“Sajadahnya kenapa toh, Mba?” suara seseorang dengan logat Jawa yang
mendok mengalihkan perhatian Alin dan Jihan. Serempak mereka menoleh ke asal
suara. Seorang lelaki dewasa yang sekiranya seumuran dengan
mereka berdiri
tegak dengan tatapan bingung. “Kenapa, Mba?” tanyanya lagi, suaranya terdengar
sedikit serak. Sementara di dalam masjid, suara imam yang sedang
mengumandangkan ayat suci Al-Qur’an bergema, tapi tak jua mengalihkan perhatian
mereka.
“Anu... ini, sajadah sepupu saya kena lumpur,” jawab Jihan agak kaku.
“Aduh... kasihan sekali. Dicuci saja kalau begitu, Mba. Daripada ndak
pakai apa-apa untuk sholat,” laki-laki itu menyarankan.
“Dicuci? Bagaimana bisa dicuci di masjid gini, Mas? Terus, kapan
keringnya? Memangnya sholat tarawihnya bisa menunggu sampai besok pagi apa?!”
tanpa sadar ucapan Alin yang terlampau keras mengejutkan dua orang di
hadapannya. Jihan segera menyenggol bahunya, “Ndak usah pakai emosi!” bisik
gadis itu pelan.
Alin langsung tersadar. Dia segera menyunggingkan seulas senyum,
“Hmmm... kayaknya ndak perlu dicuci, Mas. Lagipula sudah kotor begitu. Biarkan saja
di sana. Sepupu saya bawa sajadah juga, kok.” Jelasnya dengan nada normal yang
sedikit dibuat-buat.
“Aku ndak bawa sajadah. Kan kamu sendiri yang bilang ingin pakai
sajadah kesayangan kamu sama aku, makanya aku ndak bawa.” Ungkapan Jihan
langsung membuat Alin ciut.
“Oh, kalau begitu, pakai sajadah saya saja, Mba. Mba berdua dari
kampung sebelah, kan? Sayang loh, sudah jalan jauh-jauh tapi ndak dapat sholat
gara-gara ndak ada sajadah.” Terang lelaki itu dengan wajah teduh dan tanpa
sungkan.
Alin mengerutkan dahi. Dia meraih sajadah yang disodorkan lelaki tadi
dengan wajah tak percaya. Sajadah lusuh yang warnanya hampir pudar, berukuran
kecil dengan kain yang sudah tak halus lagi, dan ada sedikit sobekan kecil di
ujung kanannya.
Alin menelan ludahnya mati-matian. Sebenarnya benar juga yang
dikatakan lelaki itu, tapi kalau sajadahnya sudah lecek dan tidak layak pakai
seperti ini, lebih baik Alin kembali lagi ke rumah Jihan dan mengambil sajadah
baru, dan kembali lagi ke sini, daripada harus menggunakan sajadah yang menurut
Alin lebih cocok dijadikan kain pel.
“Mas suruh saya pakai sajadah ini?” tanyanya dengan nada menjatuhkan.
Lelaki itu hanya tersenyum mengangguk. “Lebih baik ndak usah, Mas! Makasih.
Nanti saya bisa pinjam sajadah yang lain saja di dalam!” Alin menyerahkan
sajadah itu kembali dengan agak kasar, dan melenggang masuk ke masjid, diikuti
Jihan yang kini mengekor di belakangnya dengan pandangan heran dan sedikit
miris.
Laki-laki yang sedari tadi tak pernah bergerak dari posisinya itu memerhatikan
dua gadis yang kini sudah hilang di balik pintu masjid. Lalu pandangannya
teralih ke sajadah yang ada dalam genggamannya. Setelah memerhatikan sajadah
itu cukup lama, dia meraih sajadah Alin yang masih tergenang di dalam lumpur.
Dia mengarahkan pandangannya pada kedua sajadah itu bergantian. Ada perasaan
sedih, kecewa, dan miris di dalam hatinya.
Begitu hinakah sajadahnya? Begitu tak berhargakah sajadah yang jatuh
ke dalam kubangan lumpur? Begitu samakah posisi sajadah lusuhnya dengan sajadah
mewah yang ternodai lumpur? Begitukah?
Laki-laki itu mengamit kedua sajadah itu di lengannya dan berlari
pulang. Entah perasaan apa yang membuatnya tak berniat lagi melanjutkan
ibadahnya. Yang jelas, hatinya terasa sakit. Dia kecewa. Sangat kecewa.
***
“Kamu ini, Lin. Kalau ngomong, ya mesti dijaga, dong! Yang sopan!
Bagaimana kalau hati orang tadi tersinggung? Kan kamu sendiri yang akan
menanggung dosa!” tegur Jihan dalam perjalanan pulang dari masjid. Alin yang
berjalan di sebelahnya hanya diam saja dikatai seperti itu.
“Empat hari lagi, kan lebaran toh,
Lin! Kamu seharusnya bersikap lebih baik. Jangan membuat orang menyimpan dendam
sama kamu!” oceh Jihan yang masih dijawab kediaman Alin.
Alin bukannya tidak menghiraukan perkataan Jihan. Tapi di sedang
berpikir. Berpikir bagaimana perasaan lelaki yang menawarkannya sajadah tadi.
Terhitung sejak masuk masjid hingga saat ini, sudah enam kali Jihan
–sepupunya yang notabene anak Pak Lurah– mengomelinya perihal masalah “ketidak
sopanan” Alin terhadap lelaki tadi. Dan sejak pertama kali Jihan menyinggung
masalah itu, Alin semakin merasa bersalah atas sikapnya dan terus mencari cara
untuk meminta maaf pada lelaki itu. Tapi masalahnya, dia tidak tahu siapa
lelaki itu dan dari mana asalnya. Dan akhirnya di sinilah Alin, terpuruk
menyesali sikapnya.
***
“Han, kamu tahu ndak laki-laki kemarin malam itu tinggal di mana?”
tanya Alin keesokan malamnya saat mereka sedang dalam perjalanan ke masjid.
“Ndak tahu. Tapi yang jelas di kampung ini. Tapi aku sering lihat dia
bawa andong ke alun-alun,” jawab Jihan dengan pandangan menerawang. Alin hanya
mengangguk, pura-pura paham.
Sebenarnya dia tidak mengerti apa yang dikatakan Jihan. Laki-laki itu
sering membawa andong ke alun-alun. Di mana alun-alun itu? Alin jelas tidak
tahu. Dia asli Surabaya dan baru pertama kali berlibur ke Yogyakarta untuk
mengunjungi sepupunya, dan selama hampir empat hari dia di sini, dia belum
pernah sekalipun berkeliling kota ini, alasannya, Pak Lurah sibuk, tidak ada
yang bisa mengangkutnya dan mengajaknya melihat-lihat.
Alin mendesah pelan. Pasrah sajalah, semoga laki-laki itu memahami
sikapnya dan bisa memaafkannya.
“Alin! Lihat! Itu laki-laki yang kemarin malam!” seru Jihan tiba-tiba
saat mereka baru memasuki gerbang masjid.
“Mana?”
“Itu! Yang sedang duduk di bangku!” tunjuk Jihan pada laki-laki hitam
manis berkaos abu yang sedang duduk di sebuah bangku dekat teras masjid dengan
dua buah sajadah tersampir di pundaknya.
Alin segera berlari menghampirinya, lalu diikuti Jihan yang dengan
susah payah mengejar Alin.
“Assalamu’alaikum,” ucap Alin setibanya di hadapan laki-laki itu.
“Wa’alaikumussalam,” jawab laki-laki itu sambil menoleh ke arah Alin
dan menatap gadis itu dengan pandangan teduhnya.
“Mmm, anu... saya mau minta maaf masalah yang kemarin, karena
sepertinya kata-kata saya sudah menyinggung, Mas,” kata Alin malu-malu.
Wajahnya ditundukkan dalam-dalam. Jihan hanya tersenyum melihat tingkah
sepupunya.
“Oh, ndak apa-apa. Ini, sajadahnya sudah saya cucikan,” laki-laki itu
bangkit sambil menyerahkan sajadah merah marun milik Alin.
Alin menatapnya dengan pandangan tak percaya. Tangannya meraih benda
dalam genggaman lelaki itu.
“Terima kasih. Mmm, sebenarnya kemarin saya ndak bermaksud menolak
tawaran, Mas. Tapi saya hanya ndak enak karena Mas jadi ndak punya sajadah
untuk digunakan sholat.” Jelas Alin yang sudah pasti hanya kebohongan semata,
karena sejujurnya dia hanya tidak ingin dekat-dekat dengan sajadah lusuh itu.
“Ndak apa-apa. Lagipula wajar saja Mba ini menolak tawaran saya. Wong sajadah saya sudah lecek begini,”
rendah laki-laki itu dengan wajah yang tak pernah lepas dari senyuman.
“Aduh, bukan begitu maksud saya. Sajadah Mas baik-baik saja, kok.
Bahkan kalau boleh, saya ingin meminta tawaran Mas yang kemarin, boleh?” tanya
Alin ragu-ragu. Sebenarnya dia merasa bodoh juga dengan pertanyaannya barusan,
tapi apa salahnya, itu kan sama saja dengan menyenangkan hati orang.
“Tawaran apa ya, Mba?”
“Sajadahnya mau saya pinjam.”
“Errr... lalu, saya?” laki-laki itu masih tak paham, keningnya
berkerut sangat dalam. Dia menunjuk-nunjuk dirinya dengan pandangan bingung.
“Mas pakai saja sajadah saya, lagipula sajadah ini Mas yang cuci.
Biar saya yang pakai sajadah Mas,” Alin menyerahkan sajadah yang sejak tadi
ditentengnya pada lelaki itu, lalu meraih sajadah lusuh yang ada di pundak
lelaki itu, dan berjalan pergi tanpa menghiraukan pandangan heran dan terkejut
lelaki di belakang sana yang kini sedang mendapat sebuah senyuman tulus dari
Jihan.
***
Takbir berkumandang hampir tak terhitung lamanya. Sejak tadi malam
selepas sholat isya’, seluruh umat muslim di dunia mengumandangkan asma Allah
yang berarti Allah Maha Besar itu dengan penuh sukacita.
Alin menyambut hari raya itu dengan wajah berseri-seri. Dia hampir
tidak percaya, kemarin lusa ayahnya mengizinkannya untuk berlebaran bersama
Jihan dan keluarga Pak Lurah di desa. Dan hari ini, dia begitu gembira dengan
busana muslim putihnya yang dibelinya setahun lalu yang kini dikenakannya untuk
berhari raya.
Saat itu Alin sedang bersalaman dengan seorang wanita tua di bawah
sebuah pohon besar dengan ranting yang bercabang ke segala arah. Alin menunduk
dan mencium punggung tangan wanita tua itu sambil menangis sesenggukan. Lalu
wanita tua itu mencium kedua pipi Alin bergantian. Dia tersenyum ramah sambil
memamerkan gigi-giginya yang sebagian besar sudah tanggal. Alin membalasnya
dengan sebuah usapan lembut di pipi wanita tua itu. Lalu tiba-tiba perhatiannya
tertuju pada sajadah yang tersampir di bahu wanita tua itu. Sajadah itu mirip
dengan sajadahnya, bahkan sama persis. Alin yakin betul sajadah itu hanya dia
sendiri yang memilikinya di desa ini, karena sajadah itu diberikan langsung
oleh neneknya sepulang dari tanah suci.
Dengan ragu Alin mencoba bertanya, “Nek, sajadahnya bagus sekali.
Beli di mana?”
“Ini? Hehehehe...” wanita tua itu terkekeh, mungkin lucu mendengar
pertanyaan konyol Alin. “Cucu saya yang memberikannya. Semula saya hanya
memiliki sebuah sajadah lusuh yang sudah berumur sekitar dua puluh tahun.
Sajadah itu diberikan oleh anak saya yang merupakan ayah dari cucu yang
memberikan saya sajadah ini. Tapi sejak anak saya meninggal, saya ndak mampu lagi
membeli sajadah yang baru, begitu juga dengan cucu saya yang hanya sebagai
kusir andong, jadilah sajadah itu warisan kami satu-satunya. Sebenarnya saya
ingin sekali menggunakan sajadah baru di Idul Fitri tahun ini, tapi uang kami
hanya cukup untuk membeli beras dan lauk-pauk. Lalu suatu malam, cucu saya
datang dengan membawa sebuah sajadah baru yang sangat cantik. Dia mengatakan
kalau sajadah itu ditukarkan dengan sajadah lusuh kami oleh seorang gadis kota
yang sangat cantik dan baik hati. Saya sangat terharu dan berharap bisa bertemu
gadis itu dan mengucapkan terima kasih karena dia rela menukarkan sajadah
secantik ini,” ungkap wanita tua itu sambil berderai air mata. Alin menatapnya
dengan penuh takjuub. Dia pun tak mampu membendung air matanya untuk tidak
turun. Direngkuhnya wanita tua itu dalam-dalam.
Dia tidak menyangka, sebuah hal yang dia tinggalkan dalam kubangan
lumpur ternyata begitu berharga bagi seseorang seperti wanita tua dalam
pelukannya ini. Dalam pelukan itu, tak sengaja mata Alin menangkap sosok
seorang lelaki berdiri di pintu gerbang masjid. Lelaki itu tersenyum kepadanya
dengan tatapan yang tak pernah jauh dari keteduhan. Terima kasih... gumam
lelaki itu dalam hati.
Karya : Ridha Utami Rizky (XI-IPS. 2)
Dr Itua, HIV tedavisi, ben 10 yıldır bir ARV Tüketimi olmuştur. bloglar sitesinde Dr Itua'yla karşılaşıncaya kadar acı çekiyorum. HIV'im ve konumum hakkında her şeyi ona e-postayla gönderdim ve ona her şeyi açıkladım ve beni tedavi edeceğinden korkacak hiçbir şey olmadığını söyledi. , bana garanti verdi. Maddelerin ücretini ödememi istedi. Bu yüzden tedavi ettiğimde şükran göstereceğim ve şifa veren bitkilerinin ifadesini vermek, geri kalan HIV için yapacağınız şeydir. ve diğer hastalıklar Dr Itua'nın iyi çalışmalarını görebiliyor. 5 iş günü içerisinde postaneme gelen EMS Kurye servisi aracılığıyla bitkisel ilacını aldım.Rr Itua dürüst bir adam ve iyi çalışması için onu takdir ediyorum. Onu takdir etmek ve arkadaşlarımın geri kalanını takdir etmek, hapları almaktan ve o şişko belleğe sahip olmak benim için bir kabustur. Benim de neyden bahsettiğimi anlayacaksın. O zaman şimdi olmasa da, özgür ve sağlıklıyım. Dr Itua Herbal Center'a teşekkür ederim. Onun da takvimi var. bana yakın zamanda göndermiş, Kanser, Uçuk, Fibromiyalji, Hiv, Hepatit B, Karaciğer / Böbrek İnflamatörü, Epilepsi, Kısırlık, Fibroid, Diyabet, Dercum, Copd, ve ayrıca Ex Lover'ı Geri Getirmek gibi her türlü hastalığı tedavi ediyor. Burada Onun İletişim .drituaherbalcenter @ gmail.com Veya Whats_app Numarası +2348149277967
BalasHapus