Selasa, 20 November 2012

Tak Sepanjang Tatapanmu

Ini sebenernya tugas sekolah, tapi gapapa deh dipost aja, biar banyak yang bisa baca :D

Siang baru beranjak saat kakiku menapaki halaman rumah yang hampir sepuluh tahun ini kutempati, sedangkan sekarang umurku baru berjalan lima belas tahun. Ya, aku adalah seorang gadis yang baru menduduki jenjang pertama di sekolah
menengah atas dan kini sedang menikmati masa SMA-ku yang menurutku cukup menguras otak. Orang-orang sering berkata bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah, karena di sanalah kita akan memulai sebuah kehidupan baru menuju kedewasaan. Namun bagiku, mengatakan masa SMA indah adalah sebuah sunnah yang akan kukatakan saat aku benar-benar menikmatinya. Kini, aku ingin berpacu melawan kemampuan otakku demi menghafal sejuta rumus trigonometri matematika dan sejuta kata benda dalam bahasa Jerman. Ya, aku memang belum menguasai betul materi pelajaran baru yang kutemui di SMA ini, dan sedang memperdalam ilmu-ilmu yang sudah lebih dulu kukenal di bangku SMP, karena menurutku kemampuanku yang alakadarnya ini belum mampu membawaku ke masa depan cerah sebagai seorang dosen matematika seperti impianku. Bayangkan saja, tadi aku hampir mati terduduk di bangkuku saat melihat soal ulangan bahasa Inggris di atas mejaku. Aku memang bukan orang Inggris yang lancar speaking dan fasih grammar sejak lahir, aku hanyalah Ridha Utami Rizky yang sedari kecil sudah  dibiasakan oleh orang tuaku untuk berbicara dengan bahasa Sasak, karena aku memang tinggal di Lombok. Jadi, hasil ulangan bahasa Inggris tadi kupasrahkan saja pada yang Maha Kuasa dan kujawab sesuai kemampuanku, dan satu lagi, tidak ada satupun yang boleh menuntutku ke meja hijau karena hasil ulanganku yang tidak memuaskan itu.
        Siang ini terlihat sedikit mendung. Matahari sepertinya enggan menyinari langkah kakiku di siang ini. Dia terus bersembunyi di balik awan hitam yang kupikir telah membentaknya seminggu terakhir ini, hingga dia selalu mengalah dan membiarkan hujan membasahi hari-hariku.
        Aku baru akan duduk di teras rumahku sepulang sekolah itu, saat tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam saku seragam pramuka yang kukenakan. Aku segera meraih benda yang ternyata adalah ponsel dan menekan sebuah tombol untuk menjawab panggilan masuk.
        “Halo?” jawabku sepelan mungkin, agar orang di seberang sana yang kupanggil Mama tidak tersinggung mendengar suaraku.
        “Ky, pintu rumah Mama kunci, soalnya sekarang Mama sedang di Masjid Agung, ada lomba gerak jalan antar SMA,”
        “Terus, aku gimana dong? Aku kan harus ganti baju, Ma?” keluhku dengan wajah cemberut.
        “Kamu nyusul aja ke sini, ganti bajunya ntar aja. Memangnya kamu gak mau nonton SMA kamu?” kata Mama berusaha menenangkanku.
        “Aku memang niatnya mau nonton, Ma. Tapi aku kan harus ganti baju dulu?” aku masih bersikeras ingin  mengganti seragam yang penuh keringat ini.
        “Sudah, ntar aja. Sekarang kamu buruan gih ke sini! SMA kamu hampir sampai nih,” kata Mama kemudian, dan sambungan pun terputus. Aku merengut kesal dalam hati dan mengutuk Mama yang tega sekali membiarkanku berlama-lama dengan seragam berbau asam ini.
        Akhirnya kuputuskan untuk menyusul Mama di Masjid Agung dan menonton penampilan SMA-ku. Aku segera berlari ke halaman, menstarter motorku, dan memacunya menuju tempat yang dimaksud Mama. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan satu titik pun keberadaan Mama. Di sini sangat ramai, karena perlombaan ini memang diadakan hanya satu kali setahun untuk memperingati kemerdekaan Indonesia, jadi wajar saja kalau masyarakat Lombok Tengah khususnya Praya begitu bersemangat hingga berbondong-bondong untuk menonton perlombaan bergengsi antar sekolah ini.
        Setelah berputar-putar cukup lama di tengah keramaian penonton dan tidak menemukan hasil, akhirnya kuputuskan untuk duduk di bawah sebuah pohon besar di depan kantor Perikanan dan menonton perlombaan itu dengan ditemani sepeda motorku. Cukup lama aku di sana, tapi aku tidak menemukan SMA-ku memeragakan PBB-nya di hadapanku. Sepertinya mereka telah berlalu sejak tadi. Huh, sungguh mengecewakan. Aku tidak bisa melihat penampilan mereka yang menjadi tujuanku untuk datang menonton ke sini. Tapi tak apalah, perlombaan ini kan  belum berakhir. Aku masih bisa melihat penampilan dari SMA lain yang kujamin tak kalah menariknya dari SMA-ku.
        Setelah beberapa lama berkutat memperhatikan jalan raya, tiba-tiba saja sekelompok regu dari sebuah SMA memberhentikan barisan mereka tepat di hadapanku. Mereka menggunakan setelan seragam atasan biru muda seperti Angkatan Laut dan warna biru dongker sebagai celananya. Regu putra itu terlihat sangat kelelahan, hingga saat seorang pelatih mereka datang membawakan air mineral, mereka sampai berebutan mendapatkan jatah air terbanyak. Aku jadi teringat saat SMP dulu, saat aku ikut perlombaan gerak jalan seperti ini. Selama perjalanan yang kupikirkan hanyalah air. Haha, mungkin itulah yang juga mereka pikirkan  saat memeragakan PBB mereka di jalan raya.
        Sedang asyik-asyiknya memerhatikan gerombolan regu putra yang kehausan itu, tiba-tiba saja aku mendengar orang berteriak-teriak di belakangku. Segera aku menoleh dan menemukan tiga orang gadis sedang berteriak-teriak sambil menyebut kata “namja” pada salah seorang peserta gerak jalan di hadapanku.
        “Itu! Namjaku yang di tengah! Hey kamu! Siapa namamu! Aku suka kamu! Hey! Namja! Muah, muah!” seru gadis-gadis itu. Aku sampai terbelalak melihat tingkah mereka. Apakah mereka tidak memiliki rasa malu berteriak-teriak memanggil laki-laki seperti itu?
        Aku mencoba mengikuti perkataan mereka dan mencari sosok yang mereka elu-elukan itu. Di tengah. Hmmm. Mataku terus menelusuri satu persatu sosok laki-laki yang ada di barisan tengah, mulai dari barisan terdepan, hingga terbelakang,  dan... Subhanallah! Tiba-tiba saja mataku tertumpu pada sosok laki-laki di barisan tengah kedua dari belakang yang kini sedang menatapku. Laki-laki itu berambut agak ombak berwarna hitam, kulitnya putih dan terlihat bercahaya di bawah terpaan sinar matahari, matanya agak sipit, dan aku merasa aku pernah melihatnya sebelum ini. Dia terus menatapku, tepat di kedua bola mataku, hingga aku merasa canggung untuk balik menatapnya dan memutuskan untuk membuang muka. Siapa dia? Apakah aku mengenalnya? Aku merasa familiar dengan wajahnya? Tapi aku lupa kalau aku pernah bertemu dengannya.
        Aku masih penasaran dengan sosok tadi, jadi kuputuskan untuk mengarahkan mataku kepadanya lagi dan astaga! Dia masih di sana, menatapku tanpa berkedip. Oh, Tuhan! Apakah aku hanya bermimpi? Apakah aku bermimpi akan adanya seorang pangeran tampan yang menatapku? Ayolah... ini dunia nyata. Tidak mungkin laki-laki setampan dia akan begitu betah menatap seseorang sepertiku. Aku mencoba untuk melihat sekelilingku dan memastikan bahwa yang ditatap oleh laki-laki itu bukan aku. Tapi, saat aku menyapu pandanganku ke segala arah, tidak ada satupun orang di sana selain aku, bahkan gadis-gadis centil tadi telah hilang entah ke mana. Aku jadi semakin “gede rasa”. Tidak, bukan aku! Pasti bukan aku.
        Aku kembali mengarahkan pandanganku padanya untuk memastikan pandangannya, dan... laki-laki itu tetap pada posisinya yang semula, matanya masih tertuju padaku. Dia masih menatapku. Ada apa dengan laki-laki itu?

***

        “Kiky, tolong jemput aku di Lapangan Muhajirin,” kata seseorang di seberang sana.
        “Di Muhajirin? Memangnya kamu ikut gerak jalan juga?” tanyaku pada Amy yang tiba-tiba saja menghubungiku saat aku baru tiba di rumah selepas menonton perlombaan tadi.
        “Ya iyalah... aku ini kan anak Paskibra, sudah pasti ikut. Ya sudah, cepat ya! Aku tunggu loh!” perintahnya seakan-akan aku ini adalah supir pribadinya.
        Dengan perasaan kesal masih berkecamuk karena diperintah seenaknya begitu, aku pun memacu sepeda motorku ke Lapangan Muhajirin, tempat para peserta lomba gerak jalan berkumpul setelah sampai di garis finish. Namun na’asnya di perjalanan, tiba-tiba hujan datang mengguyur seisi kota Praya. Aku yang masih berada di atas sepeda motor segera menepikan sepeda motorku di depan sebuah kios yang tutup. Hujan turun dengan sangat deras, dan aku tidak bisa melanjutkan perjalananku menjemput Amy dalam kondisi seperti ini. Padahal tempat tujuanku dengan tempatku berteduh saat ini hanya berjarak lima ratus meter. Biar sajalah, lebih baik Amy berlelah-lelah menunggu, daripada aku yang harus menanggung resiko bermandikan air hujan.
        Hujan semakin deras mengguyur daerah tempatku berteduh, dan itu membuat udara menjadi sangat dingin. Sialnya nasibku aku tidak membawa jaket ataupun jas hujan untuk menghangatkan tubuhku. Aku pun duduk di lantai kios itu sambil memeluk lututku, berusaha meredam hawa dingin yang kini sedang menari-nari di pori-poriku.
        “Ya Allah, dingin sekali! Kenapa aku harus terjebak di tengah hujan deras seperti ini?” gumamku sambil sesekali meniup telapak tanganku yang sudah membiru.
        “Bukan kamu saja yang terjebak, aku juga!” timpal sebuah suara yang tiba-tiba datang dari balik hujan.
        Subhanallah! Laki-laki itu! Laki-laki yang menjadi peserta lomba gerak jalan! Dia datang sambil menggeret sepeda motornya dan ikut berteduh di sebelahku. Astaga Tuhan, apa ini nyata? Sebuah kebetulan sekali aku bertemu dengannya di sini!
        “Hey! Kok malah bengong? Kaget ya? Atau malah takut? Kok mulut kamu malah ditutupi tangan gitu sih?” tanyanya beruntun melihat ekspresiku yang luar biasa terkejut. Bagaimana aku tidak seterkejut ini? Bayangkan saja, sejak dia berlalu dari hadapanku tadi siang, yang kupikirkan hanya dia dan tatapan misteriusnya itu. Jadi wajar saja kalau aku sampai terkejut melihat orang yang ada di pikiranku kini malah berdiri di hadapanku.
        “Eh, gak. Cuman kaget aja, tiba-tiba ada orang yang nimbrung gitu,” jawabku terbata. Dia hanya ber“O” ria.
        Aku mencoba mengatur detak jantungku yang tiba-tiba jadi tak terkontrol dan mengatur nafasku yang tidak karuan. “Oh, ya... kamu yang tadi ikut gerak jalan, kan?” tanyaku hati-hati. Dia langsung mengarahkan pandangannya padaku dan memperlihatkan tatapan itu lagi.
        “Iya. Kamu tau dari mana?” tanyanya heran. Tenggorokanku langsung tercekat begitu mendengar pertanyaannya. Aduh, aku harus jawab apa? Sangat tidak mungkin jika aku akan berkata, “Kamu kan dari tadi menatapku saat aku menontonmu di perlombaan itu.”
        Segera kupaksa otakku untuk menemukan jawaban yang lebih bermutu dan masuk akal daripada itu. Oh, ya! Itu! Seragamnya!
        “Dari seragam kamu. Kamu anak SMK, kan?”
        “Eh, iya!”
        “SMK mana?”
        “SMK 2 Praya. Kalau kamu?”
        “Smansatya,” jawabku sambil memamerkan deretan gigiku yang dihiasi kawat.
        “Huh? Smansatya itu apaan? Memangnya ada nama sekolah kayak gitu?” tanyanya sambil menggaruk kepalanya.
        “Haha, maksudku SMAN 1 Praya. Smansatya itu singkatannya. Kamu kuper banget sih,” ejekku.
        “Haha, maklum, aku jarang keluar rumah... jadi gak tau deh kalau ada singkatan untuk nama SMA kamu,” jawabnya malu setelah aku mampu membongkar kartu matinya. “Oh ya, nama kamu siapa?” tanyanya kemudian.
        “Kiky. Kamu sendiri?”
        “Aku Azka,” jawabnya seraya mengulurkan tangannya padaku. Dengan sedikit agak canggung kubalas jabatan tangannya yang sangat hangat itu.
        Bukankah ini acara perkenalan yang sangat kebetulan? Aku sampai tidak bisa berkata-kata setelah itu, bahkan kulitku sudah tidak merasakan lagi hawa dingin di tengah hujan yang masih begitu deras. Seakan hawanya menjadi sangat hangat, sehangat tangan Azka di sampingku. Di tengah kehangatan itu, tiba-tiba saja aku kembali teringat dengan tatapannya saat menonton gerak jalan tadi siang. Aku masih penasaran apakah yang ditatapnya benar-benar aku? Apakah aku harus bertanya kepadanya? Haruskah?
        “Um, Azka!” panggilku pelan.
        “Mmm?” jawabnya seraya berbalik menatapku.
        “Boleh tanya sesuatu?”
        “Ya, mau tanya apa?”
        “Anu... tadi sewaktu lomba gerak jalan, pas kamu berhenti di dekat Pertamina Praya, kamu tau gak kalau aku tadi...” jelasku terputus-putus. Aduh Tuhan... aku sangat takut kalau aku sampai salah bicara dan membuat diriku malu sendiri.
        “Maksud kamu, kamu tadi nonton aku gerak jalan di sana? Aku liat kok.” Katanya sambil tersenyum manis sekali.
        Deg! Sebuah hentaman keras langsung mendarat tepat di jantungku. Jadi benar tadi yang ditatapnya adalah aku. Dia bahkan ingat tadi aku menonton lomba gerak jalan di sana... Tuhan... bantu aku... aku tidak bisa bernafas!
        “Ah, ya... itu maksudku! Bukannya aku ke-GR-an ya, tapi tadi aku ngerasa kamu merhatiin aku terus deh, kenapa ya?”
        “Hahaha...” tiba-tiba Azka tertawa keras sekali, di bahkan sampai menutup mukanya yang memerah dengan jaket yang dibawanya. Aduh gawat nih kalau ternyata bukan aku yang ditatapnya tadi siang.
        “Loh, kenapa ketawa? Aku salah ngomong ya? Atau yang kamu perhatiin malah bukan aku? Tapi tadi hampir sepuluh menit aku lihat kamu merhatiin aku terus? Kamu yang ada di barisan tengah paling belakang itu kan? Tapi tadi kamu–”
        “Yang aku perhatiin memang kamu,” potongnya cepat sambil menatapku dengan tatapan mautnya itu. Aku sampai tercekat dan tak mampu membuka mulutku lagi. Pasti sangat memalukan aku bertanya tanpa jeda tadi hingga Azka langsung memotong pertanyaanku.
        “Ta... ta... tapi... kenapa?” tanyaku kaku.
        “Karena kamu mirip dengan seseorang yang aku sayang, dan dia sudah lama meninggalkan dunia ini,”
        “Maksud kamu, meninggal? Siapa dia?”
        “Almarhumah Mamaku. Dia meninggal sewaktu aku akan masuk SMP,” jawabnya tertunduk. Aku bisa melihat raut wajahnya berubah drastis setelah menjelaskan perihal kematian Ibunya. Aku menjadi merasa sangat bersalah telah menanyakan hal yang membuatnya sedih.
        “Ya udah, aku duluan ya.” Pamitnya tiba-tiba setelah membasuh wajah putihnya dengan air hujan.
        “Loh? Kamu mau pergi?” tanyaku trekejut melihat sikapnya yang tiba-tiba ingin beranjak dari sini.
        “Iya,”
        “Tapi, ini kan masih hujan, jalanan juga masih gelap. Kamu gak takut kenapa-napa di jalan?”
        “Kenapa-napa maksud kamu?”
        “Yah, kecelakaan gitu?”
        “Hahaha... kalau aku kecelakaan memangnya kenapa? Aku gak takut kok. Kalau itu sudah takdirku, aku gak masalah, santai aja.”
        “Itu namanya kamu menjemput takdir kamu sendiri,” bentakku tegas. Aku benar-benar khawatir kalau dia sampai nekat terjun ke jalanan yang tertutupi hujan dan kabut putih itu.
        “Udahlah, kamu tenang aja. Aku bakalan baik-baik aja kok,” katanya meyakinkan. Dia lalu menunggangi sepeda motor merahnya dan hendak memacunya keluar ke jalanan, saat aku menyerukan namanya dan membuatnya menahan niatnya itu. “Mmm?”
        “Hati-hati,” sahutku gemetar, karena tiba-tiba saja aku merasakan hawanya berubah seketika menjadi dingin kembali. Azka hanya tersenyum lalu kembali memacu motornya. Tapi sebelum itu, dia sempat berkata, “Besok kalau kita ketemu lagi, kamu harus kasih nomor HP kamu!” aku hanya terkekeh mendengar permintaannya, namun hatiku masih sangat enggan membiarkan dia pergi.
        “Jaga dia Ya Allah,” gumamku setelah dia pergi.
Selang beberapa detik setelah aku berdoa untuk Azka, tiba-tiba saja aku mendengar sesuatu dari jalan raya. Seperti suara sesuatu yang terhantam. Apakah ada kecelakaan di jalan sana? Apakah itu Azka? Ah tidak, tidak mungkin! Itu pasti bukan Azka! Bukan!
        Aku segera berlari menembus hujan menuju jalan raya. Aku benar-benar ingin menjawab segala ketakutanku. Tidak kupedulikan lagi air hujan yang kini menyapu bersih setiap permukaan tubuhku. Aku terus berlari menuju perempatan tempat asalku mendengar suara tadi.
        Sesampainya di sana... Astagfirullah! Sebuah nyawa terkapar tak berdaya dengan linangan darah di sekitar tengkorak kepalanya yang menjulur ke selokan. Sepeda motornya hancur terhempas ke sebuah pohon besar. Sedangkan di sisi kiri jalan itu terlihat sebuah mobil pick-up tengah dikerumuni warga yang datang berbondong-bondong melihat kecelakaan maut itu. Tapi tidak kupedulikan semua itu, aku masih penasaran dengan sosok tubuh di dekat selokan yang sepertinya sudah tak bernyawa itu. Aku begitu mengenal seragam biru Angkatan Lautnya dan motor merahnya. Itu... itu Azka! Azka!
        Tuhan... apa yang kulihat ini nyata? Dia pasti bukan Azka! Aku segera berlari meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempatku berteduh semula. Di sana aku terduduk lemas. Begitu terkejutnya aku hingga aku tak mampu menahan lelehan air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya di tengah gemuruh suara hujan. Menangisi sosok yang belum genap sehari kukenal. Azka... apakah dia masih bisa diselamatkan? Tuhan... mengapa ini terjadi? Mengapa Kau tidak mengabulkan doaku untuk menjaganya?
        Aku terus menangis. Melenyapkan segala ketakutanku akan sosok Azka yang wajahnya berpeluh darah. Begitu syok hingga aku tak mampu menggerakkan sendi-sendiku untuk menghubungi siapapun yang mampu menolong laki-laki malang itu. Kenapa dia begitu keras kepala hingga memberanikan diri untuk menjemput takdirnya? Tuhan... jika Kau tak bisa mengabulkan doaku untuk menjaganya di dunia, maka kabulkanlah doaku untuk menjaganya di akhirat nanti...
        Beberapa menit kemudian sebuah mobil Ambulans datang ke TKP dan mengangkut tubuh Azka menuju Rumah Sakit. Saat itu hujan telah reda, jadi kuberanikan diriku untuk melihat Azka untuk terakhir kalinya sebelum dia dibawa ke Rumah Sakit. Wajah senduku masih dilinangi air mata. Aku begitu terpukul, hingga aku tak kuasa untuk menahan setiap linangannya. Biarlah aku menangisinya sekali ini saja, untuk mengenang pertemuan singkat kami yang berawal dari tatapannya. Huh, tatapan itu... kini aku benar-benar sangat merindukannya. Namun sayang, aku tak akan pernah melihatnya lagi. Selamat jalan Azka, semoga kau dapat bertemu dengan seseorang yang kau anggap mirip denganku di alam sana.

TAMAT

1 komentar:

  1. Dr Itua, HIV tedavisi, ben 10 yıldır bir ARV Tüketimi olmuştur. bloglar sitesinde Dr Itua'yla karşılaşıncaya kadar acı çekiyorum. HIV'im ve konumum hakkında her şeyi ona e-postayla gönderdim ve ona her şeyi açıkladım ve beni tedavi edeceğinden korkacak hiçbir şey olmadığını söyledi. , bana garanti verdi. Maddelerin ücretini ödememi istedi. Bu yüzden tedavi ettiğimde şükran göstereceğim ve şifa veren bitkilerinin ifadesini vermek, geri kalan HIV için yapacağınız şeydir. ve diğer hastalıklar Dr Itua'nın iyi çalışmalarını görebiliyor. 5 iş günü içerisinde postaneme gelen EMS Kurye servisi aracılığıyla bitkisel ilacını aldım.Rr Itua dürüst bir adam ve iyi çalışması için onu takdir ediyorum. Onu takdir etmek ve arkadaşlarımın geri kalanını takdir etmek, hapları almaktan ve o şişko belleğe sahip olmak benim için bir kabustur. Benim de neyden bahsettiğimi anlayacaksın. O zaman şimdi olmasa da, özgür ve sağlıklıyım. Dr Itua Herbal Center'a teşekkür ederim. Onun da takvimi var. bana yakın zamanda göndermiş, Kanser, Uçuk, Fibromiyalji, Hiv, Hepatit B, Karaciğer / Böbrek İnflamatörü, Epilepsi, Kısırlık, Fibroid, Diyabet, Dercum, Copd, ve ayrıca Ex Lover'ı Geri Getirmek gibi her türlü hastalığı tedavi ediyor. Burada Onun İletişim .drituaherbalcenter @ gmail.com Veya Whats_app Numarası +2348149277967

    BalasHapus