saat
menyambut kedatangan mama papa Dira yang baru kembali dari Sydney, Australia.
Saat itu Dira memintanya untuk menemaninya menjemput mama papa Dira di Bandara,
dan tentunya dengan perasaan bahagia yang meluap-luap Kinar bersedia.
Oom Dana dan tante Lisa membalas
sambutannya dengan senyum terhangat yang mereka miliki. Tante Lisa berjalan
beriringan bersama Kinar sambil merangkul pundak gadis yang beberapa hari lagi
akan genap berumur tujuh belas tahun itu. Sementara di belakang, Dira dan
papanya mengekor.
“Ma, pa, itu namanya Kinar. Dia adik
kelas aku di sekolah. Anaknya baik banget loh ma, pa. Terus periang banget,
mirip sama sifatnya Amel.” Dira
memperkenalkan.
“Oh, namanya Kinar. Manis sekali.”
Puji tante Lisa sambil membelai lembut rambut Kinar.
“Coba deh perhatiin ma, dia mirip loh
sama Amel,” kata Dira.
“Oh, ya, coba tante liat, senyum dong
sayang!” kata tante Lisa ramah, dan Kinar mempersembahkan senyum termanisnya
sambil menundukkan kepala memberi hormat pada kedua orang tua Dira itu.
“Aduuhh... manis sekali. Bener pa, dia
mirip Amel. Hum. Tante jadi inget Amel, deh.”
“Iya ma, papa jadi inget Amel,
senyumnya mirip banget,” oom Dana nimbrung.
“Tuh kan, apa Dira bilang,” kata Dira
sambil menyenggol bahu Kinar, “Apaan sih?!” kata Kinar malu.
“Makasih tante, oom... Kinar jadi
bangga bisa disamain sama almarhumah anak tante dan oom, dan juga adik kak
Dira,” kata Kinar simpati.
“Sama-sama sayang. Oh, ya, gimana
kalo’ malam ini kamu makan malam di rumah tante aja? Kebetulan tadi tante udah
pesen mbok Inah suruh siepin makan malam. Ya sayang, ya!” pinta tante Lisa
dengan puppy eyes-nya yang membuat
Kinar tak kuasa menolak ajakan istimewa itu.
Makan malam bareng keluarga kak Dira,
wah... seru banget! Batin Kinar. Tapi tiba-tiba saja, dia teringat akan
janjinya pada Revan. Dia segera melirik jam tangannya. Setengah sepuluh, Revan
masih nungguin gue gak ya? Gumam Kinar dalam hati.
“Tapi, oom tante... aku, aku–“ Kinar
berusaha menjelaskan, namun sayang, Dira langsung memotong ucapannya.
“Udah, gak usah tapi-tapian... kamu
harus mau! Oke adik kecil!” Dira merangkul Kinar menuju mobil, di belakang
mereka papa mama Dira berjalan bergandengan sambil menarik koper mereka
masing-masing.
Kinar benar-benar tak bisa berucap.
Dia benar-benar bahagia. Baru kali ini Dira merangkulnya begitu hangat.
Karena tak mau menghilangkan
kesempatan baiknya untuk berhubungan lebih dekat dengan Dira, akhirnya Kinar
menurut. Kemudian, dia langsung mencari keberadaan ponsel di dalam tas
tangannya dan mengirim sebuah pesan singkat pada Revan.
Evant,
Gw gak jdi k’rmah loe, gw ad
acara lain.
Tau gak ? bonyokx Dira
ngajakin gw dinner. Sneng bgt :D
So, maaf y. :)
Revan yang baru saja hendak memasuki
dunia mimpi, dikagetkan dengan nada pesan ponselnya. Dengan wajah yang masih
muram, Revan berjalan menuju meja belajarnya, mengambil ponselnya yang masih
tergantung di kabel, dan membuka pesan barunya.
Dira, Dira, Dira...
“Hhh... ternyata dia emang udah bikin
loe bener-bener lupa sama gue, Nar!” gumam Revan setelah membaca pesan dari
Kinar.
Revan terduduk di lantai. Di tangannya
masih tergenggam ponsel Blackberry Torch miliknya. Lalu dengan mencoba menahan
rasa sakit, Revan membalasnya, namun bukan kata-kata yang dia tulis. Bukan
kata-kata kasar yang mengungkapkan kemarahan dan rasa sakitnya, namun sebuah
senyuman tulus dari seorang pria yang turut tersenyum merasakan kebahagiaan
orang yang dicintainya.
:)
☼ ☀☼ ☀☼
Keesokan
paginya di SMAN 8 Jakarta...
“Pagi semua!” sapa Kinar saat memasuki
kelasnya di XI-IPA. 5. Kemudian dia berjalan menuju bangkunya di pojok kiri
belakang, lalu meletakkan tas ransel pink-nya ke dalam kolom meja.
Sejenak, Kinar menatap bangku Revan
yang masih kosong tak berpenghuni. Sesaat kemudian dia melirik jam tangannya,
“Jam tujuh lebih tiga menit. Hum. Koq
Revan belum dateng sih? Ini kan udah waktunya mulai pelajaran. Gak biasanya tuh
anak datengnya telat,” gumam Kinar seraya memperbaiki posisi duduknya di dekat
tembok.
“Kinar!” sapa seseorang tiba-tiba,
menyadarkan Kinar yang masih memikirkan kemana perginya Revan.
“Oh, hai Lin. Ada apa?” tanya Kinar
saat Alin menghampirinya dan menyodorkan sebuah buku tulis bersampul coklat
padanya. “Ini apa?” tanya Kinar lagi.
“Itu buku dari Revan. Katanya disuruh
kasih ke loe.”
“Buku apaan nih?”
“Gak tau. Revan gak bilang apa-apa
tuh,” Alin mengangkat bahunya.
“Terus Revan-nya kemana?”
“Gak tau juga. Tadi pagi-pagi banget
dia kesini, kebetulan tadi tuh gue ada jadwal piket kebersihan di kelas. Terus
dia titipin ini buat loe. Habis itu, dia pergi lagi, gak tau kemana. Kayaknya
gak masuk deh, tapi koq mukanya pucat gitu,” jelas Alin sambil membuka-buka
lembaran demi lembaran novel yang dia bawa.
“Oh, gitu ya. Ya udah, thank’s ya!”
Kinar tersenyum sebagai tanda terima kasih. Namun di dalam hatinya masih
tersimpan sejuta tanda tanya. Revan kemana?
“Ok.”
Sepeninggal Alin, Kinar masih terdiam
dalam bingungnya. Pikirannya masih digelayuti tentang ketidak hadiran Revan.
Lalu, buku apa ini?
Kinar membukanya perlahan. Lembar
pertama bertuliskan nama sang pemilik, kelas, nomor absen dan mata
pelajarannya.
“Latihan Kimia,” Kinar membaca.
Suaranya tiba-tiba tercekat. “Jadi, ini buku tugas Kimia yang kemaren gak gue
kerjain itu?” Kinar membolak-balik buku itu hingga sampai pada lembaran penting
yang dititipkan Revan. Sebuah tugas Kimia yang sudah selesai dikerjakan. Lalu
di halaman tengah buku itu, terselip sebuah memo kecil bertuliskan, “Salin ini
ke buku loe. Jangan sampe gak! Ngerti!”
Tulisan tangan Revan yang menghiasi
memo itu membuat Kinar terharu. Ternyata, Revan benar-benar perhatian padanya.
Dia benar-benar mengerti apa yang dibutuhkan Kinar. Revan memang sahabat yang
baik.
Segera dia membongkar tas-nya dan mengambil
buku latihan kimia miliknya , lalu menyalin hasil kerja Revan. Sebuah senyuman
manis tersungging di wajahnya.
Terima kasih, Revan. Terima kasih...,
gumamnya dalam hati.
☼ ☀☼ ☀☼
Revan menuntun motornya melesat
melewati hiruk pikuk ibukota, menuju ke sebuah taman surga dunia di sudut kota.
Sebuah taman nan indah, dihiasi berbagai macam pepohonan rindang yang menjadi
tirai sebuah danau kecil di tengahnya.
Miracle Lake. Danau keajaiban. Sebuah
danau yang tak begitu luas yang berada tepat di bagian barat, sehingga saat
matahari terbenam akan tampak sunset indah dengan warna kemerahannya yang merona
menambah cantiknya ciptaan Tuhan tersebut. Di pinggir danau ada sebuah perahu
yang cukup tua dengan warna kayu yang sudah lapuk yang biasa digunakan dua anak manusia itu untuk
mengitari danau penuh keajaiban itu. Ya, keajaiban yang benar-benar membuat
Kinar dan Revan tak pernah bosan mengunjunginya. Setiap kali mereka kesini,
hati mereka selalu merasa lebih tenang. Biasanya mereka ke tempat ini saat
sedang ada masalah atau saat hati mereka sedang berbunga-bunga. Entah apa yang
membuat mereka begitu nyaman membagi kisah mereka dengan danau ini. Mereka
selalu bercerita, menangis dan kadang berteriak-teriak di tengah danau,
meluapkan perasaan mereka yang berbeda setiap saat, layaknya di depan mereka
ada Tuhan yang selalu siap mendengarkan curhatan mereka.
Revan tiba di depan sebuah pohon yang
membelakangi Miracle Lake. Ini kali ketiga Revan kesini tanpa didampingi sosok
Kinar.
Saat ini hati Revan sedang gundah.
Entah apa yang membuatnya begitu sakit hati melihat kedekatan sahabatnya dengan
Dira. Apa Revan benar-benar telah melupakan rasa sayangnya sebagai seorang
sahabat kepada Kinar? Dan kini berganti menjadi rasa sayang seorang pria ke
gadis yang dicintainya?
Revan terpaksa bolos dari sekolah
karena tidak sanggup menatap senyuman Kinar yang membuat hatinya semakin perih.
Jadi dia memutuskan untuk menenangkan diri disini, meluapkan perasaannya,
berharap Tuhan akan mendengarkan isi hatinya dan memberinya kekuatan.
Revan menyibak ranting pohon yang
menghalangi pandangannya. Dituntunnya motor bercorak hitam itu lebih dekat
dengan danau, lalu dia duduk di rerumputan yang tepat menghadap ke danau.
Ditatapnya langit yang masih bersemburat biru kekuningan, karena jam memang
baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Revan tersenyum, merasakan
hatinya sedikit terobati melihat pemandangan di hadapannya yang begitu
menakjubkan.
Dia kemudian berjalan di pinggir
danau, menaiki perahu dan mendayungnya hingga ke tengah. Revan tiba-tiba ingat
saat dia dan Kinar pertama kali menaiki perahu ini. Saat itu mereka masih duduk
di kelas empat SD. Revan tersenyum tipis membayangkan betapa polosnya mereka
saat itu, belum pernah mengenal yang namanya cinta, yang kini membuat
persahabatan mereka sedikit renggang.
“Tuhan... apa aku benar-benar
mencintainya? Apa aku benar-benar tak rela melihatnya bersanding dengan pria
itu?” gumam Revan kemudian. “Tuhan, jika itu semua benar, aku mohon, buanglah
semua itu dari dalam hatiku! Biarkanlah hanya rasa sayangku sebagai penjaga
hatinya yang tetap berada di dalam sini!
Aku tak mau menyakitinya... aku tak tega melihatnya menangis... dan aku tak
sanggup menahan rasa sakit ini... karena, karena aku tahu Tuhan! Aku tahu kami
tak akan mungkin bersama...” lanjutnya dalam isak. Tangisnya pecah saat
menyadari hatinya bergetar ketika mengingat wajah Kinar.
“Tuhan... aku
tak pantas mencintainya... dia terlalu indah untuk mendapatkan cinta dari
makhluk sehina diriku, yang telah menghianati perasaanku sebagai sahabatnya.
Kuatkanlah hatiku Tuhan untuk merelakannya bersama orang yang dicintainya.
Bahagiakan dia selalu Tuhan, jangan pernah biarkan setetes air mata pun mengalir
di pipinya. Karena bahagianya adalah bahagiaku, dan dukanya adalah dukaku...”
Suatu siang yang mendung mewarnai
suasana latihan Revan di sekolahnya. Sesekali dia terlihat bersorak kegirangan
karena berhasil memasukkan bola ke ring. Gadis-gadis yang menonton di pinggir
lapangan tak kuasa menahan rona merah di pipi mereka melihat sang idola begitu
lihai memainkan bola tangan itu.
Lima menit kemudian tiba-tiba bola
terhempas dari tangannya. Revan tidak fokus pada permainannya. Pandangannya
langsung tertuju pada seorang gadis manis yang tengah asyik membaca novel di
depan kelasnya. Revan tersenyum senang, namun dalam hatinya masih ada perasaan
ragu, apakah dia sanggup menatap wajah Kinar? Hum. Tapi hati kecilnya berkata
dia pasti sanggup. Akhirnya Revan untuk menemui gadis itu.
Revan berjalan melewati lapangan
basket. Terdengar suara gadis-gadis nan centil berhuru-hara memuja-muja pria
itu, namun Revan tak peduli. Baginya mereka hanyalah kumpulan makhluk hawa yang
tak begitu berarti untuk Revan. Toh, walaupun mereka tidak ada disini, Revan
tak akan mendapatkan efek apapun. Yang terpenting dari semua gadis disini hanya
Kinar.
Revan hampir menyapa gadis berambut
hitam itu, sampai akhirnya langkahnya terhenti saat melihat Dira sudah duduk
bersimpuh di bawah Kinar sambil meneguk air minum yang disodorkan Kinar.
Sedetik kemudian Kinar menyeka lembut keringat yang menggenangi wajah kakak
kelas yang telah memenuhi rongga hatinya itu –atau mungkin tak seluruhnya.
Tawanya lepas saat Dira tak sengaja tersedak air. Dengan pelan dia
menepuk-nepuk bahu Dira yang baru saja selesai berlatih badminton. Sampai
akhirnya tatapannya berhenti pada satu titik. Seorang pria di tengah lapangan
sana sedang menatapnya tajam. Memperhatikan semua gerak-geriknya dengan Dira.
Rasa rindunya pada pria itu tiba-tiba
berkeliaran di dalam hatinya. Kinar tersenyum. Hatinya berloncat-loncatan
menggambarkan rasa senangnya bertemu dengan Revan, setelah hampir dua hari ini
dia tidak melihat setitik pun cahaya dari pria itu. Segera dia bangkit dari duduknya
dan berlari mengejar Revan yang masih terpaku.
“Revan!!!” serunya keras. Revan masih
terdiam pada posisinya, sampai dia sadar bahwa Kinar kini telah ada di
hadapannya. “Heh! Kemana aja loe?”
Revan hanya terdiam. Tidak ada respon
sama sekali dari bibir merahnya.
“Helloo... loe budek ya, say? Revan!
Woit! Koq loe jadi aneh gini sih?” Kinar berkacak pinggang.
Namun Revan masih saja terdiam dalam tatapan
kosongnya. Sampai akhirnya dia berlari, menjauh dari Kinar. Meninggalkan gadis
itu dengan mulut ternganga, bingung melihat tingkah sahabatnya yang beberapa
hari ini sangat aneh.
☼ ☀☼ ☀☼
“Van, pulang bareng, ya!” kata Kinar
saat pelajaran sudah selesai, sambil membereskan bukunya yang masih tergeletak
tak beraturan di meja.
Revan mengernyitkan keningnya. Awalnya
rasa senang membuncah dalam dadanya, tapi saat melihat Dira sedang berdiri di
depan pintu kelasnya, menanti sang adik kecil keluar, rasa itu langsung lenyap.
Tergantikan rasa kesal yang mengharapkan ketidak hadiran Dira, untuk saat ini
saja.
“Loe pulang bareng dia aja!” balas
Revan setelah mengalihkan pandangannya pada Dira.
“Siapa?” Revan menuntun mata Kinar
melihat orang di depan sana yang kini tersenyum saat Kinar menatapnya. “Kak
Dira?” lanjutnya.
Revan hanya terdiam.
“Yah, tapi kan gue pengin pulang
bareng loe, Van. Udah tiga hari ini kita gak pulang bareng. Gue kangen sama
motor loe, dan... gue juga kangen sama loe.” Kinar memanyunkan bibirnya. Lalu
kembali terduduk di bangku coklatnya.
Ada suatu perasaan aneh yang berdesir
dalam hati Revan saat mendengar kata-kata terakhir Kinar. Namun ditepisnya rasa
itu dalam-dalam.
“Tapi gue ada urusan lain.” Katanya
lagi setelah semua bukunya tertata rapi di dalam tas. “Gue cabut duluan yah,”
katanya lalu pergi meninggalkan Kinar yang masih terpaku menatap lantai. Tak
mau mengiyakan atau mengatakan tidak pada kata-kata Revan, juga tak mau melihat
kepergian Revan yang menurut Kinar akhir-akhir ini menjadi sangat aneh dan
menyebalkan tentunya.
Dira menatap Kinar yang tak beranjak
dari tempat duduknya. Dalam hatinya berkata seperti Kinar akan tetap berada di
kelas itu sampai hati kecilnya yang menuntunnya untuk keluar. Lalu, dira
berbalik, duduk di lantai, dan menunggu Kinar hingga gadis itu benar-benar
bersedia pulang hari ini, dengannya.
Udah gue duga, persahabatan kalian gak
akan sampe sini doang. Gue yakin ada perasaan lain yang gak kalian duga
bersembunyi di dalam hati kalian, gumamnya dalam hati.
☼ ☀☼ ☀☼
Malam yang indah, pikir Kinar. Di
atasnya terbentang langit gelap yang begitu luas, dihiasi kerlap-kerlip bintang
nan indah dan bulan sabit yang sedikit tertutup pohon-pohon rindang di sekitar
rumah Kinar, hingga tak begitu nampak di matanya.
Angin malam yang dingin menyergap,
memberikan sentuhan berbeda pada setiap permukaan kulit Kinar. Sedetik kemudian
rintikan gerimis mulai membasahi rambutnya.
“Loh? Koq malah gerimis sih?”
dengusnya kesal. Lalu diangkatnya kepalanya mengahadap langit, “Itu. Ada
bintang. Koq bisa gerimis gini? Ih. Aneh.” Katanya kemudian, lalu segera
mengayuh sepedanya lebih cepat, menuju ke sebuah rumah bercat putih yang
dihiasi lampu temaram di halamannya.
Kinar menghentikan sepedanya setibanya
di rumah itu. Dituntunnya sepeda itu dan diparkirkan di halaman yang penuh
ditumbuhi bunga lily.
Tok, tok, tok... suara ketukan pintu Kinar
membuyarkan lamunan seorang wanita di dalam rumah itu yang sedang menatap
sebuah lukisan kuno peninggalan suaminya.
Pintu yang dihiasi ukiran-ukiran kuno
jawa itu pun terbuka.
“Malam, tante.” Sapa Kinar, saat
seorang wanita bertubuh kurus dan wajah yang sedikit pucat membukakan pintu
untuknya.
“Kinar?! Ya ampun... tante kirain
siapa, bertamu malam-malam gini. Hujan lagi. Ayo masuk!” tante Bella yang tidak
lain dan tidak bukan adalah mama Revan mengajak Kinar masuk dan menyuruhnya
duduk di sofa depan TV.
“Gak dingin? Hujan-hujan gini kesini?
Gak pakeq jaket lagi sayang,”
“Gak koq tante. Udah biasa Kinar mah.”
“Mau cari Revan?”
“Laiyalah tante. Emang Kinar pernah
dateng kesini bukan untuk Revan? Hahahaha...”
“Ya udah, tante panggilin dulu,” tante
Bella hendak beranjak dari ruang keluarga, tapi Kinar langsung mencegatnya,
“Gak usah tante. Biar Kinar yang cari
sendiri. Revan-nya dimana?” Kinar bangkit dari duduknya. Kedua tangannya masih
bertengger pada lengan tante Bella.
“Tuh di kamar,”
“Ya udah, Kinar kesana dulu ya tante,”
Kinar berlari menaikki anak tangga yang membatasi kamar Revan dengan ruangan di
lantai bawah.
Tok, tok, tok... Kinar mengetuk pintu.
“Permisi...” serunya pelan.
“Siapa?” terdengar seruan dari dalam
kamar Revan.
“Gue.”
“Gue siapa?”
“Kinar.”
“Kinar? Mau ngapain malem-malem
kesini?” suara di dalam sana masih bertanya, belum mempersilahkan Kinar membuka
pintunya.
“Gue boleh masuk dulu gak, Van?” Kinar
berdeham kecil.
“Ya.”
Kinar langsung membuka pintu,
menghambur ke dalam, dan menguncinya.
Kinar berjalan perlahan mendekati
Revan yang sedang duduk termenung di dekat jendela sambil menatap hujan.
Badannya belum mau berbalik sampai Kinar menepuk bahunya pelan, “Van,”
“Hmm.” Revan masih tetap pada
posisinya, menghadap jendela yang tirainya sedikit tersingkap.
“Loe kenapa sih?” Kinar ikut duduk di
samping Revan sambil memandangi wajah pria itu.
“Gak napa-napa koq,” balasnya singkat.
“Tapi koq sekarang beda?”
“Masih tetep sama koq.”
“Beda Revan! Loe beda sekarang!” Kinar
berkata lantang. Sedetik kemudian dia langsung menundukkan kepalanya, menatap
lantai kayu yang dicat hitam polos.
Revan berbalik, menatap Kinar, lalu
mengangkat dagu gadis itu, hingga kini matanya benar-benar beradu dengan mata
Kinar.
“Liat gue! Apa ada yang beda dari
gue?” tanya Revan tak kalah lantangnya.
Kinar tak berani menatap mata pria
itu. Dia langsung mengalihkan pandangannya dan diedarkan ke seluruh penjuru
ruangan kamar itu yang cat-nya berdominasi hitam-putih.
“Gue bilang liat gue!” bentak Revan
keras. Kinar sampai terkaget-kaget dibuatnya. “Apa ada yang beda dari gue?!”
tanyanya lagi. Kinar menggeleng. Tak berani berkata-kata melihat ekspresi Revan
yang begitu menyeramkan malam ini. Revan melepaskan tangannya dari dagu Kinar.
Lalu membenamkan wajahnya di sela-sela pahanya yang dilipat.
“Van, koq loe jadi aneh gini sih? Koq
loe jadi sentimental banget? Gue takut.” Kinar terisak. Air matanya tiba-tiba
saja mengalir setelah Revan membentaknya tadi.
“Maaf.” Ucap Revan pelan. Kinar
langsung memeluknya. Melebarkan sepenuhnya tangannya agar dapat merangkul
seluruh tubuh Revan.
“Loe gak perlu minta maaf, loe gak ada
salah apapun koq,” Kinar berkata tenang.
“Tapi, apa menyayangi seorang sahabat
melebihi hak-nya itu bukan kesalahan?”
Kinar melepaskan pelukannya, lalu
menatap Revan. “Bukan. Itu bukan kesalahan. Wajar-wajar aja koq. Gue juga
sayang banget sama loe, sayang.... banget.” Kinar tersenyum lebar.
“Tapi ini beda, Nar! Beda! Gue bukan
sayang sama loe sebagai sahabat gue, tapi, tapi gue cinta sama loe, Nar! Gue
cinta sama loe!” Revan berteriak keras, lalu bangkit dari duduknya. Kemudian
dia berjalan menuju ranjang putihnya dan menyandarkan kepalanya pada sisi depan ranjang. Tak lama kemudian
air matanya mengucur deras. Membawa aliran demi aliran luka yang sudah
bertahun-tahun tertanam di hatinya.
“Loe-cinta-sama-gue?” ucap Kinar,
kata-katanya seperti tersumbat di kerongkongan. “Hhh...” desahnya kemudian.
“Gak. Gak mungkin.
Loe bohong. Itu bener-bener mustahil!!!” Kinar berusaha meyakinkan dirinya
sendiri. Kembali ditatapnya hujan di luar sana yang semakin deras. Suara
dentuman gemuruh angin membuat malam itu semakin kelam.
“Gak ada yang
mustahil di dunia ini,” kata pria di sudut sana kemudian. “Apa loe tau, setiap
malam gue selalu nangis. Gue nyesel kenapa gue bisa punya perasaan sejauh ini
ke loe. Apa loe tau, hati gue terasa terbakar setiap kali gue liat loe deket
sama Dira. Apa loe tau, gue serasa dilecehkan saat loe dengan santainya menolak
ajakan gue, waktu gue minta loe pulang bareng sama gue. Dan loe malah pulang
sama cowok itu.”
Revan bangkit dari
duduknya, berjalan mendekati Kinar, dan mencengkeram keras bahu gadis itu. Mata
mereka langsung beradu tatap. Sedetik kemudian air mata mengalir di pipi
keduanya. “Apa loe tau! Udah berjam-jam gue nungguin loe waktu itu!!! Apa loe
tau! Rasa takut gue yang begitu cemas nungguin loe yang gak dateng malam itu!
Dan ternyata loe malah pergi sama cowok sialan itu! Hati gue sakit, Nar! Sakit!
Setiap hari topik loe gak pernah jauh dari Dira! Selalu Dira yang ada di
pikiran loe! Apa sekalipun gue gak pernah melintas dalam pikiran loe, hah!!!
Apa gue bener-bener gak berarti buat loe! Jawab, Nar! Jawab!!!” kata Revan
menyala-nyala. Wajahnya merah padam karena amarah yang tak terbendung itu kini
telah dia tumpahkan.
“Revaan... gue...
gue...” Kinar terisak dalam tunduk. Tangisnya makin lama makin terdengar
mengharukan. Dia tak berani manatap Revan walau hanya sedetik pun. “Maafin gue,
gue gak tau. Gue gak tau kalo’ selama ini ternyata–“ bibirnya tiba-tiba
terkunci. Terkunci oleh sentuhan benda lembab yang kini masih menempel kuat nan
lembut di bibirnya. Bibir Revan.
Dua menit kemudian,
Kinar melepaskan ciuman hangat dari sahabatnya itu, saat dia sadar akan apa
yang sudah dilakukan Revan.
“Revan!!! Apa yang
loe–ah!!!“ Kinar berlari, membuka pintu kamar itu dan keluar meninggalkan Revan
yang masih tak habis pikir akan sikapnya tadi.
Revan terduduk.
Terduduk dalam perasaan bersalah yang semakin membuatnya tak sanggup bertahan.
Air matanya kembali berguyuran, seiring dengan rintikan hujan di luar sana yang
tak henti. Revan menangis sejadi-jadinya, menghukum dirinya dengan kata-kata
tajam yang tertutur dari bibirnya.
Tante Bella yang
melihat Kinar keluar dengan wajah memerah dan mata sembab, langsung berlari
menuju kamar Revan dan menemukan anak semata wayangnya itu sedang duduk
tertunduk di lantai, dengan suara tangisan yang membuat hati ibunya teriris.
Dihampirinya pria itu
dan merangkulnya.
“Revan jahat bunda!!!
Revan jahat!!!” Bella tak berkata apapun. Dibiarkannya Revan menumpahkan
kesakitannya tanpa ditanyai. Namun tangannya tak henti-henti membelai rambut
putra kesayangannya itu.
“Revan jahat...!!!
Revan udah bikin Kinar nangis!!! Revan udah melakukan hal yang gak seharusnya
Revan lakukan bunda, Revan jahat!!!” Revan terus menyalahi dirinya. Tangisannya
tak juga redam.
“Sabar sayang, gak
usah menghakimi diri kamu sendiri kayak gitu! Bukan kamu yang salah! Tapi hati
kamu. Hati kamu yang udah bikin kamu melakukan hal itu, hati kamu yang merubah
kamu menjadi seperti ini,” kata Bella kemudian. Dipeluknya erat-erat Revan,
lalu dikecup keningnya.
“Bunda... gimana
kalo’ nanti Kinar gak mau ketemu Revan lagi. Revan takut...”
“Gak ada yang perlu
ditakutin sayang. Bunda yakin, kelak Kinar akan mengerti akan sikap kamu tadi.
Yang sabar ya, sayang...”
“Makasih bunda,”
Revan membenamkan wajahnya semakin dalam ke dalam pelukan wanita yang paling
disayanginya itu. Rasa bersalahnya perlahan-lahan memudar. Tergantikan oleh
kehangatan hati seorang ibu yang selalu mengerti dia.
☼ ☀☼ ☀☼
Dddrrtt... ddrrttt...
dddrrrttt...
Suara getaran ponsel
membangunkan Kinar dari tidur nyenyaknya. Perlahan dia membuka matanya, menarik
selimutnya, dan meraih ponsel yang dia letakkan di bawah bantal. Kinar
menggeliat kecil. Kepalanya yang tak gatal digaruk-garuk, lalu dia menguap
keras.
“Hhooaahhmm!!! Siapa
sih ini? Ganggu tidur orang aja!” Kinar membuka sebuah pesan. Dari Revan. Saksama,
dia membacanya,
Selamat ulang tahun ku ucapkan
Biarpun tak semahal berlian
Meskipun tak sewangi bunga mawar
Dan tak seindah rangkaian puisi
Hanya kalimat sederhana yang merangkum semuanya
Dengan doa di setiap kata yang terucap
Biarpun tak semahal berlian
Meskipun tak sewangi bunga mawar
Dan tak seindah rangkaian puisi
Hanya kalimat sederhana yang merangkum semuanya
Dengan doa di setiap kata yang terucap
Kinar
tertegun sejenak. Tenggorokannya tercekat. Revan. Atas semua perbuatan yang
telah dia lakukan, dia masih berdoa untukku, untuk hari ulang tahunku,
batinnya.
Kinar
mengernyit. Otaknya tak mampu berpikir. Ditengoknya jam dinding di atas
mejanya, pukul dua belas lebih lebih tiga menit.
Kinar
kembali membaca pesan itu sekali lagi. Pesan yang begitu sederhana, namun
memiliki arti indah dalam setiap barisnya. Tiba-tiba Kinar menangis. Air
matanya tak tertahan, jatuh tepat di atas sebuah nama, Revan.
Kinar
mendekap ponselnya erat. Dalam heningnya malam dia bergumam,
“Makasih,
Van. Makasih. Loe sahabat terbaik yang gue punya. Tapi, gue masih gak habis
pikir sama sikap loe tadi malem, kenapa loe harus ngelakuin itu ke gue! Dan
kenapa juga loe harus suka sama gue! Cinta sama gue! Gue emang seneng, pada
dasarnya gue ternyata berarti banget buat loe, tapi, tapi gue gak mau kalo’
sampe cinta loe itu bikin hubungan kita jauh... gue gak mau pisah sama loe, gue
gak mau kehilangan loe! Gue sayang sama loe, Van! Gue sayang sama loe!” Kinar
terisak. Air matanya mengalir deras. Mengucur tanpa henti, seiring dengan
hilangnya satu persatu rasa sakitnya atas perbuatan Revan.
Terima
kasih, gumamnya lagi.
☼ ☀☼ ☀☼
Kinar berjalan
tertunduk, menyusuri lapangan basket, menaikki tangga, dan berhenti tepat di
depan sebuah kelas yang di daun pintunya telah berdiri seorang pria yang
membuatnya menangis tadi malam.
Mata sembabnya yang
merah melotot, memperhatikan pria yang membuat tidurnya malam tadi benar-benar
tidak nyenyak, setelah pria itu mengirimkannya pesan singkat. Ditambah lagi
ketidak pedulian orang tuanya akan hari ulang tahunnya tadi pagi. Mereka
bersikap acuh, terburu-buru dan tanpa menengoknya sedikit pun. Memanggil
namanya pun tidak.
Kinar menundukkan
wajahnya lagi, malu memperlihatkan wajah nanarnya dengan mata sembabnya.
Siapapun akan tahu dia sudah menangis, begitu juga Revan. Dan dalam nyatanya
pun, Revan sangat benci melihat air mata Kinar mengalir. Dia tak pernah tega
melihat wanita manapun termasuk Kinar menangis.
“Maaf,” ucap Revan saat
Kinar melewatinya. Dicengkeramnya lengan Kinar, kuat. Kinar meringis menahan
sakit.
“Lepasin!” katanya
singkat.
“Maafin gue,” kata
Revan lagi.
“Revan, please!”
Kinar meronta pelan. Revan melepaskan cengekeramannya, lalu ditatapnya Kinar.
“Loe, nangis? Kenapa?
Apa karena gue?”
“Ini bukan karena
loe, dan bukan juga karena kejadian tadi malam.” Jawab Kinar sambil berjalan ke
bangkunya, duduk, lalu menopang dagunya dengan sebelah tangannya.
“Terus?”
“Loe gak perlu tau.”
Kata Kinar kemudian. Wajahnya yang lusuh kemudian dibenamkan dalam lipatan
tangannya di meja. “Bisa gak loe tinggalin gue sendiri?” lanjutnya, setelah
mengangkat kepalanya.
“Tapi, gue belum
dapet jawaban maaf dari loe,” Revan berkata sendu.
“Van...”
“Hum. Oke. Gue
pergi.” Revan bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar menuju peradabannya
yang semula.
Kinar memperbaiki
posisi duduknya, lalu menarik tas ranselnya, dan hendak memasukkannya ke dalam
kolom, hingga tak sengaja sesuatu dalam kolom itu tersenggol dan terjatuh. Kinar memungutnya. Seikat bunga lily putih,
terikat indah dengan akar pohon tanaman beluntas yang sangat menawan, bagaikan
mahkota para dewa-dewa.
Kinar menciumnya,
“Wanginya segar!” katanya kemudian. Tersungging sebuah senyuman kecil nan manis
di wajahnya.
Diletakkannya bunga itu di meja, lalu kembali
memasukkan tas-nya.
Setelah itu,
diambilnya lagi bunga itu. Kinar tertegun saat tak sengaja dia menemukan sebuah
kertas kecil terselip di antara makhluk wangi itu. Kinar mengambilnya, lalu
membacanya,
“MAAF!” hanya itu
kata yag dia temukan disana. “Bunga lily, hum... bunga kesukaan gue. Tapi ini
dari siapa? Koq bisa nyasar ke bangku gue, yah? Dan, maaf?!” gumamnya.
“Itu dari gue,” kata
seorang pria yang tiba-tiba menampakkan wajahnya kembali setelah lama
bersembunyi di balik jendela.
“Revan?!” Kinar
tersentak.
“Maafin gue. Gue
khilaf, Nar. Gak seharusnya gue ngelakuin hal bodoh kayak gitu!” Revan
bersimpuh di hadapannya, berusaha meminta maaf, layaknya seorang anak durhaka
yang memohon ampun pada ibunya.
Tak lama berselang,
Kinar tertawa. Tawanya pecah saat melihat Revan begitu serius mengucapkan kata
maaf itu, sampai-sampai dia mengorbankan harga dirinya di depan gadis yang
dicintainya, memohon ampun.
“Hahahaha... loe
lucu! Ayo, bangun dulu!” Kinar menuntunnya berdiri, duduk berhadapan dengannya,
lalu memeluk Revan erat. “Gue sayang sama loe, jangan kayak gitu lagi, yah.”
Kinar menitikkan air matanya, lagi.
Revan melepaskan
pelukannya, menatap Kinar tajam, lalu tertunduk. “Tapi, Nar. Gue... gue gak
cuman sekedar sayang sama loe. Gue cinta sama loe. Apa loe gak marah, karena
gue udah menghianati perasaan gue sebagai sahabat loe?”
“Kalo’ dengan
mencintai gue bisa bikin loe bahagia, gue ikhlas. Gue akan ikut tersenyum,”
“Kinar...”
“Mmm?”
“Maafin gue yah! Soal
yang tadi–” kata-kata Revan terhenti saat sesuatu yang lembut nan hangat
menyentuh bibirnya.
“Soal yang itu maksud
loe?” Revan tertegun. Kinar hanya tertawa melihat ekspresi Revan yang tak
menyangka dia akan berlaku demikian.
“Udah, gak usah
diambil pusing. Gak apa-apa koq! Mungkin itu cuman ungkapan kekesalan loe doang
ke gue, iya kan?” tanya Kinar, lesung pipinya tersungging nan indah di sudut
senyumannya. Kinar merasa lebih nyaman, lebih tenang, dan kesedihan di hari
ulang tahunnya ini terasa sirna. Ternyata yang dibutuhkannya untuk tetap
tersenyum hanya Revan.
Gue yakin, tangisan
gue tadi malem bukan karena Revan cium gue, tapi karena gue kangen sama dia,
batinnya.
“Jadi, loe maafin
gue, kan?” Revan bertanya lagi.
“Pastinya sayang!”
“Makasih Kinar...
makasih!” Revan langsung menghambur dalam pelukan gadis itu, membelai rambutnya
lembut dan menghirup wangi shampo yang melekat pada rambut Kinar.
“Oh iya, entar sore,
ke Miracle Lake, yah. Gue punya kejutan buat loe! Oke!”
“Yap! Gue pasti
dateng!”
“Oh iya, satu lagi.
Jangan pernah nangis di depan gue lagi, gue gak suka liatnya!” Revan cemberut.
“Iya-iya... kayak
dia-nya gak nangis aja! Gak malu apa loe, nangis di depan cewek! Cengeng!”
“Itu kan luapan
perasaan, sayang!” Revan mencubit pipi Kinar.
“Aduh sakit! Jangan
suka nyubit dong!” Kinar menoyor kepala Revan.
“Gimana? Suka sama
bunganya, gak?”
“Iya. Suka banget.
Masih seger. Pasti dipetik langsung dari taman bunga bunda loe!”
“Gitu deh! Haha...”
Revan terkekeh. Tawa lepasnya yang dulu kini telah kembali merekah.
“Hahaha... dasar, KINAR
LOVERS!”
“Kinar! Happy
Birthday! Ini buat kamu!” kata Dira sambil menyerahkan sebuah Teddy Bear Pink
bermantel pada adik angkatnya itu. Kinar menerimanya, langsung memeluk boneka
itu dan memainkan bulu-bulu halusnya pada pipi.
“Makasih, kak! Baik
deh! Bonekanya lucu! Nge-gemesin!”
“Berarti bonekanya
kayak kamu dong!”
“Ha? Koq kayak aku?”
Kinar menunjuk dirinya.
“Iya. Habis, kamu
juga ngegemesin... lucu banget!” Dira mencubit kedua pipi Kinar, menjewernya
selama beberapa detik, lalu melepasnya.
“Aduh, kakak! Sakit!”
Kinar mengelus pipinya yang selalu menjadi bahan cubitan dua pria itu.
Saat itu mereka
sedang duduk-duduk di bawah sebuah pohon rindang dekat lapangan basket.
Kebetulan Kinar sedang menunggu Revan latihan basket. Jadi daripada waktunya
terbuang percuma, dia iseng aja ikut bermain gitar dengan Dira.
“Adik kecil, entar
sore mau gak jalan bareng kakak? Kita rayain ulang tahun kamu, beli ice
cream... terus nonton, gimana? Mau, mau?”
“Serius kakak mau
ngajakin Kinar jalan, beli ice cream sama nonton? Wah asyik-asyik!!!” Kinar
bersorak kegirangan.
“Jadi mau gak? Entar
kita beli boneka baru lagi, terus kakak mau kenalin kamu sama seseorang juga!”
“Mau banget, kak.
Tapi, kenalin sama siapa, kak?” Kinar bengong. Ditangkapnya ekspresi wajah Dira
yang sumringah.
“Ada deh, rahasia
dong. Ya udah, entar jam empat sore, kakak tunggu di food court depan Mall,
oke?” Dira mengangkat jempolnya.
“Sip brada!” Kinar
hormat. Dira langsung mengacak-acak rambutnya.
Entah apa yang
membuat Kinar selalu tersenyum jika bersama Dira, membuat orang di sudut sana
menekan-nekan dadanya, mencari sebuah kesabaran.
☼ ☀☼ ☀☼
“Parfum udah. Baju
siap. Dandanan, cantik. Apalagi ya, yang kurang?” Kinar berkacak pinggang.
Ditatapnya wajahnya sekali lagi di cermin, masih cantik. “Oh iya! Tas lupa!
Aduh, koq benda sepenting itu gak gue inget ya?” Kinar langsung berlari menuju sebuah lemari cukup besar berwarna
merah muda tempat seluruh tas-nya disimpan. Diambilnya sebuah tas berwarna
sepadan dengan warna kets-nya..
“Siap!” serunya kencang.
“Hum, tapi perasaan masih ada yang gue lupain deh? Aduhh... apa ya?” Kinar
duduk di ranjang. Kepalanya ditekan-tekan, berusaha mengingat sesuatu yang
menurutnya begitu penting.
“Bodo ah! Palingan
gak penting!” gumamnya lagi. Kinar pun berlari, menuruni anak tangga, dan
melesat keluar rumah. Kinar menyetop sebuah taksi untuk mengantarnya ke tempat
tujuan.
Dengan balutan
tanktop putih polos, celana gantung berbahan jeans selutut, dan sepatu kets
RipCurl berwarna hitam, Kinar siap mengitari seluruh deretan toko-toko itu
bersam Dira.
☼ ☀☼ ☀☼
Revan berdecak keras. Lama banget sih
lampu merahnya, rengut Revan dalam hati. Namun dia berusaha sabar. Diliriknya
jam tangannya sekali lagi, sudah menunjukkan pukul empat lebih tiga belas
menit.
“Hhh.. semoga Kinar gak marah karena gue
telat,” gumamnya sambil tetap menunggu lampu hijau kembali menyala.
Sementara di belakangnya, sebuah taksi
terus saja membunyikan klaksonnya, meminta Revan agar segera melajukan deruman
motornya. Seorang gadis di dalam taksi itu memperhatikan pria bermotor di
depannya. Merasakan ada yang aneh dengan penglihatannya. Dia merasa begitu
mengenal pria itu, pria dengan helm hitam dan sweater hijau marunnya. Pria itu
seperti Revan, bukan seperti lagi, bahkan begitu mirip.
Sejenak berkelebat bayangan tentang Revan
dalam angannya, hingga suara klakson taksi yang ditumpanginya membuyarkan
pikirannya, dan mobil pun kembali melaju.
☼ ☀☼ ☀☼
“Hum. Sekarang kita mau kemana lagi nih,
kak?” tanya Kinar setelah keluar dari bisokop bersama Dira.
“Makan yuk!” Dira menawarkan.
“Boleh, boleh. Tapi dimana? Di restoran
jepang kesukaan aku yuk, kak!” ajak Kinar.
“Oke. Cabut!” Dira langsung menarik tangan
Kinar dan hendak membawanya ke sebuah restoran jepang terkenal di ujung Mall,
sampai Kinar menghentikan langkahnya.
“Tunggu kak! Tadi kakak bilang mau
ngenalin aku sama seseorang, mana kak?”
“Oh iya! Kakak lupa! Ya udah, entar kakak
telepon deh orang itu, suruh dia nyusul. Kebetulan dia juga lagi jalan-jalan di
sekitar sini.”
“Oh gitu ya. Ya udah, jalan yuk!” mereka
pun berjalan bergandengan, menuju ke sebuah tempat pengisi perut favorit Kinar.
“Dira!” seru seorang gadis di belakang
mereka tiba-tiba, membuat Kinar tersentak dan secara respek langsung melepaskan
gandengannya. Fana.
“Hai, Fan. Kebetulan banget,” sapa Dira
balik, dan langsung memeluk gadis itu. Kinar sampai tak bisa berkata melihat
kejadian itu. “Tadi aku rencananya mau hubungin kamu, suruh kamu nyusul kesini.
Eh ternyata, jodoh. Ketemu langsung,” Dira nyengir.
“Iya. Hehe. Ini siapa sayang? Adik kecil
yang sering kamu ceritain itu ya?” Fana menatap Kinar tajam.
“Iya. Namanya Kinar, adik kelas kita.”
Dira memperkenalkan.
“Halo Kinar, Fana.” Fana menjulurkan
tangannya.
“Halo, kak. Kinar,” Kinar menjabat tangan
Fana. Terlintas dalam benaknya, ada hubungan apa Dira dengan gadis ini, hingga
dia memeluknya? Dan Fana memanggilnya sayang?
“Ngobrolnya entar disana aja yuk. Laper
nih,” kata Dira dan langsung merangkul dua gadis itu.
“Jadi gini, Nar.” Dira memulai. Di
depannya hanya tinggal dua buah piring kosong tak bersisa karena isinya telah
mengalir indah dalam perut sixpack-nya. Di sampingnya duduk Fana, sementara di
hadapannya Kinar masih menyeruput green tea-nya. “Kakak, udah jadian sama kak
Fana.” Lanjut Dira. Kontan kata-katanya langsung membuat Kinar menyemburkan
minumannya, “Apa?” serunya keras. Seluruh pengunjung yang sedang menyantap
makanan mereka langsung melirik ke arahnya.
“Sorry, kak. Gak sengaja.” Kinar nyengir.
Tapi dalam hatinya masih tersimpan seribu tanda tanya dan perasaan takut.
Kenapa bisa?
“Iya, gak apa-apa. Wajar koq kalo’ kamu
kaget. Kakak yang pacaran aja sempat gak percaya ternyata kakak bisa jadian
sama cewek sehebat Fana.”
“Kakak, jadian sama kak Fana? Kapan?”
Kinar bertanya dengan wajah sendu. Rasa sakit tiba-tiba menggerogoti tulang-belulangnya.
Ingin rasanya dia menangis, tapi air mata itu berusaha ditahannya.
“Seminggu yang lalu. Kakak seneng deh! Ya
kan sayang?” Dira melirik Fana yang masih menyantap makanannya. Wajahnya
ditundukkan. Malu untuk memperlihatkan rona merah di pipinya. Dia hanya
mengangguk.
“Oh, selamat ya, kak! Kinar ikut seneng!”
Kinar tersenyum nanar. Hatinya semakin perih saja saat melihat Dira
mengacak-acak rambut Fana lembut, seperti yang biasa dilakukannya pada Kinar.
Hampir aja gue bilang ke kak Dira kalo’
gue suka sama dia. Mau dibawa kemana muka gue entar?! Huft! Gue kirain selama
ini kak Dira suka sama gue! Ternyata dugaan gue salah! Dia ternyata suka sama
kak Fana! Patah hati deh! Hiks, hiks, hiks... batin Kinar dalam.
Setelah itu dia langsung meminta izin
menuju toilet.
Disana Kinar menangis. Menatap wajahnya di
cermin yang sangat pucat. Matanya semakin sembab.
“Ternyata, selama ini dugaan gue salah!
Kenapa gue begitu bodoh!!!” air matanya semakin mengucur deras, seiring dengan
tangisan langit di luar sana. Ya, hari ini memang hujan. Hujan yang sangat
menyakitkan untuk Kinar. Tapi mungkin, kali ini Revan sedang menikmatinya.
Bayangan Revan kembali terlintas dalam
benaknya. Betapa kejamnya dia selama ini selalu mencampakkan Revan demi Dira.
“Maaf Revan! Maaf!” isaknya. Tiba-tiba
semua janji yang dia buat untuk Revan kembali terngiang. Mudah sekali dia
membatalkan janji itu. Janji yang membuat Revan selalu menunggu. Membuat Revan
tak malu untuk menangis di depannya. Janji yang membuat Revan begitu nyata mengungkapkan
perasaannya. Dan janji yang kini membuat Revan harus terduduk lemas di bawah
hujan.
“Oh My God! Revan!” Kinar teringat akan
janjinya pada Revan untuk merayakan ulang tahunnya di Miracle Lake. Sekejap,
dia langsung berlari, mengambil tas-nya, melesat melintasi hujan dan tanpa
pamit pada dua pasangan itu, dia langsung menyetop sebuah taksi yang akan
mengantarkannya ke Miracle Lake.
Di perjalanan, Kinar tak kuasa menahan air
matanya. Dia terus saja menangis. Menangisi betapa kejamnya dia, membiarkan
Revan yang mungkin kini sedang menunggunya di bawah hujan.
“Tunggu gue Revan. Tunggu gue. Gue mohon,
tetap disana! Jangan pergi! Gue sayang sama loe!”
☼ ☀☼ ☀☼
Langit sudah mulai gelap saat Kinar tiba
di sana. Dia melirik jam tangannya sekali lagi, pukul enam lebih lima belas
menit. Apakah Revan masih menungguku disana?
Kinar turun dari taksi dan meminta sang
sopir untuk menunggunya sebentar. Setelah itu, dia langsung berlari, melesat
melewati hujan dan sampai tepat di depan danau yang kini tampak kemerahan
dengan pesona cantik sang sunset.
Diperhatikannya danau itu sesaat. Ada
begitu banyak hiasan-hiasan cantik dari akar pohon berwarna hijau yang
menggantung setiap tangkai bunga lily disana. Di tengahnya, terletak sebuah
meja kayu panjang yang di atasnya terdapat sebuah kue tart berukuran sangat
kecil dan sebuah mahkota dari bunga-bunga kecil yang dibuat Revan. Kinar
tertegun. “Indah banget...” gumamnya.
Sempat dia lupa akan Revan karena begitu
terpesona, sampai suara petir mengagetkannya, membuat Kinar tersentak dan
kembali mencari Revan.
“Van!!! Loe masih disini? Revan... loe
dimana?!” seru Kinar keras. Sudah tak dipedulikannya lagi hujan yang telah
membuat seluruh tubuhnya basah kuyup. Yang dia inginkan hanyalah menemukan
Revan dan meminta maaf padanya.
Hampir tiga puluh menit Kinar disana tapi
tak ditemukannya juga Revan. Bintang dan bulan mulai nampak dalam gelapnya
Miracle Lake malam itu. Hujan pun sudah reda.
Sempat Kinar putus asa, dia berpikir
mungkin saja Revan telah meninggalkan tempat ini sejak tadi, hingga sebuah
tangan mencengekeram lengannya. Revan. Revan ada disana! Terduduk lemas di
bawah pohon yang ditutupi rimbunan semak belukar. Wajahnya terlihat sangat
pucat. Bajunya basah kuyup terguyur air hujan dan hidungnya mengeluarkan darah.
Kinar tersentak.
“Revan!!!”
Kinar berlutut di hadapan pria malang itu.
Langsung didekapnya tubuh Revan yang menggigil.
“Maafin gue, Van! Gue lupa sama loe! Gue
lupa sama janji kita! Maafin gue!” Kinar terisak lagi. Revan membelai
rambutnya.
Dalam kondisinya yang seperti itu, Revan
masih mampu berucap, “Nar. Akhirnya loe dateng juga!”
“Iya, Van. Gue dateng. Gue sekarang ada
disini, di depan loe.” Kinar tersenyum dalam lelehan air matanya. “Ayo kita
pergi, Van. Badan loe udah kedinginan banget. Dan, kening loe panas. Loe
demam?” Kinar bertanya penuh kekhawatiran. Revan hanya tersenyum. Kinar
langsung membantunya berdiri, menuntunnya menuju taksi di luar sana.
Tapi tiba-tiba, Revan ambruk. Kaki
jenjangnya tak mampu menopang tubuhnya. Revan pingsan. Dia terjatuh tepat di
atas pangkuan Kinar. Gadis yang dicintainya.
☼ ☀☼ ☀☼
Sudah dua minggu Revan terbaring lemas di
rumah sakit. Keadaannya dari hari ke hari semakin memburuk. Kinar tetap
menunggunya dengan setia. Menemaninya dalam ketidak sadarannya. Bella sering
meminta Kinar agar pulang dan berisitirahat. Tapi Kinar tidak pernah
mengiyakan. Setiap hari waktunya dihabiskan disana. Bahkan hampir setiap malam
Kinar menginap. Mengintai setiap perubahan kondisi Revan. Berharap sahabat yang
disayanginya itu segera siuman dan tersenyum lagi untuknya. Namun sayang, sejak
kejadian pingsan-nya Revan di Miracle Lake lalu, Revan belum juga siuman. Kinar
sedih memang, tapi dia tetap menguatkan hatinya, meyakinkan hatinya bahwa Revan
akan sembuh.
Pernah Kinar bertanya pada Bella, penyakit
apa yang diderita Revan. Tapi Bella nyatanya tak pernah mau memberitahunya. Dia
hanya mengatakan, “Tenanglah. Revan akan sembuh. Percaya sama tante,” dan itu
membuat Kinar semakin percaya.
Suatu hari Bella meminta Kinar
mengambilkan pakaian ganti untuk Revan. Dengan senang hati Kinar mengiyakan
permintaan wanita yang sudah dianggapnya ibu itu.
Sesampainya di rumah Revan, Kinar mengetuk
pintu. Berharap wanita di dalam sana membukakan pintu untuknya. Dan benar saja,
pintu terbuka. Dari dalam keluar seoarng wanita paruh baya berusia sekitar lima
puluh tahun, dengan daster merah marun dan rambut yang digulung rapi.
“Non Kinar, ya?” sapanya saat menemukan
Kinar sudah berdiri di ambang pintu.
“Iya Bi,”
“Mau ambil baju buat Mas Revan?”
“Iya. Boleh saya masuk?”
“Oh, silahkan, silahkan.”bi Ijah
mempersilahkannya masuk.
Kinar berjalan menyusuri setiap sudut di
rumah itu, menaikki tangga dan sampai di depan kamar Revan. Dibukanya pintu
kamar itu perlahan. Ssrrtt... ssrrtt... suara pintu yang tergesek itu membuat
bulu kuduk Kinar merinding.
Kinar mengitari kamar yang tak terlalu
besar untuk ukuran pria seperti Revan itu. Kamarnya unik. Cat-nya benar sepadan
dengan kepribadian Revan yang tak jelas, hitam-putih. Di sana terdapat dua buah
lemari panjang, satu berisi buku-buku pelajaran, dan satunya lagi berisi
baju-baju milik sang empunya kamar. Tepat di depan ranjangnya, sebuah kaca yang
cukup besar membentang, menunjukkan matahari siang yang terik.
Kinar berjalan menuju lemari pakaian Revan
yang terletak di samping meja riasnya. Diambilnya beberapa potong baju, dan
dimasukkan ke dalam tas tangannya.
Tiba-tiba Kinar tertarik untuk melihat
buku apa saja yang ada di meja belajar Revan. Dia kemudian mengarahkan
langkahnya menuju meja belajar Revan yang berwarna hitam pekat di dekat pintu
kamar mandi. Matanya berputar-putar menjelajahi satu demi satu buku yang ada
disana, hingga dia berhenti pada satu titik. Sebuah buku bersampul biru menarik
perhatiannya. Segera dimabilnya buku yang di sampul depannya bertuliskan
‘DIARY’.
Kinar kaget. Diary? Sejak kapan Revan
nulis Diary? Dia kan cowok? Buat apa nulis beginian? Gue yang cewek aja gak
pernah nulis diary!!! Pikir Kinar bingung. Lalu dibukanya diary itu perlahan.
Terpampang jelas potonya dengan Revan empat tahun lalu saat mereka baru
bertemu, di halaman awal Diary itu. Kinar tersenyum. Tak disangkanya Revan
masih menyimpan poto itu.
Lalu tangannya kembali bermain-main,
membongkar setiap halaman yang ditemukannya, hingga sampai pada halaman
terakhir, dimana disana tercecer bercak-bercak merah yang Kinar yakini itu
adalah, DARAH.
Kinar membacanya,
Sabtu, 20 September
2010
Dear Diary...
Tau gak? Hari ini
malaikatku ulang tahun. Seneng deh. Tadi aku juga udah ucapin happy birthday ke
dia, tepat jam 12 malam loh. Keren kan!!! *moga aja aku orang pertama yang
ngucapin*
Tapi aku masih
sedih... aku udah bikin dia nangis malam ini. T^T
Tadi soalnya bibir +
mulut aku nakal, maen sosor, maen ceplas-ceplos. Alhasil, dia nangis. Aku juga
udah bentak dia tadi. Aku nyesel banget. Aku takut dia gak bakalan maafin apa
yang aku lakuin tadi. Aku takut dia ninggalin aku. Aku gak mau pisah sama
dia...
Kamu tau kan, aku
sayang + cinta mati sama dia. Bahkan aku rela memberikan hari-hari terakhirku
ini hanya buat dia. Hanya agar dia senyum. Aku kangen sama senyumannya. Cuman
senyuman itu yang bisa bikin aku semangat dan bangun dari keterpurukan.
Makanya, hari ini
juga aku pengin kasih kejutan buat dia di Miracle Lake, sebagai tanda minta
maaf dari aku. Aku pengin banget liat dia senyum + ketawa untuk terakhir
kalinya, sebelum aku bener-bener pergi ninggalin dunia ini. Dan hari ini juga
aku pengin jelasin tentang sakit ini, tentang penyakit yang aku derita ini.
Aku pengin dia tau
kalo’ kita gak akan bisa bersama selamanya. Aku pengin dia tau kalo’ dokter
udah vonis, kalo’ kanker otak yang aku derita ini akan membunuhku dalam waktu
tiga minggu ini.
Aku belum siap untuk
mati! Aku belum siap untuk ninggalin dia! Aku belum siap liat dia nangis! Dan
aku gak mau semua itu terjadi! Aku takut Ya Allah!
Kenapa?! Kenapa harus
ada matahari terbenam di hari yang sempurna?! Kenapa harus ada kematian di
kehidupan yang istimewa?! Kenapa juga harus ada kanker otak?! Kenapa?! Kenapa
Tuhan gak ijinin aku untuk bersamanya lebih lama lagi?! Aku butuh dia...
Kinar... maafin aku!
Aku udah sembunyiin semua ini dari kamu! Aku hanya gak mau liat kamu nangis!
Liat kamu sedih! Aku gak mau kamu akan tambah sakit! Aku gak mau... aku sayang
kamu...
Kinar terduduk lemas. Sendi-sendinya
terasa patah. Kakinya tak mampu lagi bergerak. Seluruh darah di otaknya serasa
tumpah.
Kembali dia menatap apa yang baru saja
dibacanya. Kanker otak? Penyakit itu? Ada pada Revan?
Kinar mengernyit. Tak mampu berpikir. Dia
benar-benar tak bisa percaya.
Kanker otak? Kenapa bisa?
“Revann... gak mungkin! Semua ini bohong!
Gak! Gak mungkin!!!” Kinar langsung bangkit, mengambil tasnya dan langsung
berlari keluar, menuju rumah sakit tempat Revan dirawat. Air matanya tak kuasa
tertahan lebih lama.
Sakit apa lagi ini? Tidak cukupkah sakit
yang ku derita karena perlakuannya? Kenapa Kau tambahkan dengan sakit yang
lebih parah seperti ini? Kinar bergumam dalam isaknya. Dia sudah tak mampu lagi
berteriak. Suaranya tercekat di kerongkongannya. Tertahana dan tak mampu
keluar. Hanya air mata yang kini mengiringi langkah kakinya.
☼ ☀☼ ☀☼
“Bunda, tolong kasih ini ke Kinar ya,
kalo’ Revan udah gak ada nanti.” Kata Revan lemah sambil menyerahkan selembar
surat kepada bundanya. Dia baru saja sadar dari tidur panjangnya, namun
badannya masih lemas. Saat siuman tadi, Revan langsung tringat akan Kinar. Dia
pun meminta secarik kertas dan sebuah pena untuk menuliskan kata-kata
terakhirnya untuk sahabat yang paling dikasihinya itu.
“Jangan berkata begitu, nak! Revan akan
sembuh! Percaya sama bunda!” Bella menangis mendengar ucapan dari putranya.
Sambil menggenggam erat wasiat terakhir dari Revan.
“Bunda yang sabar ya. Revan sayang sama
bunda!”
“Revan, anakku!!!” tiba-tiba Bella
menangis sejadi-jadinya, memeluk erat-erat tubuh Revan yang mungkin umurnya
hanya dapat terhitung jari.
Kinar tiba di kamar Revan. Dilihatnya
Bella yang sedang terisak di sudut ruangan. Di sana juga ada Revan yang sudah
siuman, menyambutnya dengan senyuman.
“Revan!!!” Kinar berseru keras dan
langsung memeluk Revan. “Jangan pergi!!! Gue mohon!!! Gue masih butuh loe
disini!!!” Kinar berkata sendu, air matanya semakin mengucur deras.
“Maaf ya!” kata Revan pelan sambil
membelai rambut Kinar dengan tangannya yang masih terpasang infus.
“Loe gak perlu minta maaf! Loe gak punya
salah!”
“Van, kenapa loe gak pernah cerita soal
ini ke gue! Kenapa!!!”
“Maaf. Gue gak tega buat cerita. Gue gak
mau loe nangis,” tiba-tiba air mata mengalir di pipi Revan. “Jangan nangis
lagi, gue mohon. Gue gak mau air mata loe terbuang sia-sia gitu aja demi gue!”
“Revaaan....hiks, hiks, hiks...”
“Maafin gue. Gue gak bisa nemenin loe
lagi.”
“Jangan pergi... gue sayang sama loe!!!”
kata Kinar yang masih dalam dekapan pria itu. Revan mengangkat kepala Kinar
lalu mencium keningnya.
“Gue gak akan kemana-mana koq. Gue akan
tetap disini, di dalam hati loe.” bisiknya pelan.
“Jangan nangis lagi ya, janji?” Revan
mengangkat ibu jarinya.
“Uumm. Janji!” Kinar membalasnya dan
menautkan ibu jarinya. Cukup lama ibu jari mereka bertautan, dan tatapan mereka
terus beradu, hingga sebuah guncangan kecil membuat Revan tak kuat lagi
menopang jarinya. Tiba-tiba, lengannya ambruk. Jatuh tersungkur di sebelah
tubuhnya yang lunglai dan kini tak bernyawa. Revan pun pergi. Pergi untuk
selamanya...
Kinar mengiringi kepergiannya dengan
senyuman. Dia seduah berjanji tak akan menangis. Dan janjinya mampu dia tepati
walau untuk sesaat.
Selamat jalan sahabatku, selamat jala.
Semoga kau tenang di alam sana...
☼ ☀☼ ☀☼
Bella menyerahkan sepucuk surat pada Kinar
seusai upacara pemakaman. Wajahnya terlihat pucat menangisi kepergian anaknya.
Namun Kinar terlihat lebih kuat dari
sebelumnya. Dia mampu berdiri tegak sekarang walaupun kesedihan akan kepergian
Revan masih sangat kuat menyelimuti dirinya.
“Apa ini tante?” tanyanya saat surat itu
sudah tergenggam erat.
“Surat dari Revan, dititipkan untuk kamu,”
“Revan?” Kinar bertanya lagi. Masih tak
percaya.
Kinar menatap surat itu lekat-lekat.
Tiba-tiba air matanya kembali tumpah. Dia sudah tak kuasa membendungnya sejak
tadi malam.
Dibukanya surat itu perlahan dan dibacanya.
Tertancap jelas tulisan tangan Revan disana.
Dear my best friend,
Azinda Kirana Hanum
Bila suatu hari
nanti,
ajalku datang menjemput,
dan ku harus
tinggalkan dunia ke suatu tempat disana,
jangan tangisi aku.
Bila suatu hari
nanti,
kau lihat ku
berbaring tak bernyawa,
kulitku tak lagi
hangat,
bibirku tak lagi
tampakkan keceriaan,
jangan tangisi aku.
Bila suatu hari
nanti,
kau sesali
perlakuanmu terhadapku,
kau ingat kenangan
indah kita bersama,
jangan menangis
karenanya.
Jangan ada air mata,
jangan kau sesali
semua,
karena aku justru
bahagia,
melepas semua derita.
Kau tak tahu beratnya
saat dunia memusuhimu,
menekan dan
menghimpitmu.
Aku bahagia,
karena bisa ku
tinggalkan semua luka kehidupan.
Jadi jangan menangis
sahabatku,
karena aku bahagia.
Jangan sesali kisah
kita,
kenanglah selalu.
Dan tersenyumlah
sahabatku,
tersenyumlah untukku.
Karena apa yang sudah
hilang tak mungkin kembali.
Waktu yang lalu tak
bisa kau ulang lagi.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar