Selasa, 20 November 2012

Sajadah Lumpur




“Sajadahnya kenapa toh, Mba?” suara seseorang dengan logat Jawa yang mendok mengalihkan perhatian Alin dan Jihan. Serempak mereka menoleh ke asal suara. Seorang lelaki dewasa yang sekiranya seumuran dengan
mereka berdiri tegak dengan tatapan bingung. “Kenapa, Mba?” tanyanya lagi, suaranya terdengar sedikit serak. Sementara di dalam masjid, suara imam yang sedang mengumandangkan ayat suci Al-Qur’an bergema, tapi tak jua mengalihkan perhatian mereka.
“Anu... ini, sajadah sepupu saya kena lumpur,” jawab Jihan agak kaku.
“Aduh... kasihan sekali. Dicuci saja kalau begitu, Mba. Daripada ndak pakai apa-apa untuk sholat,” laki-laki itu menyarankan.
“Dicuci? Bagaimana bisa dicuci di masjid gini, Mas? Terus, kapan keringnya? Memangnya sholat tarawihnya bisa menunggu sampai besok pagi apa?!” tanpa sadar ucapan Alin yang terlampau keras mengejutkan dua orang di hadapannya. Jihan segera menyenggol bahunya, “Ndak usah pakai emosi!” bisik gadis itu pelan.
Alin langsung tersadar. Dia segera menyunggingkan seulas senyum, “Hmmm... kayaknya ndak perlu dicuci, Mas. Lagipula sudah kotor begitu. Biarkan saja di sana. Sepupu saya bawa sajadah juga, kok.” Jelasnya dengan nada normal yang sedikit dibuat-buat.
“Aku ndak bawa sajadah. Kan kamu sendiri yang bilang ingin pakai sajadah kesayangan kamu sama aku, makanya aku ndak bawa.” Ungkapan Jihan langsung membuat Alin ciut.
“Oh, kalau begitu, pakai sajadah saya saja, Mba. Mba berdua dari kampung sebelah, kan? Sayang loh, sudah jalan jauh-jauh tapi ndak dapat sholat gara-gara ndak ada sajadah.” Terang lelaki itu dengan wajah teduh dan tanpa sungkan.
Alin mengerutkan dahi. Dia meraih sajadah yang disodorkan lelaki tadi dengan wajah tak percaya. Sajadah lusuh yang warnanya hampir pudar, berukuran kecil dengan kain yang sudah tak halus lagi, dan ada sedikit sobekan kecil di ujung kanannya.
Alin menelan ludahnya mati-matian. Sebenarnya benar juga yang dikatakan lelaki itu, tapi kalau sajadahnya sudah lecek dan tidak layak pakai seperti ini, lebih baik Alin kembali lagi ke rumah Jihan dan mengambil sajadah baru, dan kembali lagi ke sini, daripada harus menggunakan sajadah yang menurut Alin lebih cocok dijadikan kain pel.
“Mas suruh saya pakai sajadah ini?” tanyanya dengan nada menjatuhkan. Lelaki itu hanya tersenyum mengangguk. “Lebih baik ndak usah, Mas! Makasih. Nanti saya bisa pinjam sajadah yang lain saja di dalam!” Alin menyerahkan sajadah itu kembali dengan agak kasar, dan melenggang masuk ke masjid, diikuti Jihan yang kini mengekor di belakangnya dengan pandangan heran dan sedikit miris.
Laki-laki yang sedari tadi tak pernah bergerak dari posisinya itu memerhatikan dua gadis yang kini sudah hilang di balik pintu masjid. Lalu pandangannya teralih ke sajadah yang ada dalam genggamannya. Setelah memerhatikan sajadah itu cukup lama, dia meraih sajadah Alin yang masih tergenang di dalam lumpur. Dia mengarahkan pandangannya pada kedua sajadah itu bergantian. Ada perasaan sedih, kecewa, dan miris di dalam hatinya.
Begitu hinakah sajadahnya? Begitu tak berhargakah sajadah yang jatuh ke dalam kubangan lumpur? Begitu samakah posisi sajadah lusuhnya dengan sajadah mewah yang ternodai lumpur? Begitukah?
Laki-laki itu mengamit kedua sajadah itu di lengannya dan berlari pulang. Entah perasaan apa yang membuatnya tak berniat lagi melanjutkan ibadahnya. Yang jelas, hatinya terasa sakit. Dia kecewa. Sangat kecewa.

***

“Kamu ini, Lin. Kalau ngomong, ya mesti dijaga, dong! Yang sopan! Bagaimana kalau hati orang tadi tersinggung? Kan kamu sendiri yang akan menanggung dosa!” tegur Jihan dalam perjalanan pulang dari masjid. Alin yang berjalan di sebelahnya hanya diam saja dikatai seperti itu.
“Empat hari lagi, kan lebaran toh, Lin! Kamu seharusnya bersikap lebih baik. Jangan membuat orang menyimpan dendam sama kamu!” oceh Jihan yang masih dijawab kediaman Alin.
Alin bukannya tidak menghiraukan perkataan Jihan. Tapi di sedang berpikir. Berpikir bagaimana perasaan lelaki yang menawarkannya sajadah tadi.
Terhitung sejak masuk masjid hingga saat ini, sudah enam kali Jihan –sepupunya yang notabene anak Pak Lurah– mengomelinya perihal masalah “ketidak sopanan” Alin terhadap lelaki tadi. Dan sejak pertama kali Jihan menyinggung masalah itu, Alin semakin merasa bersalah atas sikapnya dan terus mencari cara untuk meminta maaf pada lelaki itu. Tapi masalahnya, dia tidak tahu siapa lelaki itu dan dari mana asalnya. Dan akhirnya di sinilah Alin, terpuruk menyesali sikapnya.

***

“Han, kamu tahu ndak laki-laki kemarin malam itu tinggal di mana?” tanya Alin keesokan malamnya saat mereka sedang dalam perjalanan ke masjid.
“Ndak tahu. Tapi yang jelas di kampung ini. Tapi aku sering lihat dia bawa andong ke alun-alun,” jawab Jihan dengan pandangan menerawang. Alin hanya mengangguk, pura-pura paham.
Sebenarnya dia tidak mengerti apa yang dikatakan Jihan. Laki-laki itu sering membawa andong ke alun-alun. Di mana alun-alun itu? Alin jelas tidak tahu. Dia asli Surabaya dan baru pertama kali berlibur ke Yogyakarta untuk mengunjungi sepupunya, dan selama hampir empat hari dia di sini, dia belum pernah sekalipun berkeliling kota ini, alasannya, Pak Lurah sibuk, tidak ada yang bisa mengangkutnya dan mengajaknya melihat-lihat.
Alin mendesah pelan. Pasrah sajalah, semoga laki-laki itu memahami sikapnya dan bisa memaafkannya.
“Alin! Lihat! Itu laki-laki yang kemarin malam!” seru Jihan tiba-tiba saat mereka baru memasuki gerbang masjid.
“Mana?”
“Itu! Yang sedang duduk di bangku!” tunjuk Jihan pada laki-laki hitam manis berkaos abu yang sedang duduk di sebuah bangku dekat teras masjid dengan dua buah sajadah tersampir di pundaknya.
Alin segera berlari menghampirinya, lalu diikuti Jihan yang dengan susah payah mengejar Alin.
“Assalamu’alaikum,” ucap Alin setibanya di hadapan laki-laki itu.
“Wa’alaikumussalam,” jawab laki-laki itu sambil menoleh ke arah Alin dan menatap gadis itu dengan pandangan teduhnya.
“Mmm, anu... saya mau minta maaf masalah yang kemarin, karena sepertinya kata-kata saya sudah menyinggung, Mas,” kata Alin malu-malu. Wajahnya ditundukkan dalam-dalam. Jihan hanya tersenyum melihat tingkah sepupunya.
“Oh, ndak apa-apa. Ini, sajadahnya sudah saya cucikan,” laki-laki itu bangkit sambil menyerahkan sajadah merah marun milik Alin.
Alin menatapnya dengan pandangan tak percaya. Tangannya meraih benda dalam genggaman lelaki itu.
“Terima kasih. Mmm, sebenarnya kemarin saya ndak bermaksud menolak tawaran, Mas. Tapi saya hanya ndak enak karena Mas jadi ndak punya sajadah untuk digunakan sholat.” Jelas Alin yang sudah pasti hanya kebohongan semata, karena sejujurnya dia hanya tidak ingin dekat-dekat dengan sajadah lusuh itu.
“Ndak apa-apa. Lagipula wajar saja Mba ini menolak tawaran saya. Wong sajadah saya sudah lecek begini,” rendah laki-laki itu dengan wajah yang tak pernah lepas dari senyuman.
“Aduh, bukan begitu maksud saya. Sajadah Mas baik-baik saja, kok. Bahkan kalau boleh, saya ingin meminta tawaran Mas yang kemarin, boleh?” tanya Alin ragu-ragu. Sebenarnya dia merasa bodoh juga dengan pertanyaannya barusan, tapi apa salahnya, itu kan sama saja dengan menyenangkan hati orang.
“Tawaran apa ya, Mba?”
“Sajadahnya mau saya pinjam.”
“Errr... lalu, saya?” laki-laki itu masih tak paham, keningnya berkerut sangat dalam. Dia menunjuk-nunjuk dirinya dengan pandangan bingung.
“Mas pakai saja sajadah saya, lagipula sajadah ini Mas yang cuci. Biar saya yang pakai sajadah Mas,” Alin menyerahkan sajadah yang sejak tadi ditentengnya pada lelaki itu, lalu meraih sajadah lusuh yang ada di pundak lelaki itu, dan berjalan pergi tanpa menghiraukan pandangan heran dan terkejut lelaki di belakang sana yang kini sedang mendapat sebuah senyuman tulus dari Jihan.

***

Takbir berkumandang hampir tak terhitung lamanya. Sejak tadi malam selepas sholat isya’, seluruh umat muslim di dunia mengumandangkan asma Allah yang berarti Allah Maha Besar itu dengan penuh sukacita.
Alin menyambut hari raya itu dengan wajah berseri-seri. Dia hampir tidak percaya, kemarin lusa ayahnya mengizinkannya untuk berlebaran bersama Jihan dan keluarga Pak Lurah di desa. Dan hari ini, dia begitu gembira dengan busana muslim putihnya yang dibelinya setahun lalu yang kini dikenakannya untuk berhari raya.
Saat itu Alin sedang bersalaman dengan seorang wanita tua di bawah sebuah pohon besar dengan ranting yang bercabang ke segala arah. Alin menunduk dan mencium punggung tangan wanita tua itu sambil menangis sesenggukan. Lalu wanita tua itu mencium kedua pipi Alin bergantian. Dia tersenyum ramah sambil memamerkan gigi-giginya yang sebagian besar sudah tanggal. Alin membalasnya dengan sebuah usapan lembut di pipi wanita tua itu. Lalu tiba-tiba perhatiannya tertuju pada sajadah yang tersampir di bahu wanita tua itu. Sajadah itu mirip dengan sajadahnya, bahkan sama persis. Alin yakin betul sajadah itu hanya dia sendiri yang memilikinya di desa ini, karena sajadah itu diberikan langsung oleh neneknya sepulang dari tanah suci.
Dengan ragu Alin mencoba bertanya, “Nek, sajadahnya bagus sekali. Beli di mana?”
“Ini? Hehehehe...” wanita tua itu terkekeh, mungkin lucu mendengar pertanyaan konyol Alin. “Cucu saya yang memberikannya. Semula saya hanya memiliki sebuah sajadah lusuh yang sudah berumur sekitar dua puluh tahun. Sajadah itu diberikan oleh anak saya yang merupakan ayah dari cucu yang memberikan saya sajadah ini. Tapi sejak anak saya meninggal, saya ndak mampu lagi membeli sajadah yang baru, begitu juga dengan cucu saya yang hanya sebagai kusir andong, jadilah sajadah itu warisan kami satu-satunya. Sebenarnya saya ingin sekali menggunakan sajadah baru di Idul Fitri tahun ini, tapi uang kami hanya cukup untuk membeli beras dan lauk-pauk. Lalu suatu malam, cucu saya datang dengan membawa sebuah sajadah baru yang sangat cantik. Dia mengatakan kalau sajadah itu ditukarkan dengan sajadah lusuh kami oleh seorang gadis kota yang sangat cantik dan baik hati. Saya sangat terharu dan berharap bisa bertemu gadis itu dan mengucapkan terima kasih karena dia rela menukarkan sajadah secantik ini,” ungkap wanita tua itu sambil berderai air mata. Alin menatapnya dengan penuh takjuub. Dia pun tak mampu membendung air matanya untuk tidak turun. Direngkuhnya wanita tua itu dalam-dalam.
Dia tidak menyangka, sebuah hal yang dia tinggalkan dalam kubangan lumpur ternyata begitu berharga bagi seseorang seperti wanita tua dalam pelukannya ini. Dalam pelukan itu, tak sengaja mata Alin menangkap sosok seorang lelaki berdiri di pintu gerbang masjid. Lelaki itu tersenyum kepadanya dengan tatapan yang tak pernah jauh dari keteduhan. Terima kasih... gumam lelaki itu dalam hati.



Karya : Ridha Utami Rizky (XI-IPS. 2)

1 komentar:

  1. Dr Itua, HIV tedavisi, ben 10 yıldır bir ARV Tüketimi olmuştur. bloglar sitesinde Dr Itua'yla karşılaşıncaya kadar acı çekiyorum. HIV'im ve konumum hakkında her şeyi ona e-postayla gönderdim ve ona her şeyi açıkladım ve beni tedavi edeceğinden korkacak hiçbir şey olmadığını söyledi. , bana garanti verdi. Maddelerin ücretini ödememi istedi. Bu yüzden tedavi ettiğimde şükran göstereceğim ve şifa veren bitkilerinin ifadesini vermek, geri kalan HIV için yapacağınız şeydir. ve diğer hastalıklar Dr Itua'nın iyi çalışmalarını görebiliyor. 5 iş günü içerisinde postaneme gelen EMS Kurye servisi aracılığıyla bitkisel ilacını aldım.Rr Itua dürüst bir adam ve iyi çalışması için onu takdir ediyorum. Onu takdir etmek ve arkadaşlarımın geri kalanını takdir etmek, hapları almaktan ve o şişko belleğe sahip olmak benim için bir kabustur. Benim de neyden bahsettiğimi anlayacaksın. O zaman şimdi olmasa da, özgür ve sağlıklıyım. Dr Itua Herbal Center'a teşekkür ederim. Onun da takvimi var. bana yakın zamanda göndermiş, Kanser, Uçuk, Fibromiyalji, Hiv, Hepatit B, Karaciğer / Böbrek İnflamatörü, Epilepsi, Kısırlık, Fibroid, Diyabet, Dercum, Copd, ve ayrıca Ex Lover'ı Geri Getirmek gibi her türlü hastalığı tedavi ediyor. Burada Onun İletişim .drituaherbalcenter @ gmail.com Veya Whats_app Numarası +2348149277967

    BalasHapus