“Beri aku waktu
satu jam saja,” bunyi sebuah pesan asing dari nomor yang tidak kukenal sama
sekali.
Jam sudah
menunjukkan pukul satu dinihari. Jam empat pagi nanti aku sudah harus berada di
Bandara karena jadwal
keberangkatanku mengharuskanku datang sepagi itu. Belum
lagi harus mengurus ini itu yang sudah pasti akan memakan waktu banyak.
Seharusnya malam ini aku bersantai di atas ranjang sambil menikmati mimpi
indahku sebelum besok pagi aku berpegal-pegal di atas pesawat menuju Seoul.
Tapi masih ada saja yang menggangguku dengan hal yang tidak penting sama
sekali, contohnya ya, sms asing ini.
Beri aku waktu satu jam saja? Apa maksudnya? Ah, dasar
orang iseng. Ada-ada saja yang akan dilakukannya untuk mengganggu keindahan
mimpiku, astaga! Langsung saja kulempar ponselku ke bantal di sebelahku dan
kembali membenamkan tubuhku dalam selimut.
Baru beberapa menit aku terlelap, tiba-tiba saja ponselku
berdering lagi. Aku segera bangkit dan meraih ponsel pengganggu itu.
Ah, sial! Nomor
itu lagi!
“Kumohon! Aku harus bertemu denganmu, walau hanya satu
jam...” bunyi pesan yang baru saja kuterima.
Hmmm, aneh! Untuk apa orang asing ini memohon-mohon ingin
bertemu denganku?
Ponselku berdering sekali lagi, dan kali ini deringannya
lebih panjang, itu berarti pesan yang masuk bukan hanya satu, tapi lebih.
Aku segera memerikasa kotak masukku dan menemukan empat
pesan berderet di sana, dan semuanya dari nomor asing itu!
“Bolehkah?” tanyanya.
“Jawab dengan apapun yang kau mau, aku butuh kepastian!”
desaknya.
“Bagaimana? Apakah kau mau menemuiku malam ini juga?”
pintanya.
“Kenapa kau belum membalas juga? Sudah semalaman aku
berjaga di sisi ranjangku, menanti balasan pesanmu. Aku membutuhkanmu...”
Ada apa dengan orang ini? Kenapa begitu memaksa untuk
bertemu denganku tengah malam seperti ini? Dia pikir aku ini kuntilanak apa,
yang rela keluar malam-malam hanya untuk bertemu orang yang tidak kukenal sama
sekali.
“Untuk apa kau ingin bertemu denganku? Memangnya siapa
kau ini?” tanyaku lewat rangkaian kata-kata yang kukirim tadi.
Belum semenit beranjak ponselku berdering lagi.
“Karena harus. Aku harus bertemu denganmu. Kau akan tahu
saat kau melihatku nanti,” jawabnya yang seakan meyakinkanku bahwa dia sangat
penting untuk kutemui.
“Malam-malam seperti ini?” aku masih heran.
“Ya. Karena kita sudah tak punya waktu lagi,” balasnya
secepat kilat.
“Kau ada di mana sekarang?”
“Di rumahku. Tapi jika kau bersedia bertemu, aku akan
menunggumu di ayunan itu,”
“Ayunan? Maksudmu ayunan di taman itu?”
Tiba-tiba saja
aku teringat dengan ayunan yang sangat sering kunaiki yang berada di
tengah-tengah taman saat aku masih di sekolah dasar dulu. Bahkan saat aku
sedang merasa suntuk akhir-akhir ini, aku sering ke sana hanya untuk sekedar
mengenang masa laluku. Masa lalu yang tak pernah membuatku ingin beranjak dari
kota ini. Masa lalu yang membuat aku bertahan hidup sendiri di tengah hiruk
pikuk Ibu Kota, sedang orang tuaku telah menetap di negeri seberang. Masa lalu
yang selalu membuatku teringat akan sosok laki-laki itu. Valerian.
“Ya, apa kau
mau?” bunyi pesan masuk yang seketika itu juga membuyarkan lamunanku akan sosok
Val.
“Baiklah.
Tunggu saja di sana, aku akan segera datang,” jawabku tanpa ragu.
Sesuatu seakan
mendorongku untuk mengiyakan pesan dari orang asing itu. Entahlah, aku juga
bingung akan sikapku ini. Kenapa aku sepemberani ini untuk keluar malam
sendirian? Hey, aku ini seorang gadis berusia delapan belas tahun dan baru akan
menginjak bangku kuliah di Seoul nanti, bagaimana kalau nanti ada orang tak
dikenal yang tiba-tiba menculikku? Kenapa aku tidak ingin menghiraukan hal-hal
seperti itu? Pasalnya hatiku sudah bulat untuk menemui orang yang baru
mengirimiku pesan lima belas menit yang lalu itu! Ah, sudahlah! Lagipula aku
yakin, tidak akan ada sesuatu buruk yang menimpaku. Huh, semoga Tuhan selalu
ada di sisiku...
Aku berjalan
dengan langkah santai menuju sebuah taman dekat komplek perumahanku. Tempatnya
tidak jauh, hanya berjarak seratus meter dari rumahku. Lagipula di sana banyak
terdapat rumah warga, jika ada sesuatu yang terjadi padaku, aku bisa berteriak
sekencang-kencangnya.
Ting tong, ting tong, tiba-tiba ponselku berdering
nyaring. Aku segera membuka pesan yang baru saja masuk dari nomor asing itu.
“Kau di mana?”
“Aku ada di
jalan. Bersabarlah, aku akan menemuimu.” Jawabku pasti.
Beberapa menit
kemudian, dia membalas pesanku, “Baiklah. Aku percaya padamu,”
Tak berapa lama,
aku pun sampai di taman itu. Aku segera berlari menyusuri trotoar menuju ayunan
di tengah-tengah taman. Mataku berhenti pada sosok asing berjaket hitam yang
duduk membelekangiku di atas ayunan. Siapa dia?
“Kau siapa?”
tanyaku langsung pada sosok yang kutemui.
Dia terlonjak
dan bangkit dari ayunan. Perlahan dia berjalan pelan ke arahku. Tiba-tiba saja
aku merasa hawa di sekitarku berubah menjadi dingin, bulu-bulu romaku berdiri,
dan tenggorokanku tercekat seketika itu juga. Semakin dia mendekat, aku semakin
mengatur langkahku untuk lebih menjauh. Hingga saat aku hendak berlari, dia
langsung mencegatku, “Tunggu! Jangan pergi! Tetaplah di situ!” katanya yang
langsung membuat langkahku terhenti.
Suara itu?
Suara itu? Aku kenal suara itu... suara parau dan nyaring yang selalu membuat
darahku berhenti mengalir setiap kali mendengarnya. Suara itu... bukankah itu
suara milik...
“Kau?” aku
berbalik dan seketika itu tatapanku jatuh tepat dalam sorotan mata seorang
laki-laki yang kini berdiri di bawah lampu taman. Arka.
“Ya, aku Arka.
Maafkan aku,” katanya sambil tertunduk.
Aku langsung
berlari ke arahnya dan menatap mata itu semakin tajam. “Kau, Arkana? Apa yang
kau lakukan di sini? Apakah kau yang menyuruhku untuk ke mari?”
“Ya, maafkan
aku, Me,”
Aku hampir tak
bisa membuka mulut saat kutahu dia yang memintaku ke sini. Ah, sial! Bajingan
keparat!
“Kau tahu? Kau
hampir membuatku mati berdiri karena ketakutan! Kau tahu, aku hampir tidak
mampu menggerakkan kakiku untuk berlari karena aku terlalu takut! Apa kau tidak
punya akal dan pikiran untuk meminta seorang gadis sepertiku keluar malam-malam
seperti ini sendiri?! Hah?! Bagaimana nanti kalau di jalan aku dicegat oleh
sekawanan perampok?! Bagaimana?! Apa kau akan bertanggung jawab?! Apa kau akan
siap siaga di sana untuk menyelematkanku?! Apakah seperti itu?! Hah?!” tanyaku
tanpa kontrol, karena memang dia sudah sangat keterlaluan.
Mungkin jika
dia bukanlah seorang Arka aku tak akan mengatakan semua ini padanya. Tapi, dia
adalah Arka, teman kelasku selama tiga tahun ini. Dia tahu seluk beluk hidupku,
kepribadianku, asal-usulku, dan semua tentangku, karena dia, karena dia memang
Arka, sahabatku! Dia tahu apa yang kutakuti! Dia tahu aku takut kegelapan!
Takut akan suara di tengah malam! Dia tahu semuanya! Dan, dia jugalah sosok
yang selama ini membuat aku lupa akan sosok Val, cinta pertamaku yang telah
lama hilang. Dia yang membuat aku mengerti, tak ada gunanya menunggu jika
perasaanmu tak kunjung terbalaskan. Tapi, karena dialah juga selama tiga tahun
ini aku setia menunggu, menunggunya... menunggunya untuk mengetahui apa yang
aku rasakan. Aku menyayanginya lebih dari seorang sahabat. Tapi, kenapa dia
setega ini?
“Maaf, Me.
Maaf, aku tahu aku salah... tapi aku harus melakukannya...” Arka masih
tertunduk, sepertinya dia terlalu takut membalas tatapanku.
Tiba-tiba air
mataku tumpah. Aku menangis, menangis sekeras-kerasnya, menangis dalam pelukan
Arka yang tiba-tiba saja membenamkanku di dalam pelukannya.
“Menangislah
semaumu, aku tidak akan melarangmu seperti biasanya, kau pantas melakukannya,
aku tahu kau sangat ketakutan, jadi, maafkan aku!”
“Kau jahat!
Tega sekali kau mengganggu tidurku dan membuatku ketakutan seperti ini hanya
untuk menemuimu!” cercaku dalam isak.
“Maaf, aku tahu
aku salah. Jadi, kumohon maafkan aku!” belasnya berusaha meminta maaf.
Sebenarnya aku
tidak marah padanya dan tidak merasa kesal sedikit pun padanya. Aku hanya
sedang melampiaskan ketakutanku yang kutanam selama beberapa menit tadi. Jujur
saja, selama berjalan menuju taman, pikiranku selalu menerawang ke hal-hal yang
seram, yang kadang bisa membuatku menangis dan menjerit ketakutan. Jadi, itulah
sebabnya aku tak mampu membendung semuanya malam ini.
“Sudahlah,
sebenarnya apa maumu?” tanyaku langsung tanpa basa-basi setelah melepaskan
pelukannya.
“Air matamu
banyak sekali,” kata Arka sambil menyeka air mataku dengan jarinya.
Jantungku
berhenti berdetak selama sepersekian detik, namun mampu terkontrol lagi saat
Arka menarik lenganku untuk duduk di ayunan.
“Naiklah dulu,
aku akan mendorongmu. Aku akan membuatmu merasa lebih nyaman berada di
kegelapan seperti ini. Aku tidak akan bisa menjelaskan semuanya jika perasaanmu
belum bisa tenang sepenuhnya,” kata Arka sambil mendorong ayunan yang kini
kunaiki.
Aku
membiarkannya mendorongku semaunya, karena memang inilah cara yang paling ampuh
untuk menghilangkan kegelisahanku. Dia memang tahu dan paling tahu.
“Bagaimana? Apa
kau sudah jauh lebih tenang? Apa kau masih takut berada di kegelapan seperti
ini?” tanyanya sambil masih tetap mendorong ayunanku.
“Ya, lagipula
ada kau di sini, dan lampu taman juga masih menyala. Jadi, suasananya tidak
terlalu gelap,”
Arka berhenti
mendorong ayunanku dan kini telah duduk di ayunan di sebelahku. Dia meraih
sebuah gitar yang sejak tadi diletakkannya di tiang ayunan di sebelahnya, lalu
memainkannya. Nadanya masih terdengar acak-acakan, tapi aku mengerti, dia
pernah bercerita padaku bahwa dia baru belajar bermain gitar, jadi permainannya
masih kurang bagus.
“Sebenarnya ada
apa?” tanyaku lagi.
“Ada sesuatu
yang ingin kukatakan padamu,” kata Arka setelah mengakhiri petikan senarnya.
“Apa?”
Arka memperbaiki
posisi duduknya sehingga tepat menghadap ke arahku. Tiba-tiba dia meraih
tanganku dan menggenggamnya kuat.
“Damea, aku
menyukaimu,” ucap Arka pelan namun pasti.
“Ha?”
“Mungkin ini
terdengar konyol dan sangat terlambat untuk mengatakannya, karena sebentar lagi
kau harus pergi dari negara ini. Tapi aku harus mengungkapkan semuanya, bahwa
aku menyukaimu,”
“Arkana? Kau
serius?” tanyaku ragu.
Aku benar-benar
tidak percaya pada apa yang kudengar. Arka bilang dia menyukaiku? Benarkah?
Tuhan? Ada apa ini? Apakah ini sebuah mimpi? Apakah yang selama ini kunantikan
akhirnya datang?
“Kenapa? Apakah
aku salah? Apakah aku tidak boleh menyukai sahabatku sendiri?”
“Ah, bukan
begitu. Tapi, tapi... aku hanya bingung. Kenapa bisa?” tanyaku masih tak
percaya.
“A, aku juga tidak
tahu. Tapi apa yang kurasakan ini benar-benar nyata. Aku sudah memperhatikanmu
sejak kita bersama saat kelas satu dulu, dan aku merasa semakin bahagia karena
kita bisa menjadi seorang sahabat.”
“Arka, aku, aku
tidak percaya. Kau bilang kau memperhatikanku sejak lama? Tapi, kenapa kau baru
mengatakannya sekarang?”
“Itu, itu
karena aku takut. Setelah dekat denganmu ternyata kau memiliki seseorang yang
sangat berarti dalam hidupmu, aku jadi semakin ragu untuk mengungkapkannya.
Tapi, setelah aku tahu kau akan pergi jauh, aku semakin takut kehilanganmu,
jadi aku putuskan untuk mengatakannya sekarang.” Jelas Arka dengan sorot mata
tak pernah lepas dari tatapanku.
Air mataku
kembali mengalir. Aku tidak tahu, ini perasaan takut, sedih atau senang. Tapi
yang jelas, perasaanku benar-benar kacau saat ini. Kenapa dia datang pada saat
yang tidak tepat?
“Arkaa, kau
tahu, kau adalah satu-satunya makhluk di bumi ini yang mampu membuatku
berpaling dari sosok Val, aku sudah menyukaimu sejak lama, tapi kau tak pernah
peka terhadap perasaanku.”
“Benarkah itu,
Me?”
“Kau bisa
tanyakan itu pada hatiku. Aku selalu setia menunggumu dan berharap hubungan
kita tak hanya sekedar seorang sahabat. Tapi ternyata, yang kutunggu tak
kunjung datang. Dan sekarang, saat yang kutunggu telah hadir, aku harus meninggalkannya.
Aku harus pergi, Ka,” isakku parau.
“Apakah? Apakah
kita tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh? Aku, aku benar-benar ingin
memilikimu,”
“Aku tidak
tahu. Aku... aku terlalu takut!” jawabku sambil terisak.
“Damea, maafkan
aku...” Arka langsung menarikku dalam pelukannya, pelukan hangat seorang
sahabat atau cinta yang terpisahkan.
Aku terus
menangis, aku sudah tak dapat menghitung lagi air mata yang mengalir sekian
detiknya. Yang kupikirkan sekarang hanyalah kenapa waktu kami tak pernah tepat?
“Ame... apakah
kau baik-baik saja?” aku mengangkat kepalaku dan menganggukkannya.
“Tak perlu
minta maaf. Ini bukan salahmu, mungkin waktu kita memang tidak tepat,”
“Me, aku sangat
menyayangimu. Aku tidak pernah berharap kau akan pergi dari sini, tapi jika
waktu mengharuskan kita berpisah, aku akan melepasmu. Aku hanya ingin kau tahu
bahwa aku akan selalu di sini, menunggumu sampai kau benar-benar kembali,” kata
Arka tulus sambil membelai rambutku.
Aku mencoba
tersenyum semampuku, walau terasa sakit karena hari ini kami harus berpisah.
Arka kembali
meraih gitarnya dan diletakkan di pangkuannya.
“Aku baru
mempelajari lagu ini tadi malam, tapi kata sepupuku, permainanku sudah cukup
bagus,” kata Arka meyakinkanku. “Kau mau mendengarnya?”
“Mmm, ya!”
jawabku sambil tersenyum.
Arka lalu
memainkan sebuah lagu sambil diiringi dengan nyanyian yang merdu dari bibir
tipisnya.
Jangan berakhir, aku tak ingin berakhir
Satu jam saja,
Kuingin diam berdua, mengenang yang pernah
ada...
Jangan berakhir, karena esok takkan lagi,
Satu jam saja,
Hingga kurasa bahagia, mengakhiri segalanya...
Tapi kini tak mungkin lagi,
Katamu semua sudah tak berarti,
Satu jam saja,
Itu pun tak mungkin, tak mungkin lagi...
Jangan berakhir, kuingin sebentar lagi,
Satu jam saja,
Izinkan aku merasa, rasa itu pernah ada...
Lagu berakhir,
dan seketika itu juga air mataku pun berhenti mengalir. Aku bertepuk tangan sambil
tetap tersenyum menatap Arka. Arka meletakkan gitarnya di tempat semula, lalu
kembali menarikku dalam pelukannya. Berdua kami di sana, menatap beribu bintang
di angkasa.
“Tetaplah
seperti ini, satu jam saja, karena esok takkan lagi. Aku ingin seperti ini,
berdua bersamamu, menatap bintang di ujung sana, satu jam saja... izinkan aku
merasakan semuanya, menyayangimu dengan kesabaranku, satu jam saja... sebelum
aku benar-benar siap merelakan semuanya! Satu jam saja!” ucap Arka seraya
mendaratkan kecupannya di keningku.
Satu jam saja,
aku ingin berdua bersamanya seperti ini... satu jam saja!
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar