Siang baru beranjak saat kakiku menapaki halaman
rumah yang hampir sepuluh tahun ini kutempati, sedangkan sekarang umurku baru
berjalan lima belas tahun. Ya, aku adalah seorang gadis yang baru menduduki
jenjang pertama di sekolah
menengah atas dan kini sedang menikmati masa SMA-ku
yang menurutku cukup menguras otak. Orang-orang sering berkata bahwa masa SMA
adalah masa yang paling indah, karena di sanalah kita akan memulai sebuah
kehidupan baru menuju kedewasaan. Namun bagiku, mengatakan masa SMA indah
adalah sebuah sunnah yang akan kukatakan saat aku benar-benar menikmatinya.
Kini, aku ingin berpacu melawan kemampuan otakku demi menghafal sejuta rumus
trigonometri matematika dan sejuta kata benda dalam bahasa Jerman. Ya, aku
memang belum menguasai betul materi pelajaran baru yang kutemui di SMA ini, dan
sedang memperdalam ilmu-ilmu yang sudah lebih dulu kukenal di bangku SMP,
karena menurutku kemampuanku yang alakadarnya ini belum mampu membawaku ke masa
depan cerah sebagai seorang dosen matematika seperti impianku. Bayangkan saja,
tadi aku hampir mati terduduk di bangkuku saat melihat soal ulangan bahasa
Inggris di atas mejaku. Aku memang bukan orang Inggris yang lancar speaking dan fasih grammar sejak lahir, aku hanyalah Ridha Utami Rizky yang sedari
kecil sudah dibiasakan oleh orang tuaku
untuk berbicara dengan bahasa Sasak, karena aku memang tinggal di Lombok. Jadi,
hasil ulangan bahasa Inggris tadi kupasrahkan saja pada yang Maha Kuasa dan
kujawab sesuai kemampuanku, dan satu lagi, tidak ada satupun yang boleh
menuntutku ke meja hijau karena hasil ulanganku yang tidak memuaskan itu.
Siang ini terlihat sedikit
mendung. Matahari sepertinya enggan menyinari langkah kakiku di siang ini. Dia
terus bersembunyi di balik awan hitam yang kupikir telah membentaknya seminggu
terakhir ini, hingga dia selalu mengalah dan membiarkan hujan membasahi
hari-hariku.
Aku baru akan duduk di teras
rumahku sepulang sekolah itu, saat tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang
bergetar di dalam saku seragam pramuka yang kukenakan. Aku segera meraih benda
yang ternyata adalah ponsel dan menekan sebuah tombol untuk menjawab panggilan
masuk.
“Halo?” jawabku sepelan
mungkin, agar orang di seberang sana yang kupanggil Mama tidak tersinggung
mendengar suaraku.
“Ky, pintu rumah Mama kunci,
soalnya sekarang Mama sedang di Masjid Agung, ada lomba gerak jalan antar SMA,”
“Terus, aku gimana dong?
Aku kan harus ganti baju, Ma?” keluhku dengan wajah cemberut.
“Kamu nyusul aja ke sini,
ganti bajunya ntar aja. Memangnya kamu gak mau nonton SMA kamu?” kata Mama
berusaha menenangkanku.
“Aku memang niatnya mau
nonton, Ma. Tapi aku kan harus ganti baju dulu?” aku masih bersikeras
ingin mengganti seragam yang penuh
keringat ini.
“Sudah, ntar aja. Sekarang kamu
buruan gih ke sini! SMA kamu hampir sampai nih,” kata Mama kemudian, dan
sambungan pun terputus. Aku merengut kesal dalam hati dan mengutuk Mama yang
tega sekali membiarkanku berlama-lama dengan seragam berbau asam ini.
Akhirnya kuputuskan untuk
menyusul Mama di Masjid Agung dan menonton penampilan SMA-ku. Aku segera
berlari ke halaman, menstarter motorku, dan memacunya menuju tempat yang
dimaksud Mama. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan satu titik pun
keberadaan Mama. Di sini sangat ramai, karena perlombaan ini memang diadakan
hanya satu kali setahun untuk memperingati kemerdekaan Indonesia, jadi wajar
saja kalau masyarakat Lombok Tengah khususnya Praya begitu bersemangat hingga
berbondong-bondong untuk menonton perlombaan bergengsi antar sekolah ini.
Setelah berputar-putar
cukup lama di tengah keramaian penonton dan tidak menemukan hasil, akhirnya
kuputuskan untuk duduk di bawah sebuah pohon besar di depan kantor Perikanan
dan menonton perlombaan itu dengan ditemani sepeda motorku. Cukup lama aku di
sana, tapi aku tidak menemukan SMA-ku memeragakan PBB-nya di hadapanku.
Sepertinya mereka telah berlalu sejak tadi. Huh, sungguh mengecewakan. Aku
tidak bisa melihat penampilan mereka yang menjadi tujuanku untuk datang
menonton ke sini. Tapi tak apalah, perlombaan ini kan belum berakhir. Aku masih bisa melihat
penampilan dari SMA lain yang kujamin tak kalah menariknya dari SMA-ku.
Setelah beberapa lama
berkutat memperhatikan jalan raya, tiba-tiba saja sekelompok regu dari sebuah
SMA memberhentikan barisan mereka tepat di hadapanku. Mereka menggunakan
setelan seragam atasan biru muda seperti Angkatan Laut dan warna biru dongker
sebagai celananya. Regu putra itu terlihat sangat kelelahan, hingga saat
seorang pelatih mereka datang membawakan air mineral, mereka sampai berebutan
mendapatkan jatah air terbanyak. Aku jadi teringat saat SMP dulu, saat aku ikut
perlombaan gerak jalan seperti ini. Selama perjalanan yang kupikirkan hanyalah
air. Haha, mungkin itulah yang juga mereka pikirkan saat memeragakan PBB mereka di jalan raya.
Sedang asyik-asyiknya
memerhatikan gerombolan regu putra yang kehausan itu, tiba-tiba saja aku
mendengar orang berteriak-teriak di belakangku. Segera aku menoleh dan
menemukan tiga orang gadis sedang berteriak-teriak sambil menyebut kata “namja”
pada salah seorang peserta gerak jalan di hadapanku.
“Itu! Namjaku yang di
tengah! Hey kamu! Siapa namamu! Aku suka kamu! Hey! Namja! Muah, muah!” seru
gadis-gadis itu. Aku sampai terbelalak melihat tingkah mereka. Apakah mereka
tidak memiliki rasa malu berteriak-teriak memanggil laki-laki seperti itu?
Aku mencoba mengikuti
perkataan mereka dan mencari sosok yang mereka elu-elukan itu. Di tengah. Hmmm.
Mataku terus menelusuri satu persatu sosok laki-laki yang ada di barisan
tengah, mulai dari barisan terdepan, hingga terbelakang, dan... Subhanallah! Tiba-tiba saja mataku
tertumpu pada sosok laki-laki di barisan tengah kedua dari belakang yang kini
sedang menatapku. Laki-laki itu berambut agak ombak berwarna hitam, kulitnya
putih dan terlihat bercahaya di bawah terpaan sinar matahari, matanya agak
sipit, dan aku merasa aku pernah melihatnya sebelum ini. Dia terus menatapku,
tepat di kedua bola mataku, hingga aku merasa canggung untuk balik menatapnya
dan memutuskan untuk membuang muka. Siapa dia? Apakah aku mengenalnya? Aku
merasa familiar dengan wajahnya? Tapi
aku lupa kalau aku pernah bertemu dengannya.
Aku masih penasaran dengan
sosok tadi, jadi kuputuskan untuk mengarahkan mataku kepadanya lagi dan astaga!
Dia masih di sana, menatapku tanpa berkedip. Oh, Tuhan! Apakah aku hanya
bermimpi? Apakah aku bermimpi akan adanya seorang pangeran tampan yang
menatapku? Ayolah... ini dunia nyata. Tidak mungkin laki-laki setampan dia akan
begitu betah menatap seseorang sepertiku. Aku mencoba untuk melihat
sekelilingku dan memastikan bahwa yang ditatap oleh laki-laki itu bukan aku.
Tapi, saat aku menyapu pandanganku ke segala arah, tidak ada satupun orang di
sana selain aku, bahkan gadis-gadis centil tadi telah hilang entah ke mana. Aku
jadi semakin “gede rasa”. Tidak, bukan aku! Pasti bukan aku.
Aku kembali mengarahkan
pandanganku padanya untuk memastikan pandangannya, dan... laki-laki itu tetap
pada posisinya yang semula, matanya masih tertuju padaku. Dia masih menatapku.
Ada apa dengan laki-laki itu?
***
“Kiky, tolong jemput aku di
Lapangan Muhajirin,” kata seseorang di seberang sana.
“Di Muhajirin? Memangnya
kamu ikut gerak jalan juga?” tanyaku pada Amy yang tiba-tiba saja menghubungiku
saat aku baru tiba di rumah selepas menonton perlombaan tadi.
“Ya iyalah... aku ini kan
anak Paskibra, sudah pasti ikut. Ya sudah, cepat ya! Aku tunggu loh!”
perintahnya seakan-akan aku ini adalah supir pribadinya.
Dengan perasaan kesal masih
berkecamuk karena diperintah seenaknya begitu, aku pun memacu sepeda motorku ke
Lapangan Muhajirin, tempat para peserta lomba gerak jalan berkumpul setelah
sampai di garis finish. Namun na’asnya
di perjalanan, tiba-tiba hujan datang mengguyur seisi kota Praya. Aku yang
masih berada di atas sepeda motor segera menepikan sepeda motorku di depan
sebuah kios yang tutup. Hujan turun dengan sangat deras, dan aku tidak bisa
melanjutkan perjalananku menjemput Amy dalam kondisi seperti ini. Padahal tempat
tujuanku dengan tempatku berteduh saat ini hanya berjarak lima ratus meter.
Biar sajalah, lebih baik Amy berlelah-lelah menunggu, daripada aku yang harus
menanggung resiko bermandikan air hujan.
Hujan semakin deras
mengguyur daerah tempatku berteduh, dan itu membuat udara menjadi sangat
dingin. Sialnya nasibku aku tidak membawa jaket ataupun jas hujan untuk
menghangatkan tubuhku. Aku pun duduk di lantai kios itu sambil memeluk lututku,
berusaha meredam hawa dingin yang kini sedang menari-nari di pori-poriku.
“Ya Allah, dingin sekali!
Kenapa aku harus terjebak di tengah hujan deras seperti ini?” gumamku sambil
sesekali meniup telapak tanganku yang sudah membiru.
“Bukan kamu saja yang
terjebak, aku juga!” timpal sebuah suara yang tiba-tiba datang dari balik
hujan.
Subhanallah! Laki-laki itu!
Laki-laki yang menjadi peserta lomba gerak jalan! Dia datang sambil menggeret
sepeda motornya dan ikut berteduh di sebelahku. Astaga Tuhan, apa ini nyata?
Sebuah kebetulan sekali aku bertemu dengannya di sini!
“Hey! Kok malah bengong?
Kaget ya? Atau malah takut? Kok mulut kamu malah ditutupi tangan gitu sih?”
tanyanya beruntun melihat ekspresiku yang luar biasa terkejut. Bagaimana aku
tidak seterkejut ini? Bayangkan saja, sejak dia berlalu dari hadapanku tadi
siang, yang kupikirkan hanya dia dan tatapan misteriusnya itu. Jadi wajar saja
kalau aku sampai terkejut melihat orang yang ada di pikiranku kini malah berdiri
di hadapanku.
“Eh, gak. Cuman kaget aja,
tiba-tiba ada orang yang nimbrung gitu,” jawabku terbata. Dia hanya ber“O” ria.
Aku mencoba mengatur detak
jantungku yang tiba-tiba jadi tak terkontrol dan mengatur nafasku yang tidak
karuan. “Oh, ya... kamu yang tadi ikut gerak jalan, kan?” tanyaku hati-hati.
Dia langsung mengarahkan pandangannya padaku dan memperlihatkan tatapan itu
lagi.
“Iya. Kamu tau dari mana?”
tanyanya heran. Tenggorokanku langsung tercekat begitu mendengar pertanyaannya.
Aduh, aku harus jawab apa? Sangat tidak mungkin jika aku akan berkata, “Kamu
kan dari tadi menatapku saat aku menontonmu di perlombaan itu.”
Segera kupaksa otakku untuk
menemukan jawaban yang lebih bermutu dan masuk akal daripada itu. Oh, ya! Itu!
Seragamnya!
“Dari seragam kamu. Kamu
anak SMK, kan?”
“Eh, iya!”
“SMK mana?”
“SMK 2 Praya. Kalau kamu?”
“Smansatya,” jawabku sambil
memamerkan deretan gigiku yang dihiasi kawat.
“Huh? Smansatya itu apaan?
Memangnya ada nama sekolah kayak gitu?” tanyanya sambil menggaruk kepalanya.
“Haha, maksudku SMAN 1
Praya. Smansatya itu singkatannya. Kamu kuper
banget sih,” ejekku.
“Haha, maklum, aku jarang
keluar rumah... jadi gak tau deh kalau ada singkatan untuk nama SMA kamu,”
jawabnya malu setelah aku mampu membongkar kartu matinya. “Oh ya, nama kamu
siapa?” tanyanya kemudian.
“Kiky. Kamu sendiri?”
“Aku Azka,” jawabnya seraya
mengulurkan tangannya padaku. Dengan sedikit agak canggung kubalas jabatan
tangannya yang sangat hangat itu.
Bukankah ini acara
perkenalan yang sangat kebetulan? Aku sampai tidak bisa berkata-kata setelah
itu, bahkan kulitku sudah tidak merasakan lagi hawa dingin di tengah hujan yang
masih begitu deras. Seakan hawanya menjadi sangat hangat, sehangat tangan Azka
di sampingku. Di tengah kehangatan itu, tiba-tiba saja aku kembali teringat
dengan tatapannya saat menonton gerak jalan tadi siang. Aku masih penasaran
apakah yang ditatapnya benar-benar aku? Apakah aku harus bertanya kepadanya?
Haruskah?
“Um, Azka!” panggilku
pelan.
“Mmm?” jawabnya seraya
berbalik menatapku.
“Boleh tanya sesuatu?”
“Ya, mau tanya apa?”
“Anu... tadi sewaktu lomba
gerak jalan, pas kamu berhenti di dekat Pertamina Praya, kamu tau gak kalau aku
tadi...” jelasku terputus-putus. Aduh Tuhan... aku sangat takut kalau aku
sampai salah bicara dan membuat diriku malu sendiri.
“Maksud kamu, kamu tadi
nonton aku gerak jalan di sana? Aku liat kok.” Katanya sambil tersenyum manis
sekali.
Deg! Sebuah hentaman keras
langsung mendarat tepat di jantungku. Jadi benar tadi yang ditatapnya adalah
aku. Dia bahkan ingat tadi aku menonton lomba gerak jalan di sana... Tuhan...
bantu aku... aku tidak bisa bernafas!
“Ah, ya... itu maksudku!
Bukannya aku ke-GR-an ya, tapi tadi
aku ngerasa kamu merhatiin aku terus deh, kenapa ya?”
“Hahaha...” tiba-tiba Azka
tertawa keras sekali, di bahkan sampai menutup mukanya yang memerah dengan
jaket yang dibawanya. Aduh gawat nih kalau ternyata bukan aku yang ditatapnya
tadi siang.
“Loh, kenapa ketawa? Aku
salah ngomong ya? Atau yang kamu perhatiin malah bukan aku? Tapi tadi hampir
sepuluh menit aku lihat kamu merhatiin aku terus? Kamu yang ada di barisan
tengah paling belakang itu kan? Tapi tadi kamu–”
“Yang aku perhatiin memang
kamu,” potongnya cepat sambil menatapku dengan tatapan mautnya itu. Aku sampai
tercekat dan tak mampu membuka mulutku lagi. Pasti sangat memalukan aku
bertanya tanpa jeda tadi hingga Azka langsung memotong pertanyaanku.
“Ta... ta... tapi...
kenapa?” tanyaku kaku.
“Karena kamu mirip dengan
seseorang yang aku sayang, dan dia sudah lama meninggalkan dunia ini,”
“Maksud kamu, meninggal?
Siapa dia?”
“Almarhumah Mamaku. Dia
meninggal sewaktu aku akan masuk SMP,” jawabnya tertunduk. Aku bisa melihat
raut wajahnya berubah drastis setelah menjelaskan perihal kematian Ibunya. Aku
menjadi merasa sangat bersalah telah menanyakan hal yang membuatnya sedih.
“Ya udah, aku duluan ya.”
Pamitnya tiba-tiba setelah membasuh wajah putihnya dengan air hujan.
“Loh? Kamu mau pergi?”
tanyaku trekejut melihat sikapnya yang tiba-tiba ingin beranjak dari sini.
“Iya,”
“Tapi, ini kan masih hujan,
jalanan juga masih gelap. Kamu gak takut kenapa-napa di jalan?”
“Kenapa-napa maksud kamu?”
“Yah, kecelakaan gitu?”
“Hahaha... kalau aku
kecelakaan memangnya kenapa? Aku gak takut kok. Kalau itu sudah takdirku, aku
gak masalah, santai aja.”
“Itu namanya kamu menjemput
takdir kamu sendiri,” bentakku tegas. Aku benar-benar khawatir kalau dia sampai
nekat terjun ke jalanan yang tertutupi hujan dan kabut putih itu.
“Udahlah, kamu tenang aja.
Aku bakalan baik-baik aja kok,” katanya meyakinkan. Dia lalu menunggangi sepeda
motor merahnya dan hendak memacunya keluar ke jalanan, saat aku menyerukan
namanya dan membuatnya menahan niatnya itu. “Mmm?”
“Hati-hati,” sahutku
gemetar, karena tiba-tiba saja aku merasakan hawanya berubah seketika menjadi
dingin kembali. Azka hanya tersenyum lalu kembali memacu motornya. Tapi sebelum
itu, dia sempat berkata, “Besok kalau kita ketemu lagi, kamu harus kasih nomor
HP kamu!” aku hanya terkekeh mendengar permintaannya, namun hatiku masih sangat
enggan membiarkan dia pergi.
“Jaga dia Ya Allah,” gumamku
setelah dia pergi.
Selang beberapa detik setelah aku berdoa untuk
Azka, tiba-tiba saja aku mendengar sesuatu dari jalan raya. Seperti suara
sesuatu yang terhantam. Apakah ada kecelakaan di jalan sana? Apakah itu Azka?
Ah tidak, tidak mungkin! Itu pasti bukan Azka! Bukan!
Aku segera berlari menembus
hujan menuju jalan raya. Aku benar-benar ingin menjawab segala ketakutanku.
Tidak kupedulikan lagi air hujan yang kini menyapu bersih setiap permukaan
tubuhku. Aku terus berlari menuju perempatan tempat asalku mendengar suara
tadi.
Sesampainya di sana...
Astagfirullah! Sebuah nyawa terkapar tak berdaya dengan linangan darah di
sekitar tengkorak kepalanya yang menjulur ke selokan. Sepeda motornya hancur
terhempas ke sebuah pohon besar. Sedangkan di sisi kiri jalan itu terlihat
sebuah mobil pick-up tengah
dikerumuni warga yang datang berbondong-bondong melihat kecelakaan maut itu.
Tapi tidak kupedulikan semua itu, aku masih penasaran dengan sosok tubuh di
dekat selokan yang sepertinya sudah tak bernyawa itu. Aku begitu mengenal
seragam biru Angkatan Lautnya dan motor merahnya. Itu... itu Azka! Azka!
Tuhan... apa yang kulihat
ini nyata? Dia pasti bukan Azka! Aku segera berlari meninggalkan tempat itu dan
kembali ke tempatku berteduh semula. Di sana aku terduduk lemas. Begitu
terkejutnya aku hingga aku tak mampu menahan lelehan air mataku. Aku menangis
sejadi-jadinya di tengah gemuruh suara hujan. Menangisi sosok yang belum genap
sehari kukenal. Azka... apakah dia masih bisa diselamatkan? Tuhan... mengapa ini
terjadi? Mengapa Kau tidak mengabulkan doaku untuk menjaganya?
Aku terus menangis.
Melenyapkan segala ketakutanku akan sosok Azka yang wajahnya berpeluh darah.
Begitu syok hingga aku tak mampu menggerakkan sendi-sendiku untuk menghubungi
siapapun yang mampu menolong laki-laki malang itu. Kenapa dia begitu keras
kepala hingga memberanikan diri untuk menjemput takdirnya? Tuhan... jika Kau
tak bisa mengabulkan doaku untuk menjaganya di dunia, maka kabulkanlah doaku
untuk menjaganya di akhirat nanti...
Beberapa menit kemudian
sebuah mobil Ambulans datang ke TKP dan mengangkut tubuh Azka menuju Rumah
Sakit. Saat itu hujan telah reda, jadi kuberanikan diriku untuk melihat Azka
untuk terakhir kalinya sebelum dia dibawa ke Rumah Sakit. Wajah senduku masih
dilinangi air mata. Aku begitu terpukul, hingga aku tak kuasa untuk menahan
setiap linangannya. Biarlah aku menangisinya sekali ini saja, untuk mengenang
pertemuan singkat kami yang berawal dari tatapannya. Huh, tatapan itu... kini
aku benar-benar sangat merindukannya. Namun sayang, aku tak akan pernah
melihatnya lagi. Selamat jalan Azka, semoga kau dapat bertemu dengan seseorang
yang kau anggap mirip denganku di alam sana.
TAMAT
Dr Itua, HIV tedavisi, ben 10 yıldır bir ARV Tüketimi olmuştur. bloglar sitesinde Dr Itua'yla karşılaşıncaya kadar acı çekiyorum. HIV'im ve konumum hakkında her şeyi ona e-postayla gönderdim ve ona her şeyi açıkladım ve beni tedavi edeceğinden korkacak hiçbir şey olmadığını söyledi. , bana garanti verdi. Maddelerin ücretini ödememi istedi. Bu yüzden tedavi ettiğimde şükran göstereceğim ve şifa veren bitkilerinin ifadesini vermek, geri kalan HIV için yapacağınız şeydir. ve diğer hastalıklar Dr Itua'nın iyi çalışmalarını görebiliyor. 5 iş günü içerisinde postaneme gelen EMS Kurye servisi aracılığıyla bitkisel ilacını aldım.Rr Itua dürüst bir adam ve iyi çalışması için onu takdir ediyorum. Onu takdir etmek ve arkadaşlarımın geri kalanını takdir etmek, hapları almaktan ve o şişko belleğe sahip olmak benim için bir kabustur. Benim de neyden bahsettiğimi anlayacaksın. O zaman şimdi olmasa da, özgür ve sağlıklıyım. Dr Itua Herbal Center'a teşekkür ederim. Onun da takvimi var. bana yakın zamanda göndermiş, Kanser, Uçuk, Fibromiyalji, Hiv, Hepatit B, Karaciğer / Böbrek İnflamatörü, Epilepsi, Kısırlık, Fibroid, Diyabet, Dercum, Copd, ve ayrıca Ex Lover'ı Geri Getirmek gibi her türlü hastalığı tedavi ediyor. Burada Onun İletişim .drituaherbalcenter @ gmail.com Veya Whats_app Numarası +2348149277967
BalasHapus