Selasa, 20 November 2012

Satu Jam Saja




“Beri aku waktu satu jam saja,” bunyi sebuah pesan asing dari nomor yang tidak kukenal sama sekali.
Jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Jam empat pagi nanti aku sudah harus berada di Bandara karena jadwal
keberangkatanku mengharuskanku datang sepagi itu. Belum lagi harus mengurus ini itu yang sudah pasti akan memakan waktu banyak. Seharusnya malam ini aku bersantai di atas ranjang sambil menikmati mimpi indahku sebelum besok pagi aku berpegal-pegal di atas pesawat menuju Seoul. Tapi masih ada saja yang menggangguku dengan hal yang tidak penting sama sekali, contohnya ya, sms asing ini.
            Beri aku waktu satu jam saja? Apa maksudnya? Ah, dasar orang iseng. Ada-ada saja yang akan dilakukannya untuk mengganggu keindahan mimpiku, astaga! Langsung saja kulempar ponselku ke bantal di sebelahku dan kembali membenamkan tubuhku dalam selimut.
            Baru beberapa menit aku terlelap, tiba-tiba saja ponselku berdering lagi. Aku segera bangkit dan meraih ponsel pengganggu itu.
Ah, sial! Nomor itu lagi!
            “Kumohon! Aku harus bertemu denganmu, walau hanya satu jam...” bunyi pesan yang baru saja kuterima.
            Hmmm, aneh! Untuk apa orang asing ini memohon-mohon ingin bertemu denganku?
            Ponselku berdering sekali lagi, dan kali ini deringannya lebih panjang, itu berarti pesan yang masuk bukan hanya satu, tapi lebih.
            Aku segera memerikasa kotak masukku dan menemukan empat pesan berderet di sana, dan semuanya dari nomor asing itu!
            “Bolehkah?” tanyanya.
            “Jawab dengan apapun yang kau mau, aku butuh kepastian!” desaknya.
            “Bagaimana? Apakah kau mau menemuiku malam ini juga?” pintanya.
            “Kenapa kau belum membalas juga? Sudah semalaman aku berjaga di sisi ranjangku, menanti balasan pesanmu. Aku membutuhkanmu...”
            Ada apa dengan orang ini? Kenapa begitu memaksa untuk bertemu denganku tengah malam seperti ini? Dia pikir aku ini kuntilanak apa, yang rela keluar malam-malam hanya untuk bertemu orang yang tidak kukenal sama sekali.
            “Untuk apa kau ingin bertemu denganku? Memangnya siapa kau ini?” tanyaku lewat rangkaian kata-kata yang kukirim tadi.
            Belum semenit beranjak ponselku berdering lagi.
            “Karena harus. Aku harus bertemu denganmu. Kau akan tahu saat kau melihatku nanti,” jawabnya yang seakan meyakinkanku bahwa dia sangat penting untuk kutemui.
            “Malam-malam seperti ini?” aku masih heran.
            “Ya. Karena kita sudah tak punya waktu lagi,” balasnya secepat kilat.
            “Kau ada di mana sekarang?”
            “Di rumahku. Tapi jika kau bersedia bertemu, aku akan menunggumu di ayunan itu,”
            “Ayunan? Maksudmu ayunan di taman itu?”
Tiba-tiba saja aku teringat dengan ayunan yang sangat sering kunaiki yang berada di tengah-tengah taman saat aku masih di sekolah dasar dulu. Bahkan saat aku sedang merasa suntuk akhir-akhir ini, aku sering ke sana hanya untuk sekedar mengenang masa laluku. Masa lalu yang tak pernah membuatku ingin beranjak dari kota ini. Masa lalu yang membuat aku bertahan hidup sendiri di tengah hiruk pikuk Ibu Kota, sedang orang tuaku telah menetap di negeri seberang. Masa lalu yang selalu membuatku teringat akan sosok laki-laki itu. Valerian.
“Ya, apa kau mau?” bunyi pesan masuk yang seketika itu juga membuyarkan lamunanku akan sosok Val.
“Baiklah. Tunggu saja di sana, aku akan segera datang,” jawabku tanpa ragu.
Sesuatu seakan mendorongku untuk mengiyakan pesan dari orang asing itu. Entahlah, aku juga bingung akan sikapku ini. Kenapa aku sepemberani ini untuk keluar malam sendirian? Hey, aku ini seorang gadis berusia delapan belas tahun dan baru akan menginjak bangku kuliah di Seoul nanti, bagaimana kalau nanti ada orang tak dikenal yang tiba-tiba menculikku? Kenapa aku tidak ingin menghiraukan hal-hal seperti itu? Pasalnya hatiku sudah bulat untuk menemui orang yang baru mengirimiku pesan lima belas menit yang lalu itu! Ah, sudahlah! Lagipula aku yakin, tidak akan ada sesuatu buruk yang menimpaku. Huh, semoga Tuhan selalu ada di sisiku...
Aku berjalan dengan langkah santai menuju sebuah taman dekat komplek perumahanku. Tempatnya tidak jauh, hanya berjarak seratus meter dari rumahku. Lagipula di sana banyak terdapat rumah warga, jika ada sesuatu yang terjadi padaku, aku bisa berteriak sekencang-kencangnya.
Ting tong, ting tong, tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Aku segera membuka pesan yang baru saja masuk dari nomor asing itu.
“Kau di mana?”
“Aku ada di jalan. Bersabarlah, aku akan menemuimu.” Jawabku pasti.
Beberapa menit kemudian, dia membalas pesanku, “Baiklah. Aku percaya padamu,”
Tak berapa lama, aku pun sampai di taman itu. Aku segera berlari menyusuri trotoar menuju ayunan di tengah-tengah taman. Mataku berhenti pada sosok asing berjaket hitam yang duduk membelekangiku di atas ayunan. Siapa dia?
“Kau siapa?” tanyaku langsung pada sosok yang kutemui.
Dia terlonjak dan bangkit dari ayunan. Perlahan dia berjalan pelan ke arahku. Tiba-tiba saja aku merasa hawa di sekitarku berubah menjadi dingin, bulu-bulu romaku berdiri, dan tenggorokanku tercekat seketika itu juga. Semakin dia mendekat, aku semakin mengatur langkahku untuk lebih menjauh. Hingga saat aku hendak berlari, dia langsung mencegatku, “Tunggu! Jangan pergi! Tetaplah di situ!” katanya yang langsung membuat langkahku terhenti.
Suara itu? Suara itu? Aku kenal suara itu... suara parau dan nyaring yang selalu membuat darahku berhenti mengalir setiap kali mendengarnya. Suara itu... bukankah itu suara milik...
“Kau?” aku berbalik dan seketika itu tatapanku jatuh tepat dalam sorotan mata seorang laki-laki yang kini berdiri di bawah lampu taman. Arka.
“Ya, aku Arka. Maafkan aku,” katanya sambil tertunduk.
Aku langsung berlari ke arahnya dan menatap mata itu semakin tajam. “Kau, Arkana? Apa yang kau lakukan di sini? Apakah kau yang menyuruhku untuk ke mari?”
“Ya, maafkan aku, Me,”
Aku hampir tak bisa membuka mulut saat kutahu dia yang memintaku ke sini. Ah, sial! Bajingan keparat!
“Kau tahu? Kau hampir membuatku mati berdiri karena ketakutan! Kau tahu, aku hampir tidak mampu menggerakkan kakiku untuk berlari karena aku terlalu takut! Apa kau tidak punya akal dan pikiran untuk meminta seorang gadis sepertiku keluar malam-malam seperti ini sendiri?! Hah?! Bagaimana nanti kalau di jalan aku dicegat oleh sekawanan perampok?! Bagaimana?! Apa kau akan bertanggung jawab?! Apa kau akan siap siaga di sana untuk menyelematkanku?! Apakah seperti itu?! Hah?!” tanyaku tanpa kontrol, karena memang dia sudah sangat keterlaluan.
Mungkin jika dia bukanlah seorang Arka aku tak akan mengatakan semua ini padanya. Tapi, dia adalah Arka, teman kelasku selama tiga tahun ini. Dia tahu seluk beluk hidupku, kepribadianku, asal-usulku, dan semua tentangku, karena dia, karena dia memang Arka, sahabatku! Dia tahu apa yang kutakuti! Dia tahu aku takut kegelapan! Takut akan suara di tengah malam! Dia tahu semuanya! Dan, dia jugalah sosok yang selama ini membuat aku lupa akan sosok Val, cinta pertamaku yang telah lama hilang. Dia yang membuat aku mengerti, tak ada gunanya menunggu jika perasaanmu tak kunjung terbalaskan. Tapi, karena dialah juga selama tiga tahun ini aku setia menunggu, menunggunya... menunggunya untuk mengetahui apa yang aku rasakan. Aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat. Tapi, kenapa dia setega ini?
“Maaf, Me. Maaf, aku tahu aku salah... tapi aku harus melakukannya...” Arka masih tertunduk, sepertinya dia terlalu takut membalas tatapanku.
Tiba-tiba air mataku tumpah. Aku menangis, menangis sekeras-kerasnya, menangis dalam pelukan Arka yang tiba-tiba saja membenamkanku di dalam pelukannya.
“Menangislah semaumu, aku tidak akan melarangmu seperti biasanya, kau pantas melakukannya, aku tahu kau sangat ketakutan, jadi, maafkan aku!”
“Kau jahat! Tega sekali kau mengganggu tidurku dan membuatku ketakutan seperti ini hanya untuk menemuimu!” cercaku dalam isak.
“Maaf, aku tahu aku salah. Jadi, kumohon maafkan aku!” belasnya berusaha meminta maaf.
Sebenarnya aku tidak marah padanya dan tidak merasa kesal sedikit pun padanya. Aku hanya sedang melampiaskan ketakutanku yang kutanam selama beberapa menit tadi. Jujur saja, selama berjalan menuju taman, pikiranku selalu menerawang ke hal-hal yang seram, yang kadang bisa membuatku menangis dan menjerit ketakutan. Jadi, itulah sebabnya aku tak mampu membendung semuanya malam ini.
“Sudahlah, sebenarnya apa maumu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi setelah melepaskan pelukannya.
“Air matamu banyak sekali,” kata Arka sambil menyeka air mataku dengan jarinya.
Jantungku berhenti berdetak selama sepersekian detik, namun mampu terkontrol lagi saat Arka menarik lenganku untuk duduk di ayunan.
“Naiklah dulu, aku akan mendorongmu. Aku akan membuatmu merasa lebih nyaman berada di kegelapan seperti ini. Aku tidak akan bisa menjelaskan semuanya jika perasaanmu belum bisa tenang sepenuhnya,” kata Arka sambil mendorong ayunan yang kini kunaiki.
Aku membiarkannya mendorongku semaunya, karena memang inilah cara yang paling ampuh untuk menghilangkan kegelisahanku. Dia memang tahu dan paling tahu.
“Bagaimana? Apa kau sudah jauh lebih tenang? Apa kau masih takut berada di kegelapan seperti ini?” tanyanya sambil masih tetap mendorong ayunanku.
“Ya, lagipula ada kau di sini, dan lampu taman juga masih menyala. Jadi, suasananya tidak terlalu gelap,”
Arka berhenti mendorong ayunanku dan kini telah duduk di ayunan di sebelahku. Dia meraih sebuah gitar yang sejak tadi diletakkannya di tiang ayunan di sebelahnya, lalu memainkannya. Nadanya masih terdengar acak-acakan, tapi aku mengerti, dia pernah bercerita padaku bahwa dia baru belajar bermain gitar, jadi permainannya masih kurang bagus.
“Sebenarnya ada apa?” tanyaku lagi.
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” kata Arka setelah mengakhiri petikan senarnya.
“Apa?”
Arka memperbaiki posisi duduknya sehingga tepat menghadap ke arahku. Tiba-tiba dia meraih tanganku dan menggenggamnya kuat.
“Damea, aku menyukaimu,” ucap Arka pelan namun pasti.
“Ha?”
“Mungkin ini terdengar konyol dan sangat terlambat untuk mengatakannya, karena sebentar lagi kau harus pergi dari negara ini. Tapi aku harus mengungkapkan semuanya, bahwa aku menyukaimu,”
“Arkana? Kau serius?” tanyaku ragu.
Aku benar-benar tidak percaya pada apa yang kudengar. Arka bilang dia menyukaiku? Benarkah? Tuhan? Ada apa ini? Apakah ini sebuah mimpi? Apakah yang selama ini kunantikan akhirnya datang?
“Kenapa? Apakah aku salah? Apakah aku tidak boleh menyukai sahabatku sendiri?”
“Ah, bukan begitu. Tapi, tapi... aku hanya bingung. Kenapa bisa?” tanyaku masih tak percaya.
“A, aku juga tidak tahu. Tapi apa yang kurasakan ini benar-benar nyata. Aku sudah memperhatikanmu sejak kita bersama saat kelas satu dulu, dan aku merasa semakin bahagia karena kita bisa menjadi seorang sahabat.”
“Arka, aku, aku tidak percaya. Kau bilang kau memperhatikanku sejak lama? Tapi, kenapa kau baru mengatakannya sekarang?”
“Itu, itu karena aku takut. Setelah dekat denganmu ternyata kau memiliki seseorang yang sangat berarti dalam hidupmu, aku jadi semakin ragu untuk mengungkapkannya. Tapi, setelah aku tahu kau akan pergi jauh, aku semakin takut kehilanganmu, jadi aku putuskan untuk mengatakannya sekarang.” Jelas Arka dengan sorot mata tak pernah lepas dari tatapanku.
Air mataku kembali mengalir. Aku tidak tahu, ini perasaan takut, sedih atau senang. Tapi yang jelas, perasaanku benar-benar kacau saat ini. Kenapa dia datang pada saat yang tidak tepat?
“Arkaa, kau tahu, kau adalah satu-satunya makhluk di bumi ini yang mampu membuatku berpaling dari sosok Val, aku sudah menyukaimu sejak lama, tapi kau tak pernah peka terhadap perasaanku.”
“Benarkah itu, Me?”
“Kau bisa tanyakan itu pada hatiku. Aku selalu setia menunggumu dan berharap hubungan kita tak hanya sekedar seorang sahabat. Tapi ternyata, yang kutunggu tak kunjung datang. Dan sekarang, saat yang kutunggu telah hadir, aku harus meninggalkannya. Aku harus pergi, Ka,” isakku parau.
“Apakah? Apakah kita tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh? Aku, aku benar-benar ingin memilikimu,”
“Aku tidak tahu. Aku... aku terlalu takut!” jawabku sambil terisak.
“Damea, maafkan aku...” Arka langsung menarikku dalam pelukannya, pelukan hangat seorang sahabat atau cinta yang terpisahkan.
Aku terus menangis, aku sudah tak dapat menghitung lagi air mata yang mengalir sekian detiknya. Yang kupikirkan sekarang hanyalah kenapa waktu kami tak pernah tepat?
“Ame... apakah kau baik-baik saja?” aku mengangkat kepalaku dan menganggukkannya.
“Tak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu, mungkin waktu kita memang tidak tepat,”
“Me, aku sangat menyayangimu. Aku tidak pernah berharap kau akan pergi dari sini, tapi jika waktu mengharuskan kita berpisah, aku akan melepasmu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku akan selalu di sini, menunggumu sampai kau benar-benar kembali,” kata Arka tulus sambil membelai rambutku.
Aku mencoba tersenyum semampuku, walau terasa sakit karena hari ini kami harus berpisah.
Arka kembali meraih gitarnya dan diletakkan di pangkuannya.
“Aku baru mempelajari lagu ini tadi malam, tapi kata sepupuku, permainanku sudah cukup bagus,” kata Arka meyakinkanku. “Kau mau mendengarnya?”
“Mmm, ya!” jawabku sambil tersenyum.
Arka lalu memainkan sebuah lagu sambil diiringi dengan nyanyian yang merdu dari bibir tipisnya.

Jangan berakhir, aku tak ingin berakhir
Satu jam saja,
Kuingin diam berdua, mengenang yang pernah ada...
Jangan berakhir, karena esok takkan lagi,
Satu jam saja,
Hingga kurasa bahagia, mengakhiri segalanya...
Tapi kini tak mungkin lagi,
Katamu semua sudah tak berarti,
Satu jam saja,
Itu pun tak mungkin, tak mungkin lagi...
Jangan berakhir, kuingin sebentar lagi,
Satu jam saja,
Izinkan aku merasa, rasa itu pernah ada...

Lagu berakhir, dan seketika itu juga air mataku pun berhenti mengalir. Aku bertepuk tangan sambil tetap tersenyum menatap Arka. Arka meletakkan gitarnya di tempat semula, lalu kembali menarikku dalam pelukannya. Berdua kami di sana, menatap beribu bintang di angkasa.
“Tetaplah seperti ini, satu jam saja, karena esok takkan lagi. Aku ingin seperti ini, berdua bersamamu, menatap bintang di ujung sana, satu jam saja... izinkan aku merasakan semuanya, menyayangimu dengan kesabaranku, satu jam saja... sebelum aku benar-benar siap merelakan semuanya! Satu jam saja!” ucap Arka seraya mendaratkan kecupannya di keningku.
Satu jam saja, aku ingin berdua bersamanya seperti ini... satu jam saja!


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar